Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Indonesia, Medsos dan Krisis Moral

Jumat, 30 Oktober 2020 | Oktober 30, 2020 WIB Last Updated 2020-10-30T04:48:57Z


Oleh : Zulfata

Direktur Sekolah Kita Menulis. Email: fatazul@gmail.com

BerawangNews.com
Perkembangan media sosial (medsos) yang begitu cepat hari ini seakan lepas tanpa kendali kuat oleh negara. Perang sunyi ekonomi di balik keberadaan medsos seakan terselimuti oleh kebanggaan hidup di era serba teknologi. Parahnya, proses persuasif politik perpecahaan yang menjadi penumpang gelap dalam bermedsos dianggap sebagai hal negatif yang bersifat alamiah tanpa ada upaya serius ditangani oleh negara.

Pada kondisi seperti ini, perselingkuhan politik dan teknologi secara perlahan-lahan menggilas nilai patriotik yang telah dirajut melalui proses kebudayaan. Meski teknologi juga bagian dari kebudayaan, namun teknologi juga dapat berpotensi merusak jati diri kebudayaan dari dalam. Artinya bahwa kebudayaan yang pada dasarnya untuk memperkuat kewarasan (akal), dan memasifkan keluhuran perilaku (budi) sering kali tidak menjadi panglima dalam mengelola teknologi yang berkembang pesat hari ini.

Di sela-sela pemberitaan ancaman covid-19 yang melanda dunia, mencuat kebisingan politik Amerika Serikat dengan keberadaan media Tik Tok setelah kisruh dengan Facebook di akhir tahun 2016 lalu. Lain lagi halnya dengan terbongkarnya misi manipulasi data para pengguna medsos demi kepentingan bisnis perusahaan tertentu untuk memprediksi kehidupan manusia pada suatu negara. Dengan sistem kontrol algoritma yang menjadikan perusahaan digital semakin kaya dan terus dilirik. Hal ini secara tidak langsung telah mengubah kehidupan manusia sebagai produk atau lapak bisnis tanpa mempertimbangkan moralitas di dalamnya.

Akhirnya, bisnis menjadi pusat perhatian bersama, semangat entrepeneurship tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, moralitas dianggap sebagai suatu yang terpisah dari kehidupan bisnis. Padahal, saat bisnis semakin bergairah namun moral tidak hidup di dalamnya, maka yang terjadi bukanlah sebuah kemajuan, melainkan akan membuka ruang bagi perkembangan otoritarian dan pembodohan.

Benar bahwa menolak kehadiran teknologi adalah suatu hal yang mustahil, sebab dampak positif teknologi menjadikan negara mampu bergerak lebih cepat, menjadikan jangkauan negara lebih luas, termasuk dalam melakukan peretasan bagi media yang dianggap tidak berpihak pada permainan kekuasaan. Akhirnya, teknologi menjadi bola api, siapa saja yang keliru menggunakannya, ia akan membakar tuannya. Atas faktor inilah semestinya negara harus hadir sebagai lembaga untuk menjamin keselamatan rakyatnya dalam bermedsos atau menjaga marwahnya sebagai bangsa.

Jika memahami Indonesia secara kritis, maka belum terlihatnya keseriusan negara dalam mengontrol perusahaan medsos dengan tidak menyebutnya Indonesia pun tertindas oleh perusahaan medsos. Tanpa menyebut Indonesia belum merdeka karena medsos, yang terlihat hari ini seolah-olah kehadiran medsos tak merusak sendi-sendi perekonomian atau kebudayaan bangsa, yang marak justru sebalikya, negara sedang berusaha untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk dapat bersaing dengan negara-negara maju. Sepintas lalu memang demikian benarnya, tetapi kekacauan mengelola kecanggihan teknologi akan mengakibatkan kerugian berganda yang akan di alami negara.

Hadirnya kajian ini mencoba menguraikan dilema penggunaan produk teknologi dalam arti perkembangan bermedsos, dan kaitannya dengan kondisi negara sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat, termasuk menciptakan ruang bagi penguatan moral. Dalam konteks ini teknologi bukanlah tujuan negara, tetapi teknologi adalah media atau sarana untuk mencapai tujuannya. Artinya, kesejahteraan rakyat akan lahir dari kekuatan moral yang diperkuat oleh negara, sehingga terbentuknya iklim demokrasi dalam bingkai etika, mengedapankan kebebasan menaburkan moralitas.

Tanpa menguraikan dampak negatif dan positif dari sebuah medsos, kondisi demokrasi Indonesia hari ini tampak semakin suram, hal ini terjadi bukan saja negara sedang keliru urus dalam mengurus medsos, tetapi masyarakat juga bebas tanpa moral dalam memainkan narasi di medsos. Kondisi seperti ini disadari atau tidak, rakyat dan pemerintah sama-sama terkapar karena medsos. Kedua elemen negara ini (rakyat dan pemerintah) perlahan-lahan sedang memupuk ketidakpercayaan dengan menggunakan medsos, keduanya saling memanfaatkan medsos namun sama-sama merapuhkan pilar-pilar demokrasi yang mengharuskan saling percaya yang diikat oleh moral kebangsaan.

Diakui atau tidak, Indonesia hari ini tampak mengambang dalam hal mengontrol medsos, ke atas ia berusaha untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi, ke bawah ia tak mampu mengamalkan kemuliaan ideologinya. Demikian halnya dengan kondisi pembentukan hukum negara. undang-undang terkait teknologi dan informasi belum disentuh untuk memperkuat moralitas kerakyatan, namun ia masih dianggap sebagai peraturan yang sempit dan terkesan hanya memihak pada kebutuhan penguasa. Padahal hadirnya sebuah hukum tersebut harus mengikuti kebutuhan zaman dan membela hak-hak rakyat serta memperkuat kinerja negara yang diikat melalui moralitas Pancasila.

Lebih memprihatinkan lagi kondisi generasi Z (yang lahir di atas 1996), berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan kalangan ini disebut sebagai generasi yang tanpa disadari sedang mengalami kecanduan gawai, dan kondisi kejiwaan mereka dapat dikendalikan oleh kecerdasan buatan yang bernama algoritma. Hal ini juga diyakinkan dengan temuan bahwa tingkat bunuh diri, perdagangan manusia hingga perceraian semakin meningkat karena faktor bermedsos. Hadirnya narasi ini bukan berarti bagian menolak medsos atau mendukung negara anti dengan teknologi. Pastinya tulisan ini mencoba mempertegas bahwa Indonesia harus mampu menciptakan kebudayaan bangsa sebagai panglima dalam mengelola medsos tanpa memanfaatkan medsos sebagai pendukung program-program oligarki yang mesra dengan kekuasaan negara.

Sebagai masyarakat yang hendak mendorong negara agar mampu melindung rakyat dengan segala upaya pelapukan kemandirian ekonomi bangsa seperti apa yang dicita-citakan presiden Soekarno (mandiri secara ekonomi), sudah sepatutnya Indonesia bergegas menyelamatkan generasi bangsa agar terhindar dari cengkraman algoritma yang menjerumus generasi Indonesia sebagai produk bisnis perusahaan digital melalui berbagai platform medsos saat ini.

Upaya menjaga generasi sedemikian dapat dilakukan melalui tatakelola kebijakan pendidikan yang tak menjadikan teknologi sebagai panglima pendidikan nasional. Persamaan prinsip dalam mengelola pendidikan nasional mesti cepat terjadi di kalangan elite negeri agar tak simpang-siur dalam menciptakan generasi yang berkarakter pancasilais. Ingat, fondasi pendidikan Indonesia adalah menciptakan generasi Indonesia yang saling bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia, bukan sekedar mengejar ketertinggalan dalam mengelola teknologi, atau menggiring pendidikan untuk kebutuhan pasar industri yang telah terbukti terus berganti-ganti kebutuhannya seiring perkembangan zaman.

Benar bahwa spirit pendidikan bukan untuk dipertentangkan dengan teknologi, industri ataupun permintaan pasar. Tetapi semua itu mesti terpadu dengan memperkuat moralitas yang dididik dan pendidik sebagai sasaran utama pendidikan. Sebab realitas pendidikan Indonesia hari ini tidak sedang kekurangan manusia berpendidikan, atau tak paham mengelola teknologi, tetapi Indonesia hari ini sedang mengalami krisis moral, tak berdaulatnya keluhuran budi dalam mengelola negeri. Atas pekerjaan besar inilah kabinet presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin mesti terus dievaluasi sebagai wujud patriotik kita sebagai warga negara.