Zulfata Direktur Sekolah Kita Menulis |
Oleh : Zulfata,. M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis
Ada hal yang menarik saat mencermati iklim berdemokrasi di Aceh saat ini, tepatnya saat Aceh dipimpin oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Seiiring dengan beberapa kebijakan “kontroversialnya” seperti pemberlakuan jam malam di awal ancaman covid-19 melanda Aceh, “penolakan” angka kemiskinan Aceh, sapi kurus, stiker bersubsidi hingga efisiensi tata kelola gebrak masker. Sederet kebijakan yang disebutkan telah memposisikan Plt. Nova Iriansyah dihujani kritik. Kritik bukan saja datang dari kalangan praktisi politik atau akademisi, tetapi juga dari kalangan mahasiswa yang kritis dalam menyampaikan aspirasinya.
Tanpa menyatakan bahwa kritik yang menghujani Plt. Nova Iriansyah adalah sebuah representatif “kemurkaan” masyarakat terhadap pemimpinnya, yang jelas kondisi sedemikian patut kita apresiasikan karena saat ini telah ada trend pada publik bahwa masyarakat cukup baik mengamati dan merespons kebijakan-kebijakan yang ditelurkan Plt. Nova Iriansyah.
Sanking tingginya daya partisipatif publik dalam merespons kebijakan pemerintah Aceh, pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terkesan tak punya daya untuk menampung semua aspirasi masyarakat. Hal ini terbukti dalam beberapa kali pernyataan pihak legislatif tidak diperdulikan oleh pemerintah Aceh. Buntutnya, pemerintah Aceh memakai strategi “kaca mata kuda”, masyarakat menyampaikan aspirasi mesti dianggap seperti angin lalu, dan DPRA berlabuh bak awak kapal tanpa nahkoda. Inilah potret demokrasi Aceh yang muncul saat Plt. Nova Iriansyah dihujani kritik.
Dalam proses berdemokrasi, diterima atau tidaknya suatu aspirasi sejatinya bukanlah atas “ketulian” atau matinya rasa peka pemimpinya. Tetapi diterima atau ditolaknya aspirasi masyarakat mesti mengacu pada azas kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat mesti menjadi matahari arah kebijakan yang dijalankan oleh pihak eksekutif, dan dikontrol atau diawasi oleh pihak eksekutif.
Tetapi proses mormatif berdemokrasi sedemikian belum begitu kuat untuk Aceh, sebab nuansa berdemokrasi di Aceh masih tercium aroma oligarki. Janji-janji mensejahterakan rakyat hanya pemawarna dalam penyampaikan pidato-pidato pemerintahan, di permukaan demi rakyat, di belakang sama-sama menghitung alokasi kekuasaan kemitraan. Penyakit ini tidak hanya terjadi pada tingkat pemerintah provinsi, tetapi telah merambat ke pemerintah desa. Tanpa berspekulasi, fakta ini dapat ditemukan melalui pemberitaan kisruhnya penyaluran Bantuan Tunai Langsung (BLT) di pemerintah desa, hingga pelaksanaan kurang kredibelnya pemerintah provinsi dalam memberikan stimulus ekonomi masyarakat di tengah pandemi.
Dengan kondisi Aceh seperti ini, penulis tidak sedang menggiring apakah DPRA yang lemah fungsi pengawasannya? atau pemerintah Aceh lebih lincah satu langkah lobi politiknya dari pada DPRA? Relasi eksekutif dan legislatif seperti inilah terkadang menjadikan Aceh marak dihinggapi kebijakan yang cacat moral. Parahnya pemerintahan Aceh saat ini terkesan jago dalam salah menyalahkan, kecut dalam berkonsolidasi demi masyarakat. Akhirnya, masyarakat Aceh cenderung disuguhi curhatan-curhatan politik oleh beberapa anggota legislatif di media massa.
Mencermati sikap legislatif dan eksekutif di Aceh seperti ini, saya tidak ingin terjebak apakah saya membela legislatif atau sedang mendukung sikap Plt. Nova Iriansyah. Yang jelas kedua lembaga tersebut (eksekutif dan legislatif) sama-sama merugikan masyarakat, bahkan kedua lembaga tersebut telah mencederai amanah rakyat Aceh. Alasannya, sebagai konsekwensi berdemokrasi, sepatutnya eksekutif sama-sama mencari titik konsolidasi (bukan mahir bersinergi di balik layar). Kekurangan eksekutif karena terkesan fokus main sendiri-sendiri, kekurangan legislatif karena kekuasaan seperti dikebiri oleh eksekutif.
