Oleh : Johansyah
Ada yang unik pada sebuah acara beberapa waktu yang lalu ketika saya melihat sebuah hasil jepretan yang diposting teman pada sebuah group whatsapp. Terlihat seorang teman mengambil beberapa foto kegiatan terpotret oleh temannya yang juga seorang fotografer. Pemandangan seperti ini mungkin sering kita jumpai. Pemotret atau fotografer terkena potret.
Ada yang terkesan bagi saya dari potret tersebut; seorang fotografer juga akan kena potret. Saya pun memaknai dan membandingkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak diragukan lagi bahwa hari-hari kita selalu disibukkan dengan melihat dan mengamati objek yang berada di luar diri kita, terutama yang berkaitan dengan sikap dan perilaku seseorang. Ketika melihat teman, saudara, suami, istri, tetangga, atau bahkan orang yang belum pernah kita kenal, ketika berada di hadapan kita, secara tidak langsung kita mulai menilainya; baik, buruk, santun, kejam, ramah, tegas, komunikatif, amanah, dan seterusnya. Penilaian itu akan terus ada ketika kita melihat sosok orang atau objek lain di sekitar kita.
Bisa dikata terkadang hidup ini persis seperti fotografer. Kita selalu mencari objek gambar untuk dipotret. Artinya kita kerap melihat dan mengamati orang lain dan memberikan penilaian kepadanya. Bahkan dalam kondisi menyendiri, kita juga kerap mengadakan penilaian terhadap seseorang. Si fulan itu seperti ini bicaranya dan si anu itu begitu sikapnya. Mungkin kita juga akan melakukan perjalanan jauh kembali ke masa lalu untuk memotret beberapa peristiwa dan sosok tertentu. Terkadang kita sedih, senyum, cemberut, dan mungkin merasa marah.
Bagaimana kita menilai orang lain? Itu sangat bergantung pada kondisi kebersihan atau kotornya batin. Orang yang batinnya diliputi kebencian dan kedengkian akan selalu menilai orang lain buruk dan negatif. Namun orang yang batinnya bersih akan melihat dan menilai orang sekitarnya baik. Meski orang sekitarnya ada yang bersikap dan berperilaku buruk, dia memilih diam dan tidak membicarakan keburukannya.
Berbeda dengan orang yang bathinnya buruk yang diliputi ambisi dan kebencian, dia suka menyembunyikan kebaikan orang lain dan mengembar-gemborkan kejelekannya. Padahal kejelekan itu hanya sedikit bila dibandingkan dengan kebaikan yang dilakukannya. Tapi karena penilaian yang didasari atas kebencian, hilanglah kebaikan yang ada pada seseorang, dan muncullah kejelekannya yang ada pada dirinya walau pun itu sangat sedikit.
Padahal dalam sebuah hadits sudah dinyatakan bahwa; “Tidak sepatutnya kita sebagai manusia menuduh seseorang telah fasik (tidak mentaati perintah Allah dan telah dianggap berdosa besar), dan mengatakan seseorang telah keluar dari Islam (kafir), melainkan tudingan atas kata fasik dan kafir akan terpulang kepada si penuding apabila tudingan itu tidak sesuai dengan apa yang ia sangkakan kepadanya.” (HR. Bukhari).
Sebagai manusia kita sering keterlaluan. Terlalu menganggap diri lebih baik dari orang lain, lebih suci, lebih pandai, dan lebih segala-galanya. Padahal ketika kita menganggap diri lebih, di sanalah kekurangan kita yang sesungguhnya. Inilah keterlaluan kita.
Allah SWT mengecam orang yang merasa diri lebih sebagaimana firman-Nya; “Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32). Dalam sebuah hadits juga diperingatkan; “janganlah menyatakan diri kalian suci.sesungguhnya Allahlah yang lebih tau mana yang lebih baik di antara kalian.” (HR. Muslim).
Meski kita memiliki kebebasan untuk memotret karakter orang lain, namun sebaiknya berhati-hati. Sebab potret-apalagi yang didasarkan pada kebencian akan menjadi virus-virus yang mengganggu kekuatan sinyal hubungan baik kita dengan Allah SWT dan sesama manusia.
Maka diingatkan dalam sebuah firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12).
Untuk itu, tampaknya kita dapat mengambil pelajaran dari aktivitas memotret. Ketika memotret kita selalu mencari momen yang tepat, posisi objek yang dipotret, waktu pemotretan, serta alat pendukung lainnya. Objek potretan bisa sangat sederhana, tapi ketika yang memotretnya orang profesional, hasilnya akan sangat luar biasa dan bernilai. Orang yang melihatnya juga akan merasa nyaman, tertarik, dan jatuh cinta.
Artinya ketika kita melakukan penilaian terhadap orang lain, kenapa tidak melihat sisi baik dan kelebihannya? Bukan malah sebaliknya kita lebih banyak melihat kekurangannya. Seperti aktivitas pemotretan tadi, ketika kita melihat sisi baik dan kelebihan dari seseorang, akhirnya akan menjadi energi positif bagi kita dan itu akan menjadi energi positif bagi orang lain ketika kita tebarkan pada orang-orang sekitar kita. Sebaliknya ketika kita ‘memotret’ dan mempublikasikan sisi jelek dari seseorang, itu akan menjadi energi negatif bagi kita dan orang-orang di sekitar kita.
Seperti peristiwa fotografer yang kena potret sebagaimana yang saya ceritakan di atas, kita juga harus ingat bahwa ketika kita menilai orang lain dengan penilaian yang beragam, pada saat yang sama kita juga akan dinilai oleh orang lain. Ketika kita mengamati, orang lain juga akan mengamati kita.
Patut menjadi bahan renungan, sebaiknya kita lebih fokus dan banyak 'memotret' dan menilai diri sendiri meskipun ruang dan waktu selalu terbuka untuk kita melakukan memotret orang lain. Menilai diri sendiri dengan lebih banyak kekurangan diri jauh lebih bijak dari pada melihat kekurangan orang lain. Atau sebaliknya melihat kelebihan orang lain itu baik, sedangkan melihat kelebihan diri sendiri adalah keujuban dan ria. Seperti filosofi fotografer tadi, marilah kita lirik sisi kebaikan dan kelebihan pada orang lain sehingga menghasilkan energi positif bagi diri dan orang lain.
Nah, ada satu sosok yang sejatinya kita lihat, nilai dan mencontoh sikap dan perilakunya, yakni rasulullah SAW. Beliau adalah objek potretan yang sempurna untuk dijadikan patron hidup. ketika kita memotret beliau, tidak ada satu gambar potretan pun yang kita hasilkan kecuali keindahan dan kemuliaan akhlaknya. Untuk itu, di momen maulid tahun 1442 hijriah ini, marilah kita teladani karakter beliau agar kita lebih cerdas dalam memotret kehidupan. Wallahu a’lam bishawab!
*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah dan Pegawai Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah