Oleh : Johansyah
Hari senin lalu (14/09/20) saya diberi kesempatan menyampaikan materi pada stadium general di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Bustanul Arifin. Temanya yang saya bahas adalah “Menuju Kampus Merdeka, Upaya Menjawab Tantangan Era Industri 4.0”.
Dalam uraian tersebut, saya coba menyampaikan kondisi ril kita saat ini yang berada di era revolusi industri 4.0 atau revolusi keempat. Revolusi industri pertama diperkirakan tahun 1800-an yang ditandai dengan ditemukannya mesin uap. Satu abad kemudian, yakni pada tahun 1900-an, dunia memasuki fase revolusi industri kedua, yang ditandai dengan penemuan listrik. Selanjutnya revolusi industri ketiga satu abad setelahnya yakni pada tahun 2000-an, yang ditandai dengan penemuan komputer. Adapun revolusi industri 4.0 ini ditandai dengan kegiatan manufaktur yang terintegrasi melalui penggunaan teknologi wireless dan big data secara masif.
Nah, perubahan yang begitu cepat antara rentang waktu revolusi industri tahap ketiga dan keempat. Kalau revolusi sebelumnya memakan waktu selama satu abad. Tapi dari revolusi ketiga menuju keempat waktunya tidak sampai dua puluh tahun. Ini mengisyaratkan bahwa akan ada fase lanjutan dari revolusi tahap keempat ini dan mungkin waktunya lebih cepat lagi.
Begitulah, perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan cepat dan pesat. Dari hari ke hari manusia terus berusaha meneliti, mempelajari, dan menemukan berbagai hal, di mana itu semua bermanfaat bagi kehidupan manusia selama tidak disalahgunakan.
Menjadi sesuatu hal yang wajar jika kemudian produk teknologi baru mengubah kebiasaan dan situasi sebelumnya. Bahkan diperkirakan era digitial dalam revolusi industri 4.0 secara global akan menghilangkan sekitar 1-1,5 miliar pekerjaan sepanjang tahun 2015-2025 karena digantikannya posisi manusia dengan mesin otomatis (Gerd Leonhard, Futurist). Selanjutnya diestimasi bahwa pada masa yang akan datang, 65% murid sekolah dasar di dunia akan bekerja pada pekerjaan yang belum pernah ada di hari ini (U.S. Department of Labor report).
Meski ada ancaman di era ini, tapi di sisi lain tentu juga ada peluangnya. Era digitalisasi berpotensi memberikan peningkatan net tenaga kerja hingga 2.1 juta pekerjaan baru pada tahun 2025. Di samping itu erdapat potensi pengurangan emisi karbon kira-kira 26 miliar metrik ton dari tiga industri: elektronik (15,8 miliar), logistik (9,9 miliar) dan otomotif (540 miliar) dari tahun 2015-2025 (World Economic Forum).
Hal yang terpenting adalah sikap kritis kita menghadapi perubahan yang begitu cepat ini. Kita tidak bisa memisahkan diri atau keluar dari ruang dan waktu yang telah ada walaupun ada jargon ‘ulak ku sedenge’ karena waktu tidak mungkin kembali pada masa lalu. Tentu ruang dan waktu kita hanya satu dan oleh karenanya tidak ada pilihan melainkan ikut terus di dalamnya dalam kondisi apa dan bagaimana pun.
Persoalannya, apakah kita hanya mampu menjadi penonton atau pemain, menjadi sutradara ataukah pemain filmnya, dan menjadi pecatur atau menjadi orang yang dicatur. Kalau ingin menjadi pecatur, pilihannya harus membekali diri dengan ilmu catur agar kita bisa mengatur. Selebihnya, kalau kita diam dan kaku, atau mungkin kurang peduli, maka tunggulah waktunya. Kita akan menjadi orang atau kelompok yang diatur, bahkan mungkin dikorbankan, dipermainkan dan ditindas.
Secara manusiawi kita tidak ingin menjadi kelompok yang diatur bahkan ditindas. Kita semua mengingkan memiliki power agar tidak selamanya di bawah dan dicatur. Minimal kalau tidak sampai pada taraf pengatut, kita bisa hidup bebas tanpa tekanan dan kebergantungan pada orang atau kelompok lain.
Kelau begitu, satu-satunya jalan adalah kita harus mampu berperan dan bersaing di era revolusi industri 4.0 ini. Jargon di era ini juga adalah kompetitif atau berdaya saing. Nanti hanya yang mampu bersaing saja yang mampu bertahan hidup dan bereksistensi. Mereka yang tidak kompetitif akan digilas atau tergilas sendiri. Kesannya memang kejam, tapi inilah kondisi rilnya.
Lalu apa modal yang kita butuhkan untuk mampu menjadi orang atau komunitas yang kompetitif? Yakni menguasai literasi dengan baik. Setidaknya ada empat literasi, yaitu literasi data, literasi teknologi, literasi manusia, dan literasi pengalaman langsung.
Literasi data terdiri dari kemampuan membaca, menganalisa, dan menggunakan informasi (big data). Adapun literasi teknologi adalah memahami cara kerja mesin dan aplikasi teknologi (artificial inteligennce, coding, enginering principle). Sementara literasi manusia terdiri dari humanities, komunikasi, dan desain. Terakhir yakni literasi, yakni experiental learning, dan robot proof. Keempat kemampuan literal ini diharapkan mampu menjadi landasan dan modal bagi generasi muda di era kompetitif ini.
Begitulah, tahapan demi tahapan pengembangan pengetahuan telah kita lihat dan bekal apa yang kita persiapkan untuk menghadapi itu semua. Tentu, itu semua lebih mengedepankan aspek adaptasi kita terhadap perubahan itu sendiri. Bagaimana agar kita tidak ketinggalan, apalagi nanti biasa tergilas.
Dalam amatan saya, adaptasi keilmuan dalam dimensi empiris dunia jelas menjadi sebuah keniscayaan. Tapi modal itu diyakini masih lemah dalam menopang kehidupan kompetitif sekaligus kontributif serta berorientasi pada kenyamanan sosial. Bagaimana pun ilmu pengetahuan dan teknologi akan tetap liar dan buta terhadap standar kebaikan. Produk ilmu memang tidak ditugaskan untuk mengklasifikasi bahwa ini baik dan itu buruk. Standar itu akan kita peroleh dari nilai-nilai agama dan kearifan lokal sebagai bentuk interpretasi kontekstual agama.
Apa yang saya maksud tidak lain adalah dimensi dan misi profetik atau misi nubuwah, yakni penumbuhan karakter akhlakul karimah. Dari perspektif keilmuan Islam, misi inilah sebagai misi dasar yang harus dibumikan dalam proses pendidikan. Sebagaimana rasul ketika dulu diutus oleh Tuhan, misi utamanya adalah memperbaiki kondisi moral masyarakat Arab.
Dengan ungkapan lain, generasi yang kita impikan adalah generasi yang hebat otaknya, sekaligus jernih hatinya. Ilmunya mumpuni, tapi akhlaknya juga mulia. Keduanya harus mampu terintegrasi dengan baik untuk menghasilkan manusia yang unggul, kompetitif dan kontributif. Wallahu a’lam bishawab.
Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah dan Ketua Persatuan Mahasiswa Takengon (PERMATA) IAIN Ar-Raniry tahun 2000.