Oleh : Zulfata., M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis Melaporkan dari Banda Aceh
Beberapa kali Serambi Indonesia telah mempublikasikan tulisan dari siswa Sekolah Kita Menulis (SKM) di kolom jurnalisme warga. Sebagai sorang yang suka menulis, saya berpandangan bahwa kehadiran kolom jurnalisme warga ini telah membuka ruang bagi para penulis pemula dalam meniti karier, terutama bagi kalangan generasi muda dalam mengairahkan literasi berbasis publikasi. Sejalan dengan itu, tepat satu bulan SKM sebagai tempat pelatihan menulis, saya ingin berbagi pengalaman dengan publik bahwa menjadi penulis itu bukanlah soal berbakat atau tidaknya sebagai penulis, tetapi hal ini adalah soal ingin atau tidaknya seseorang untuk menulis.
Argumentasi ini muncul dari riset dan pengalaman saya dalam mendorong siswa SKM yang awalnya tidak dapat menulis dengan lancar dan tidak percaya diri saat menulis. Pada saat dilatih, mereka (siswa SKM) perlahan-lahan mampu menulis dan telah menerbitkan tulisannya di berbagai media, baik media online maupun media cetak. Dengan pengalaman saya dalam melatih siswa SKM untuk menulis, saya yakin bahwa dengan kehadiran SKM nantinya dapat terus mencetak para penulis, khususnya penulis asal Aceh, karena SKM saat ini masih merangkul generasi muda di Aceh dan akan merangkul generasi muda secara nasional, insya Allah.
Pokok persoalan yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini bahwa siapakah penulis yang sebenarnya? Bagaimanakah untuk menjadi penulis? Bagaimana perkembangan penulis saat ini? dan untuk apa kita harus menulis? Jawaban rentetan pertanyaan ini akan saya uaraikan berdasarkan riset yang saya lakukan melalui program SKM yang telah melatih 30 puluh siswa selama satu bulan pertama, dan akan menerima 30 siswa lagi di bulan kedua.
Menjawab pertanyaan siapakah penulis sebenarnya, jawabannya adalah seorang yang tak pernah berhenti menulis dengan hasrat kreatifitasnya yang dipicu oleh pemikiran dan respons alam sekitar. Oleh karena itu, menjadi penulis menurut saya bukanlah suatu profesi layaknya dokter atau polisi, tetapi penulis pada dasarnya adalah suatu sebutan bagi seseorang yang memiliki kemampuan menuangkan gagasan dalam bentuk karya tulis.
Temuan saya saat melakukan jejak pendapat terhadap warga bahwa penulis terkesan identik dengan Pramoedya Ananta Toer, Petrus Kanisius Ojong, Jakob Oetama, Sapardi Djoko Damono dan masih banyak nama-nama penulis terkenal lainnya di tanah air. Padahal beberapa nama yang disebutkan ini adalah penulis legendaris, dan tidak menutup sebutan penulis bagi yang masih hidup dan terus menulis. Singkatnya, bagi seseorang yang sering menulis dan terus menciptakan karya tulis, maka sudah layak disebut sebagai penulis. Hanya saja pada kualitasnya penulis memang memiliki variannya atau klasifikasinya, sehingga munculah sebutan penulis pemula, penulis senior dan penulis legendaris.
Selanjutnya, untuk menjadi penulis tidak perlu membayangkan seperti ingin menjadi pilot atau menjadi kepala daerah. Karena kunci utama untuk menjadi penulis adalah keinginan yang kuat. Dengan bermodalkan keinginan yang kuat, dapat dipastikan seseorang akan menjadi penulis. Soal tidak dapat menulis dengan teratur atau tidak mampu menuangkan ide dalam bentuk tulisan, ini semua hanya soal waktu. Artinya, dengan keinginan yang kuat, maka akan mengundang usaha yang giat. Maka dari itu, terus berlatih menulis adalah langkah yang tepat untuk menjadi penulis.
