Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

HMI Dan Ruang Perjuangannya

Selasa, 27 Oktober 2020 | Oktober 27, 2020 WIB Last Updated 2020-10-27T03:07:16Z


 
Oleh : Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis melaporkan dari Darussalam, Banda Aceh

Sebagai warga negara yang mencermati demonstrasi penolakan RUU omnibus law, secara tidak langsug menggiring saya untuk mereportase satu segmen di balik peristiwa demonstrasi tersebut. Segmen itu adalah dominannya kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melakukan konsolidasi politik kewargaan dengan lembaga civil society di tanah air. Sebagai orang yang merasa ditempa oleh HMI dengan berbagai dinamika internal dan eksternalnya, saya ingin sampaikan ke publik bahwa HMI di Indonesia bisa saja tak benar, tetapi proses penegakan kebenaran di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari gerakan HMI yang kini umurnya sedikit lebih muda dari umurnya Indonesia.

Intinya, HMI itu adalah gerakan perjuangan nilai keislaman dan keindonesiaan dengan berbagai strategi kebangsaan gerakannya. Buah pikir gerakan seperti ini dicetuskan oleh pahlawan nasional Lafran Pane. Dengan pola gerakan seperti ini, HMI dijadikan kenderaan perjuangan oleh cendekiawan-cendikiawan muslim seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra. Tidak hanya itu, politisi-politisi negeri ini pun terlahir dari rahimnya HMI seperti M. Jusuf Kalla, M. Mahfud MD dan masih banyak tokoh-tokoh HMI lainnya yang tidak mungkin saya uraikan satu persatu melalui reportase singkat ini.

Pada posisi ini saya tidak sedang fanatik terhadap HMI atau tidak sengaja saya menulis HMI karena saya bagian dari HMI, tetapi reportase ini mencoba mengingatkan kembali kepada publik bahwa arus utama perjuangan HMI tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga kedaulatan bangsa Indonesia dengan berbagai bentuk penjajahan dengan mengedepankan gerakan ideologis keislaman yang moderat.

Berdasarkan fakta sejarah, HMI telah menoreh prestasi dalam melawan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI), menjaga ketahanan gagasan Islam moderat di tanah air melalui kader-kadernya yang tersebar di seluruh Indonesia tanpa menyebutnya di level internasional. Namun demikian, prestasi sejarah yang ciptakan HMI bukan berarti HMI tidak memiliki kekurangan atau tantangan yang lebih berat lagi. Dalam konteks ini, saya tidak ingin menguraikan kekurangan gerakan HMI masa kini, karena kekurangan tersebut merupakan produk dari kader HMI yang eror, kader seperti ini mahir mengatasnamakan HMI dengan tidak mampu memahami landasan ideloogis ke-HMI-an.

Dari sudut pandang ini pula saya ingin berbagi kepada publik bahwa HMI tidak selamanya dipahami dari sisi kepribadian sosok tokohnya, melampaui itu HMI mesti dipahami dari sejauhmanakah gerakannya untuk mampu menjayakan praktik keislaman dan manentang segala bentuk penjajahan di tanah air. Pada posisi ini tidak heran jika ribuan kader HMI yang turun ke jalan dalam aksi penolakan RUU omnibus Lawseperti yang sedang berlangsung saat ini, sebab berdasarkan kajian HMI bahwa RUU omibus law yang disahkan DPR-RI waktu lalu mengalami inskonstitusional atau “membahayakan” bagi kedaulatan bangsa Indonesia.

Konkretnya, berdasarkan kajian pengurus HMI di tanah air secara sadar merasakan bahwa Indoesia hari ini sedang berada dalam kontrol politik oligarki, terperosok dalam lapak pasar liberalisasi komunisme dan liberalisme, ukhuwah islamiyah sesama muslim terbelah hingga spirit toleransi dapat digiring untuk tak bernyali pada negara asing yang nyata-nyata merendahkan martabat Indonesia. Kondisi seperti ini bukanlah spkekulasi saya semata, melainkan realitas politik hari ini. Mungkin kasus pulau Natuna dapat menjadi salah-satu contoh apa yang saya singgung di atas.

