Oleh : Johansyah
Masa kecil dulu, ada beberapa batang pohon alpukat di kebun kelupak mata. Siapa yang mau ambil atau jual buah ini terserah saja. maklum buah ini saat itu tidak bernilai sama sekali. Jangankan untuk dijual, mengonsumsinya saja kita enggan. Kalau ada saudara kita dari pesisir memesan buah ini, mungkin tanpa beban kita berikan bahkan lebih dari yang dipesannya sebab di tempat kita buah ini dianggap kurang berarti. Mirisnya, kita sering mendengar olokan kurang indah bagi orang-orang yang mengonsumsi buah ini. begitulah buah alpukat tempo dulu.
Seiring dengan perputaran waktu, dari hari ke hari orang-orang semakin tersadar betapa banyaknya manfaat buah ini hingga akhirnya mereka mulai memperhitungkan keberadaan buah ini. Kini, sudah banyak petani yang mulai menjadikan buah ini sebagai salah satu komoditas andalan selain kopi. Hitung-hitungannya, perawatan buah ini tidak ribet dan sekaligus dapat dimanfaatkan untuk tanaman pelindung bagi tanaman kopi. Akhirnya menanam buah pokat menghasilkan keuntungan ganda; keuntungan secara ekonomi dan sebagai pelindung bagi buah kopi.
Saya juga teringat pada buah mengkudu yang dulu semasa kuliah S1 di Darussalam. Tidak banyak yang menghiraukan tumbuhan ini karena dianggap sebagai tumbuhan biasa. Tahun dua ribuan khasiat buah mengkudu mulai ramai diperbincangkan sebagai salah satu obat herbal. Lambat laun tumbuhan ini pun semakin mendapat perhatian khusus dan tidak lagi dianggap sebagai tanaman biasa.
Itu hanya beberapa gambaran tentang sikap ‘biasa saja’ kita terhadap berbagai ciptaan Allah SWT. Lalu kapan kita menganggapnya tidak biasa atau ternyata luar biasa? Yakni pada saat kita sudah mengetahui manfaat dan keberadaannya bagi manusia dan ternyata memang kita sangat membutuhkannya. Hanya saja, kebanyakan kita abai tentang ciptaan-ciptaan-Nya sebab keawaman tentang keberadaannya.
Betapa al-Qur’an telah menyentil dan menegaskan bahwa semua ciptaan Allah SWT itu tidak ada yang sia-sia sebagaimana yang ditegaskan dalam surah ali-Imrah ayat 190-191; rabbana ma khalaqta hadza bathila (Wahai Tuhan kami, ternyata tidak ada yang Engkau ciptakan sia-sia). Semua ciptaan-Nya memiliki fungsi dan tujuan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Allah SWT memang tidak secara langsung merinci nama ciptaan sekaligus kegunaannya bagi manusia.
Dalam ayat lain bahkan Allah SWT menyentil: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik” (QS. al-Baqarah: 26).
Lalu apa pendekatan dan metode yang kita gunakan agar dapat memahami sesuatu itu berguna, tidak sia-sia? Sekiranya mengacu pada surah ali-Imran 190-191, kita memahami bahwa ada dua pendekatan dan metode, yaitu iman dan ilmu. Atau kita dapat menyebutnya dengan metode integratif antara zikir dan pikir. Pendekatan iman kita gunakan untuk meyakini bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah SWT dan pasti ada tujuannya. Pendekatan ilmu kemudian digunakan untuk memperjelas manfaat, khasiat, fungsi dari suatu ciptaan-Nya.
Nah, tantangan ada di antara keduanya, yakni iman dan ilmu. Artinya ketika kita meyakini sesuatu itu bernilai guna, tidak boleh hanya berhenti pada keyakinan tersebut, tapi harus dilanjutkan dengan proses mencari pengetahuan tentang susuatu itu, dan meneliti dalam proses yang panjang hingga kita dapat menemukan jawaban yang ril meskipun hasilnya bersifat tentatif.
Dalam proses lintas iman-ilmu inilah kemudian kita menyadari pula mengapa Allah SWT menciptakan berbagai potensi bagi manusia, yang salah satunya adalah hawa nafsu. Sebenarnya salah satu peran utama hawa nafsu ini diberdayakan untuk menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang berbagai ciptaan Allah SWT sehingga itu semua dapat menjadikan kita lebih dekat dengan-Nya.
Tapi begitulah manusia, banyak yang menyalahgunakan nafsu untuk memenuhi syahwat kehidupan duniawi, padahal peran nafsu yang sesungguhnya adalah mengakumulasi keinginan dan mengkoordinirnya agar terus mencari tau dan memahami tentang berbagai ciptaan dan hakikat-Nya. Peran itu kemudian sering gagal dijalankan lantaran manusia tidak membingkainya dengan iman.
Di sinilah kita menyadari mengapa kemudian menuntut ilmu itu faridhah (wajib), karena Allah SWT telah memberikan fasilitas untuk itu dan Allah SWT mengharapkan kita menjadi makhluk yang cerdas, terus menggali pengetahuannya sehingga kita semakin sadar bertapa Maha Hebatnya Dia. Apapun ceritanya, hanya dengan iman dan ilmu kita bisa menyingkap rahasia di balik beragam makhluk ciptaan-Nya.
Di sisi lain, walaupun Islam sudah menegaskan bahwa menuntut ilmu itu adalah wajib, ternyata kebanyakan manusia mengabaikannya. Kita menjadi orang-orang yang malas dalam mencari pengetahuan, kita hanya mengikuti apa yang ada tanpa mau menela’ah kebenaran, keaktualan, kesesuaian, dan lain-lainnya.
Kenapa Islam menekankan kita untuk belajar? Agar kita tau, dan kalau sudah tau kita tidak dibodoh-bodohi oleh orang yang sudah tau terlebih dahulu. Tidak usah jauh-jauh, mungkin selama korona banyak di antara kita merasa dibodoh-bodohi. Tanpa berpikir buruk, saya menganggap hal ini bisa saja benar. Bagaimana pun politik global yang berorietasi pada ambisi menunjukkan diri sebagai negara dan kelompok super power itu sangat besar sehingga mereka melakukan berbagai langkah dan upaya untuk mewujudkannya.
Upaya-upaya tersebut tidak dapat kita ratapi dan tidak perlu dikecam. Di sinilah penting dan urgennya membangun kesadaran diri bahwa kita tidak boleh bodoh agar tidak dibodoh-bodohi. Kenapa kita sangat musah dipermainkan seperti bola bulat yang tidak berdaya apa-apa dan disepak ke mana orang suka? Karena kita tidak mau berubah wujud tetap seperti bola yang tidak memiliki mata, telinga, dan ambisi untuk berubah.
Al-Qur’an sangat jelas memberikan pengarahan terhadap kita agar tidak menjadi orang atau kelompok yang dapat dibodoh-bodohi. Bagaimana caranya? Jadilah orang dan kelompok yang berkarakter ulul albab, atau rasikh dalam ilmu. Kokohkan iman dan gali pengetahuan dengan penuh semangat. Hanya dengan kedua bekal ini kita memperoleh kemuliaan di sisi Allah SWT sekaligus menguatkan eksistensi Islam, kini dan masa yang akan datang. Wallahu A’lam bishawab!
*Pegawai Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah.