Oleh Johansyah
Metodologi pembelajaran bersifat dinamis dan adaptif. Seorang guru sejatinya peka terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi dalam proses pembelajaran, baik terkait dengan perubahan kebijakan, karakter peserta didik, media yang digunakan, persoalan pribadi, dan berbagai kondisi lainnya yang menuntut para guru agar mampu menyikapinya.Sebagai pertanyaan sederhana, apa yang membuat guru itu mampu mengembangkan metodologi pembelajaran? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajukan beberapa prinsip pengembangan metodologi pembelajaran. Apabila guru berpegang pada prinsip pengembangan ini, dia akan sangat mudah mengembangkan metodologi pembelajaran. Prinsip yang dimaksud sebagai berikut:
Pertama, atthariqatu ahammu min al maddhah, wa al mudarrisu ahammu min at-thariqah, wama ahammu min al mudarris, ruhul mudarris ahammu min al mudarris binafsih (materi lebih penting dari metode, dan guru lebih penting dari metode, lalu apa yang lebih penting dari guru? Yakni ruh guru itu sendiri lebih penting dari guru itu sendiri). Ini adalah prinsip pengembangan metodologi yang dikembangkan di pesantren Gontor.
Terkadang memang orang memegang prinsip bahwa materi itu penting karena menurutnya tanpa materi pembelajaran yang jelas, bagaimana menyelenggarakan proses pembelajaran. Lalu di pihak lain ada yang berkeyakinan bahwa metode itu lebih penting dari materi. Percuma ada materi tanpa didukung oleh metode yang tepat. Lebih dari itu, ada yang berkeyakinan lagi bahwa materi dan metode itu tidak akan berguna apa-apa karena pembelajaran itu tergantung pada seorang guru. Lalu adakah yang lebih penting dari guru itu sendiri?
Ya, yakni ruh guru yang berkaitan dengan ketulusannya dalam mendidik. Inilah modal yang paling utama dalam mendidik. Ketulusan dan kasih sayang kepada peserta didik akan melahirkan metode dan materi baru meskipun tidak ada materi tertulis dan metode yang direncanakan. Sebab pendidikan itu sendiri sebenarnya bukanlah mengajarkan sebuah materi ajar yang tertulis, tapi interaksi pembelajaran antara guru dan peserta didik dan mereka menyerap sikap dan perilaku guru secara langsung dan tidak langsung.
Kedua, almuallimu kamanhaj ad dirasy (guru sebagai kurikulum). Prinsip ini saya peroleh ketika menulis disertasi tentang kurikulum pendidikan di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Banda Aceh dan Aceh Besar. Kesimpulan ini muncul dari analisis pembelajaran di SDIT. Di mana keberhasilan pembelajaran sebagian besarnya disebabkan karena daya kreativitas dan inovasi guru dalam mendesain kurikulum pembelajaran.
Ketika kurikulum itu ditiru oleh lembaga pendidikan lain kurang maksimal dan mungkin jauh dari apa yang diharapkan, dikarenakan daya kreativitas guru dan inovasinya yang masih berbeda dengan guru di SIT sehingga desain kurikulum yang sudah tersusun rapi tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan maksimal. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pandangan konsep pembelaran yang dikembangkan di Gontor sebagaimana dikutip sebelumnya, bahwa keberhasilan pembelajaran itu bukan karena materi, metode, tapi ruh (kapasitas) guru itu sendiri.
Untuk itu pula, ketika kita mengcopy-paste kurikulum Finlandia yang dikenal berada pada rangking papan atas bidang pendidikan, belum tentu berhasil dimplementasikan di Indonesia, karena bukan soal kurikulum tertulisnya yang sudah tersusun, tetapi kualitas soal sumber daya pendidiknya.
Ketiga, kullu muallim muaddib (setiap guru adalah orang yang membuat peserta didik beradab). Jangan dikira ketika kita mengajarkan matematika hanya mengajar angka, atau ketika mengajar fisika hanya belajar rumus fisika, belajar statistik, geografi, sejarah, bahasa, dan berbagai bidang studi lainnya. Sesungguhnya lebih dari itu, dalam mengajar bidang studi apa pun kita sedang menanamkan nilai-nilai sikap dan perilaku melalui cara bicara, cara berinteraksi, cara merespon pertanyaan, cara menyikapi persoalan, dan cara-cara lainnya yang kita demonstrasikan secara alamiah di depan peserta didik.
Apa yang perlu disadari dalam hal ini adalah bahwa tugas utama kita adalah menumbuhkan sifat-sifat mulia dan bakat terpendam peserta didik. Ilmu yang berkaitan dengan yang kita ajar sudah pasti, tapi semua itu kiranya belum mencapai tujuan dan puncak pembelajaran sebelum peserta didik kita memahami dan menerapkan nilai-nilai akhlak mulia.
Menumbuhkan akhlak mulia dan kesadaran pada diri peserta didik itu terkadang tidak dalam waktu dekat dapat kita lihat hasilnya. Dibutuhkan proses yang amat panjang. Berbeda dengan target kemampuan kognitif, cukup dengan mengadakan evaluasi terhadap materi yang disampaikan, kita langsung dapat melihat hasil dan menentukan tingkatan capaiannya. Ada yang nilainya memuaskan, sangat memuaskan, cukup, dan sebagainya.
Kalau soal capaian nilai-nilai adab, sebagian peserta didik memang ada yang dengan cepat mampu memahami dan menerapkannya. Tapi sebagian yang lainnya mungkin butuh waktu bertahun-tahun membangun kesadaran pada dirinya. Kapan dia memahami betapa pentingnya menghormati orang yang lebih tua? Mungkin ketika ada orang yang lebih muda darinya tidak menaruh rasa hormat padanya, dan itu menurutnya tidak pantas. Dia pun teringat, rupanya dia dulu juga begitu. Akhirnya dia sadar. Begitulah, prosesnya sangat panjang.
Keempat, al akhlaqu kahadfin ra’isiyyin fi ta’lim (akhlak sebagai tujuan utama pendidikan). Berbicara tujuan pendidikan tidak mungkin terlepas dari tujuan penanaman nilai akhlak mulia. Tujuan-tujuan lain yang berorientasi pada penguatan kognitif dan afektif tentu saja penting. Tapi sebelum dia mampu menerapkan nilai-nilai akhlak mulia (psikomotorik), itu artinya dia belum mencapai sepenuhnya tujuan pendidikan.
Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia. Secara fisik kita manusia. Namun secara mental kita akan tampil berbeda. Mungkin saja kita seperti hewan, binatang buas, dan seperti apa saja yang kesemuanya merujuk pada sifat, watak atau karakter kita. Sejujurnya sebenarnya kita sangat ngeri kalau mampu melihat wujud asli manusia sesuai dengan karakternya. Banyak di antara mereka yang sebenarnya bukan berwujud manusia, tapi berwujud seperti hewan dan binatang sesuai karakternya.
Dari keempat poin ini, kiranya dapat kita pahami bahwa seorang pendidik atau guru harus berpegang pada prinsip pengembangan ini dan saya yakin dengan empat prinsip ini seorang guru akan mampu mengembangkan metodologi pembelajaran dengan mudah. Itu disebabkan karena dia berpegang pada kesadaran diri bahwa dialah yang menjadi salah satu faktor penentu berakhlak atau tidaknya peserta didik sehingga dalam setiap proses belajar mengajar dia selalu menginginkan yang terbaik bagi peserta didiknya. Dari sini muncullah ide dan gagasan bagaimana agar itu semua bisa terwujud. Wallahu a’lam bishawab!
Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah dan Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah.