Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MATINYA AGAMA

Rabu, 23 September 2020 | September 23, 2020 WIB Last Updated 2020-09-23T06:38:01Z


Oleh : Johansyah

Kita sering mendengar ulasan dari seorang penceramah atau khatib tentang ancaman eksternal bagi Islam dengan merujuk pada sebuah ayat berikut; “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. al-Baqarah: 120).

Dengan kata lain, kita memahami bahwa agama itu (dalam hal ini Islam) bisa jadi akan melemah dan mati akibat perilaku kelompok di luar Islam yang mencoba menghancurkan Islam dengan berbagai cara. Yang jelas, tidak harus dengan cara kekerasan, tapi dengan cara yang halus, terutama melalui perubahan tradisi sedikit demi sedikit. Kita dan generasi muda kita terus digiring agar jauh dari nilai-nilai agama dan budayanya.

Di satu sisi jelas ini benar, apalagi sumbernya adalah ayat al-Qur’an. Namun di sisi lain, kita juga harus benar-benar sadar bahwa ternyata matinya agama itu bukan sekedar ulah orang yang berbeda dengan keyakinan kita, melainkan kita sendiri yang mematikannya.

Bahkan cara yang kita gunakan untuk mematikan agama sendiri jauh lebih halus dan tidak kelihatan, tapi akibatnya sangat sadis dan mengenaskan. Cara halus yang saya maksud adalah bahwa kita berbicara agama, mendirikan lembaga-lembaga bernuansa agama, kajian-kajian, agama, dan aktivitas lainnya dengan hanya memanfaatkannya untuk mencapai kepentingan pribadi sesaat.

Sebagai contoh kasus, saya coba menyorot lembaga pengajian. Mohon maaf pada teman-teman, ulasan ini tidak ditujukan pada lembaga tertentu tapi secara umum sehingga saya berharap teman-teman yang berkiprah di bidang ini tidak tersinggung dan salah paham.

Diakui atau tidak ada oknum ustadz sebuah pengajian dan pendidikan yang kesehariannya disibukkan dengan mengajukan proposal pada pemerintah. Dia mengatakan bahwa santri di pengajiannya sudah mencapai puluhan orang, dan oleh karena itu dia memohon pada pemerintah agar sedia kiranya membantu sarana fisik untuk pengajiannya. Padahal data dalam proposalnya sangat berbeda dengan kenyataannya. Di pesantrennya hanya ada sepuluh santri, itu pun tidak menginap. Kecuali itu, pengajiannya siluman, santrinya ramai, tapi tidak kelihatan.

Orientasinya bukan lagi untuk mencetak generasi jujur dan memiliki kemampuan yang mumpuni di bidang keilmuan Islam, tapi sudah mulai mengarah pada hal-hal yang bersifat materi. Ujung-ujungnya lembaga pengajiannya dimanfaatkan untuk mengajukan proposal ke sana ke mari, membangun ruangan dan dalam proses pembangunannya sang guru ngaji ikut ambil bagian di dalamnya. Mereka berproyek dengan harapan mendapat sedikit keuntungan dari proyek tersebut.

Apakah salah membangun aspek fisik lembaga pengajian? Tentu tidak, bahkan itu adalah sarana penunjang yang sangat menentukan. Meski demikian, kenapa sebagian oknum ustadz bersikeras harus terlibat langsung dalam proyek tersebut? Bukankah sebaginya diserahkan pada mereka yang membidangi dan betul-betul paham dengan itu? Biarlah yang diterima wujud nyata pembangunan fisiknya yang sudah siap seratus persen.

Meskinya para ustadz pengajian itu benar-benar fokus dalam menumbuhkembangkan kemampuan para santri. Memikirkan bagaimana caranya bahwa pengajiannya itu memiliki program unggulan, program inovatif sehingga suatu saat lembaga pengajiannya diperhitungkan, baik dalam skala lokal, regional, dan nasional.

Miris dalam hati, ketika saya melihat sebuah lembaga pengajian yang pembangunan fisiknya sudah sangat bagus. Tapi sayang, satu santri pun tidak ada di sana, kecuali hanya keluarga sebagai pengelola pengajian tersebut. Anehnya, laporan lembaga pengajian ini selalu update dan rutin. Kalau menurut laporan tersebut, aktivitas pengajian dan pendidikan tidak pernah vakum sama sekali.

Cara-cara seperti inilah yang sejatinya menjadi kekhawatiran kita. Kalau ancaman dari luar seperti yang dideskripsikan pada ayat di atas, itu memang sudah pasti adanya. Nah, ancaman dari dalam, itulah bentuk-bentuk menggunakan pakaian agama untuk memenuhi kepentingan pribadi, dan inilah yang paling berbahaya.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia agama dipahami sebagai suatu sistem yang mampu mengatur tata keimanan dan kepercayaan serta ibadah pada Tuhan Yang Maha Kuasa disertai dengan tata kaidah yang berkaitan langsung dengan ciri pergaulan manusia dengan manusia lainnya ataupun manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Intinya agama itu mengatur, bukan diatur. Tapi, ternyata sudah banyak dari kita yang menggiring agama untuk mengikuti keinginan kita. Padahal seharusnya kitalah yang beradaptasi dengan petunjuk agama. Makanya kyai sejuta umat, KH. Zainuddin, MZ dalam sebuah ceramahnya mengatakan; ‘di mana-mana kayu yang ikut meteran, bukan meteran yang ikut kayu’. Ketika diukur satu meter untuk kebutuhan tertentu, maka kayu itulah yang dipotong. Bukan malah meterannya yang menyesuaikan diri dengan kayu tersebut.

Dalam hidup ini juga demikian. Agama itu ibarat meteran, standar dan pedoman hidup. Dalam agama tersebut sudah ada ukuran yang jelas tentang semua aktivitas kehidupan. Oleh sebab itu jangan sampai kita memaksakan diri agar agama tersebut sesuai dengan keinginan kita. Kalau kita tetap ngotot dengan cara ini, tunggulah kematian agama. Dan kalau agama mati, matilah juga adab dan peradaban manusia. Itu artinya manusia akan segera hancur.

Kita tentu tidak menginginkan hal ini terjadi. Oleh sebab itu kitalah yang harus menjaga agama agar tetap bernafas dan hidup mengatur kita. Caranya adalah menempatkan agama pada posisinya yang tepat dan sebagaimana mestinya. Yakni menempatkan agama sebagai standar hidup, bukan menjadikannya sebagai pemuas ambisi hidup. Agama tidak boleh kita peralat, tapi dijadikan alat untuk menciptakan kebaikan dan kebahagiaan abadi, di dunia maupun akhirat.

Kasus pengajian yang saya angkat, tentu hanya salah satunya dalam kaitan dengan cara kita menempatkan agama dalam kehidupan. Lembaga lain yang identik dan berlabel agama lebih kurang demikian. Katakan dinas syariat Islam di Aceh, kementerian agama, perguruan tinggi Islam, dan lain-lainnya. Kita harus malu sebagai bernuansa agama. Oleh sebab itu munculkanlah sikap dan perilaku sebagaimana layaknya orang yang taat dalam menjalankan agama. Kitalah yang berada di garda terdepan dalam menegakkan agama, bukan malah sebaliknya di barisan terdepan dalam menghancurkan agama.

Kalaulah sekelompok preman yang mengejek orang shalat, atau orang mabuk yang melihat aktivitas pengajian sebagai aktivitas tidak waras, itu adalah hal lumrah. Tapi manakala orang shalat berwatak premanisme atau guru pengajian dimabukkan dengan kepentingan pribadi dan kehidupan ini, apa kata dunia. Tugas ulama adalah membimbing para pelaku maksiat. Tapi maksiatnya ulama, itulah tanda kehancuran dan kematian agama. Wallahu a’lam bishawab!

Alumni Persatuan Mahasiswa Takengon (PERMATA) UIN Ar-Raniry Banda Aceh