Oleh : Turham AG
Dosen IAIN Takengon
Mubiyo koro dalam bahasa Gayo berasal dari kata biyo (halau), dengan penambahan awalan mu sehingga menjadi mubiyo yang berarti menghalau. Sementara koro merupakan kata benda yang langsung diterjemahkan kedalam bahasa indonesia berarti kerbau.
Mubiyo koro (menghalau kerbau) dimaksudkan dalam tulisan ini berkaitan dengan setrategi yang selalu dilakukan peternak atau pengembala kerbau saat mubiyo koro pulang kekandang atau mengantar kerbaunya ke kawasan peternakan (peruweren)
Mengingat setrategi tersebut selalu dipakai setiap peternak atau pengembala kerbau saat mubiyo koro, maka dalam istilah Gayo dikenal dengan istilah politik mubiyo koro.
Seiring dengan perjalanan waktu, politik mubiyo koro sering dikaitkan orang dengan kepemimpinan dalam merencanakan dan memerintahkan bawahan, sebagaimana orang juga sering menyebut dan mengaitkan kepemimpinan seperti manajemen tukang pangkas.
Terlepas dari semua itu, dalam mubiyo koro paling kurang ada 4 masalah biasa terjadi ditengah perjalanan, seperti temungkelen, sakit kiding, juah dan muang
Koro yang temungkelen (kecapekan) biasanya disebabkan terlalu tua, terlalu kecil, sakit atau medan yang dilalui terlalu beresiko, terhadap kondisi koro yang demikian pemilik maupun pengembala akan mengistirahatkan seluruh koro pada suatu tempat yang sudah dipastikan aman dari hewan liar maupun pencuri.
Istirahat (teduh) biasanya dilakukan paling kurang 1 atau 2 malam dan setelah itu perjalanan akan dilanjutkan kembali dengan mempertimbangkan keadaan koro yang temungkelen sudah pulih.
Pertimbangan lainya adalah keadaan logistik yang tersedia, jika terlalu lama istirahat kemungkinan logistik tidak mencukupi dan resiko yang akan terjadi bila terlalu lama istirahat koro yang lain akan susah diamankan karena prinsip koro kalau bukan wilayahnya dia tidak akan merasa nyaman apabila berlama-lama ditempat tersebut.
Bila keadaan koro yang temungkelen telah pulih dan sehat maka perjalanan akan diikutkan bersama koro-koro yang lain. Namun apabila tidak memungkinkan kerbau temungkelen dapat berjalan atau masih belum pulih, akan ditinggalkan yang tentunya dijaga oleh 1 orang, atau paling kurang dititipkan pada orang terdekat di kawasan itu
Demikian juga perlakuan terhadap kerbau yang tidak dapat berjalan lagi karena terdapat luka pada kaki (mugah) atau sakit kaki (sakit kiding) kerbau seperti ini biasanya dituntun berjalan pelan-pelan (i tonai) oleh orang yang ditugaskan secara khusus mengawal dari belakang. Sebab kerbau ini akan jauh tertinggal dari kawanan kerbau lain
Tidak tertutup kemungkinan juga dalam kawanan kerbau itu terdapat yang sangat lincah atau agresif (juah), terhadap kerbau demikian juga tidak luput dari pengawasan sang pemilik. Kerbau yang seperti ini sering tidak mengikuti jalan yang ada, tetapi selau berbelok kekanan atau kekiri sekehendak hatinya
Bila kerbau ini keluar dari jalan menuju ke arah kekanan pemilik dengan sigap memberi instruksi melalui aba-aba wi-wi, artinya balik ke kiri menuju jalan yang ditempuh, demikian juga bila jalan kerbau berbelok ke kiri akan diperintahkan kembali kekanan dengan aba-aba kuen-kuen.
Paling aneh dan penuh tanda tanya dalam kelompok kerbau ada yang suka menyendiri atau mengasingkan diri (muang), terhadap kerbau muang ini pemilik atau pengembala tidak boleh silap (gere nguk lale) sebab dia akan pergi mengasingkan diri atau keluar dari pasukan.
Pada diri koro muang bila sempat sembunyi dengan uris, maka akan sulit ditemukan, maka dari itu pemilik dan pengembala mengetahui betul karakter seluruh kerbau.
Selain mengetahui karakter seluruh kerbau, pada pemilik atau pengembala kerbau memiliki satu kekuatan menjinakan kerbau dengan memberi garam pada mulut kerbau yang dinamakan poa ni koro
Tanpa disadari dan tanpa maksud menyamakan, ternyata dalam menjalankan roda pemerintahan juga terdapat pel oh (perangai) sebagaimana kejadian dalam politik mubiyo koro. Paturt diacungi jempol kepada pemilik atau pengembala kerbau yang dengan sigap mampu mengendalikan beberapa pel oh saat mubiyo koro.
Peregen, 15 Agustus 2020