Jika dipahami lebih dalam, kekacauan beberapa kebijakan pemerintah Aceh cenderung dipicu oleh sikap egonya para elite, baik yang ada di legislatif maupun di eksekutif. Parahnya, sikap ego sektoral seperti ini tidak selesai pada satu program kegiatan saja, bahkan dapat bersambung pada kegiatan selanjutnya. Artinya sikap dendam politik untuk menyerang program kubu lawan politik amat sering terjadi di Aceh. Sehingga tidak aneh ketika melihat giringan isu kelompok penguasa di Aceh dalam menghebohkan suatu kebijakan. Padahal, ada banyak kebijakan lain yang juga penting ditampilkan ke publik.
Sederhananya, isu yang dimainkan oleh penguasa memang muncul dari penguasa, pendapat masyarakat hanya hadir sebagai asesorisnya, tetapi bahan bakunya disuplai oleh elite penguasa. Artinya tidak semua hujan kritik yang menimpa Plt. Nova Iriansyah menjadikan ia salah secara pemimpin publik. Argumentasi seperti ini akan dapat dipahami ketika kita mampu menjawab apakah Plt. Nova Iriansyah betul-betul sendiri dalam menahkodai Aceh saat ini? atau siapa yang menjaganya secara trah politik nasional? Sebaliknya, pada saat hujan kritik mendera DPRA, apakah secara otomatis menyalahkan kredibelitas DPRA secara kelembagaan? Argumentasi ini akan dapat dipahami ketika kita mampu menjawab apakah betul-betul DPRA secara kelembagaan tidak merestui sikap politik Plt. Nova Iriansyah?
Rentetan-rentetan pertanyaan kunci inilah yang kemudian menjadi misteri politik di daerah yang kaya raya Sumber Daya Alam (SDA) namun miskin konsolidasi politik kedaerahannya. Belum terpecahnya misteri di balik hujan kritik Plt. Nova Iriansyah oleh DPRA dipastikan Aceh akan terus jalan ditempat, iklim demokrasi bertahan di kebisingan adu argumentasi dan jauh panggang dari api untuh menjalankan substansi berdemokrasi di Aceh.
Iklim berdemokrasi di negeri ini memang sedang dihantui oleh monopoli politik oligarki. Tetapi telah menjadi ciri berdemokrasi di Aceh bahwa Aceh saat ini sedang berjuang dalam hal “keuntungan politik” golongan elite satu dengan golongan elite lain, dan suasana politik persaudaraan dan kesolehan masih jauh dari kata keniscayaan bagi Aceh untuk sepuluh tahun kedepan. Terlebih lagi misteri relasi politik antara legislatif dan eksekutif di Aceh saat ini sedang memasuki proses Pilkada Aceh 2022. Di sini pula celah merajut kekuatan politik dapat dimanfaatkan, mencuri garis start saat mempersuasif publik. Sehingga belum tercapainya misi pemerintahan Aceh periode ini, namun Aceh terus diwarnai kebijakan dan sikap politik populis menuju Pilkada Aceh 2022.
Sebagai rakyat, kita tidak boleh tinggal diam, satu-satunya yang mampu memecahkan misteri politik antara legislatif dan eksekutif di Aceh adalah masyarakat Aceh itu sendiri. Dengan adanya trend menyampaikan aspirasi secara kritis terhadap tata kelola pemerintahan Aceh saat ini dapat dianggap modal tambahan untuk mengisi kekosongan peran legislatif dan eksekutif saat menjalankan tanggung jawabnya.Akhirnya, dengan sikap optimis dan terus mendorong gairah publik dalam menyuarakan aspirasinya secara kritis demi hadirnya kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat, pada saat itu pula hujan kritik yang menimpa Plt. Nova Iriansyah senantiasa menjadi hujan kedamaian bagi Aceh yang sejahtera dan sentosa. Semoga