Pada posisi inilah peran SKM membuka ruang bagi penulis pemula untuk mengasah kemampuan menulis, sebab kepakaran menulis itu sangat tergantung pada tingkat latihan menulis. Tanpa latihan, dapat saja seorang yang dulunya mahir menulis dan masa kini tak lagi mampu menulis, hal ini terjadi karena kurangnya latihan menulis. Berdasarkan hasil riset yang saya lakukan, latihan menulis tidak mesti teratur layaknya mengonsumsi obat-obatan di dunia medis, tetapi latihan menulis itu mesti disiplin dengan penuh senang hati.
Memang benar bahwa dalam aktivitas menulis juga didorong oleh minat baca dan diskusi yang sering, adakalanya menulis adalah “ledakan” dari bahan bacaan atau hasil diskusi, perpaduan antara keseringan membaca dan berdiskusi secara tidak langsung akan menggiring sesorang untuk menulis guna dibaca oleh khalayak ramai melalui publikasi. Dalam konteks ini, SKM menciptakan pola pelatihan yang mensinergikan siswanya untuk giat membaca, berdiskusi dan berlatih menulis hingga akhirnya didorong untuk menghasilkan karya tulis yang berupa opini, jurnalisme warga, cerpen, puisi dan buku. Atas dasar inilah saya sebagai direktur SKM sungguh berkomitmen untuk menjadikan SKM sebagai pencetak para penulis.
Berdasarkan pengamatan saya, perkembangan penulis masa kini (terutama di Aceh), masih kurangnya budaya “membesarkan” para penulis, hal ini terjadi tidak hanya di kalangan penulis senior, tetapi juga pada penulis pemula. Yang ada saat ini hanyalah kelompok-kelompok penulis yang fokus membesarkan sesama mereka (internal kelompok). Parahnya, saya juga menemukan beberapa kelompok penulis rela menjadikan dirinya sebagai penulis bayaran atau sering disebut sebagai ghost writer. Semoga saja temuan reset saya terkait perkembangan penulis di Aceh ini kurang valid atau bersifat sementara.
Reportase ini sangaja saya sampaikan kepada publik karena menurut saya tidak akan efektif program pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) jika tidak diiringi dengan kemampuan berliterasi yang di dalamnya ada daya leting munculnya para penulis dari kalangan generasi muda. Sebab menulis bukan saja bicara buku yang dihasilkan, tetapi juga bicara karakter dan daya partisipatif generasi muda dalam mengawal kebijakan daerah. Pemahaman seperti ini sering disebut dalam program peningkatan literasi publik.
Sungguh banyak manfaat jika suatu masa diisi oleh banyak penulis, sebab penulis adalah penentu peradaban, tanpa penulis perkembangan ilmu pengetahuan akan lamban, penyesatan sejarah akan terjadi, dan tanpa penulis pula sejarah akan selalu menjadi miliknya penguasa. Padahal sejarah bukan diciptakan untuk penguasa, tetapi sejarah diciptakan untuk sebuah pembelajaran dari masa lalu untuk masa sekarang dan masa akan datang.
Oleh karena itu, keberadaan penulis sungguh dibutuhkan demi hadirnya suatu negeri yang berperadaban. Dalam konteks ini pula, untuk menciptakan para penulis, tidak dapat menunggu mereka yang berbakat menulis, atau menunggu hadirnya banyak penulis turun dari langit, tetapi penulis harus dicetak agar semakin banyak dan menyebar untuk menggerakkan kemajuan daerah dan bangsa. Untuk mencetak penulis hampir sama seperti mencetak buku, harus dirancang, diedit, di-layout secara matang sebelum dicetak. Jika tidak, maka buku yang dicetak kurang mearik. Begitu pula usaha untuk mencetak penulis, butuh semangat dan komitmen yang kuat serta kerjasama yang berkelanjutan. Kesadaran seperti inilah yang sedang dijalankan oleh SKM.