Atas serangkaian pandangan di atas, saya mencoba membingkai terkait bagaimanakah ruang perjuangan HMI agar generasi masa kini paham dalam memahami pola-pola gerakan bela tanah air masa kini, terutama terkait tujuan HMI dibentuk di tanah air. Makna ruang perjuangan HMI adalah suatu wahana yang selalu ditempuh oleh kader HMI dalam mencapai tujuannya. Wahana perjuangan tersebut adalah keagamaan, kenegaraan dan pembentukan karakter mahasiswa.

Perjuangan HMI dalam konteks keagamaan bertujuan untuk terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt. Pada posisi ini pula landasan teologis HMI menjadikan kader HMI tidak tunduk dan tidak takut selain pada Allah Swt. Kesadaran seperti inilah kader HMI itu dapat militan di atas garis perjungannya. Dengan seperti ini, publik tak perlu heran ketika kader HMI bernyali perlawanan tinggi, tidak takut pada penguasa yang zalim, tidak takut pada cukong yang berada di balik elite negara. Spirit militansi seperti inilah yang selanjutnya dapat pembaca pahami dari konsep insan cita yang ditanamkan dalam setiap training-training HMI, baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional.

Dalam konteks wahana perjuangan di level kenegaraan, HMI turut berperan aktif mendorong kekuatan negara dan mengawasi arah kekuasaan. Pada posisi ini idelogi HMI yang disebut Nilai Dasar Perjuangan (NDP) menjadi ideologi segaris untuk membumikan Pancasila. Jika publik hari ini merasakan bahwa Pancasila belum begitu membumi, maka HMI memiliki peran stretegis dalam membumikan Pancasila agar diteladani oleh seluruh elemen berbangsa dan bernegara saat ini.

Dengan ruang kedua dari perjuangan HMI ini terkadang HMI sering diidentikkan dengan organisasi politik atau organisasi yang rawan terjebak oligarki. Bagi saya, anggapan sedemikian mungkin benar dan tidak seutuhnya keliru. Yang jelas keberadaan HMI terkadang membuat para menguasa yang zalim menjaga jarak, atau terus berusaha untuk menjinakkan HMI. Hal ini terbukti pada saat PKI ingin membubarkan HMI masa orde baru.

Pada posisi ini pula saya ingin pertegaskan bahwa HMI bukanlah organisasi politik seperti partai politik, tetapi HMI adalah organisasi pengkaderan yang terus bergiliran untuk berjuang dalam menjayakan praktik keislaman dan keindonesiaan. Soal HMI cenderung masuk dalam dinamika kekuasaan dengan segala akses kuasanya merupakan suatu hal yang wajar ketika HMI difungsikan untuk menjaga kedaulatan bangsa secara nonmiliter.

Dalam konteks ruang perjuangan pembentukan karakter mahasiswa, HMI hanya dapat digeluti oleh mahasiswa. Sebab dalam proses pembelajaran dan dinamika di HMI itu membutuhkan daya banting yang kuat, memiliki keinginan terus belajar, hingga tak mudah terjebak pada sikap pragmatis. Dalam proses pembentukan karakter mahasiswa ini, mahasiswa yang bergabung di HMI akan terseleksi secara struktural dan nonstruktural.

Yang terseleksi secara struktural adalah nama lain dari tidak mendapat menduduki jabatan strategis di internal HMI. Kamudian yang terseleksi secara nonstruktural akan mempraktikan ideologi HMI dengan kreasinya sendiri tanpa mengatasnamakan gerakan HMI. Tipe seperti ini bukan tidak bagian dari strategi gerakan HMI, kerena pahlawan nasional Lafran Pane berpemahaman bahwa “apapun profesimu dan di manapun posisimu, asalkan dirimu memperjuangkan nilai keislaman dan keindonesiaan, maka telah berada padanyagairah perjuangan HMI”. Akhir dari reportase ini saya ingin sampaikan kepada publik bahwa memahami HMI tak dapat dengan pikiran yang sempit dan hati busuk, karena HMI sesungguhnya bukan sekedar organisasi kepemudaan, melainkan dapat berupa wujud reingkarnasi “ilahiahí”dalam bingkai keislaman dan keindonesiaan. (fatazul@gmail.com).