Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

FILOSOFI SALAM DI AKHIR SHALAT KITA

Selasa, 17 November 2020 | November 17, 2020 WIB Last Updated 2020-11-17T07:30:27Z

 BerawangNews.com


Oleh : Johansyah    

Shalat adalah rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Ini memastikan bahwa shalat menjadi pembuktian pengakuan seseorang dalam iqrar bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Pada rukun berikutnya kita ditantang lagi untuk mewujudkan pengakuan-pengakuan dalam shalat tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui perintah zakat, shalat, dan juga haji.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan; “shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikannya maka dia telah menegakkan agama. Dan barang siapa yang merubuhkannya, maka dia telah merubuhkan agama” (HR. Baihaqi). Meski sebagai tiang, seperti yang pernah dijelaskan oleh Buya Syakur Yasin dalam sebuah kajiannya, kalau kita ilustrasikan sebuah bangunan, tiang-tiang itu belum dikatakan sebagai bangunan rumah yang lengkap dan sempurna. Untuk itu, sebuah bangunan yang sudah siap tidak cukup hanya dengan tiang, tapi membutuhkan bahan-bahan lainnya, seperti batu bata, papan, triplek, semen, besi, paku, seng, dan sebagainya. Ketika semua menyatu dan berbentuk, barulah dapat dikatakan sebagai sebuah rumah.

Kalau diperhatikan dengan seksama, dari satu sisi shalat itu memang ibadah vertikal. Sebuah kewajiban yang dijalankan oleh umat Islam dan dilaksanakan sebanyak lima kali dalam sehari. Bacaan-bacaan yang di dalamnya tidak lain adalah tasbih, takbir, tahmid, dan permohonan ampunan agar kita dibimbing pada jalan kebaikan dan kebenaran, hingga mengucapkan salam.

Di balik itu, sebenarnya shalat menekankan aspek sosial horizontal yang amat kuat. Menarik untuk diperhatikan ketika seseorang shalat. Dia mengawali dengan takbir, lalu di dalamnya ada fatihah, ada tasbih, takbir, istighfar dan sebagainya. Lalu pada akhir shalatnya ditutup dengan salam ke kanan dan ke kiri.

Di sini ada pesan yang tersirat sebenarnya. Ketika kita melalukan pengabdian sepenuhnya kepada Allah SWT, itu dirasa belum cukup. Salam ke kanan dan ke kiri sebagai penutup shalat itu tidak lain adalah pesan Ilahiyah agar orang yang shalat itu mampu meneberakan salam. Allah SWT menekankan kepada kita bahwa setelah kita mengabdi dengan sepenuh hati kepada-Nya, harus disertai dengan pengabdian dalam aspek sosial-horizontal.

Orang yang shalat itu harus mampu menebarkan salam, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan. Itulah wujud salam kanan kiri dalam shalat. Kita memiliki kemampuan interaksi sosial yang sangat kuat, peduli, kasih sayang pada sesama manusia, terutama orang miskin, dan anak yatim. Ketika diberikan kepercayaan menjabat jabatan tertentu kita bertanggung jawab, ketika menjadi hakim kita berusaha adil, dan menjadi masyarakat biasa kita juga patuh terhadap pemimpin selama pemimpin itu berada pada jalur kebenaran. Jika tidak kita wajib mengingatkannya.

Bisa dikatakan aneh jika orang shalat itu tidak memiliki hubungan sosial yang harmonis meski dia mengaku sering shalat tahajjud di tengah malam dan secara rutin berjamaah ke masjid. Aneh apabila dia sering ribut dengan tetangga. Aneh apabila dia selalu menjadi bahan cibiran teman kantornya, dan aneh ketika dia tidak memiliki empati sama sekali pada orang-orang susah.

Itu tandanya dia belum sampai pada pemahaman tentang salam kanan dan kiri dalam setiap penutup shalatnya karena pada kenyataannya dia tidak sedang menghadirkan rasa aman, nyaman, dan kesejahteraan, melainkan rasa was-was, cemas, dan membuat orang sekitar risih dengan keberadaannya.

Semestinya shalat itu memang berbekas ke dalam aktivitas kita sehari-hari. Seperti diuraikan oleh Dr. Joni dalam sebuah tulisannya (11/11/20) di lini masa facebook beliau, bahwa dalam shalat itu ada gerakan-gerakan yang sudah ditentukan. Kapan seorang berdiri, duduk, sujud, ruku’, dan sebagainya. Maka menurut beliau, dalam kehidupan sehari-hari kita juga dapat beraktivitas seperti dalam shalat yang dijalankan sesuai menurut aturan dan tata cara yang sudah ditetapkan. Ada kalanya kita harus berbicara, dan ada kalanya juga harus mendengar. Intinya dalam hidup ini sudah ada aturan, baik dari agama maupun adat. Agar hidup kita teratur, aman dan nyaman bagi semua, ikutilah aturan itu. Seperti shalat tadi, pasti amburadul shalatnya jika tidak mengikuti kaifiyah shalat yang sudah dicontohkan.

Dari sini kita sebenarnya cukup memahami bahwa setiap rangkaian ibadah mahdhah itu sangat berkelindan dengan ibadah yang sifatnya ghairu mahdhah. Pada akhirnya pengakuan kita di hadapan Allah SWT sebagai hamba yang taat dan baik belumlah mendapatkan stempel pengakuan dari Allah SWT sebelum membuktikannya di ranah sosial-horizontal. Demikian halnya ketika dalam shalat kita begitu terlihat khusuk dan takut kepada Allah SWT, dan di luar shalat kita juga tetap menghadirkan rasa takut dan taat itu dalam wujud ibadah sosial.

Shalat itu bisa jadi kehilangan nilai meski secara kuantitas kita hebat. Namun karena shalat kita tidak berpengaruh pada kehidupan sosial, akhirnya shalat itu tidak lebih dari sekedar pemenuhan kewajiban, sementara pesan dan nilai shalat itu gagal kita ejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika dikatakan dalam sebuah firman Allah SWT bahwa shalat itu mencegas seseorang dari perilaku keji dan mungkar, itulah harapan Allah SWT. Tapi itu semua tidak menjadi jaminan, tergantung orang yang melaksanakannya. Namun kalau kita dalami, sebenarnya inilah yang ingin ditegaskan oleh Allah SWT; ‘kalau engkau benar-benar mendirikan shalat, seharusnya engkau tidak menipu di luar shalatmu, tidak mengabil hak orang lain, tidak malas, tidak menyakiti tetangga, menyayangi anak yatim, menyantuni orang miskin dan sebagainya’.

Salah satu upaya yang perlu kita lakukan adalah untuk memaksimalkan pemahaman dan praktik shalat itu sendiri. Makna dalam bacaan shalat tersebut sejatinya kita resapi secara mendalam sehingga diharapkan mampu mengubah cara pandang, sikap dan perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari. Bisa jadi salah satu faktor gagalnya seseorang dalam mewujudkan nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehar-hari, itu karena belum paham dengan makna-makna yang tersirat di dalamnya. Tapi alangkah banyaknya juga yang memahami maknanya, tapi tetap tidak mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya ada berbagai faktor penyebab gagalnya seseorang mewujudkan nilai-nilai shalat dalam kehidupannya.

Kembali pada makna salah kanan kiri dalam penutupan di setiap shalat, semestinya orang yang shalat itu mampu merajut keindahan dalam berinteraksi sosial. Dia mampu menghadirkan rasa aman dan nyaman pada orang-orang sekitarnya. Wallahu a’lam bishawab!
Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah.