Oleh : Johansyah
Saat ini kita telah berada di tahun baru Islam 1442 hijriyah. Tentu banyak hal yang sejatinya kita lakukan di momen tahun baru ini. Salah satunya adalah mengevaluasi perjalanan hidup yang telah kita lalui, selanjutnya dijadikan sebagai pelajaran penting bagi kehidupan selanjutnya yang lebih baik. Hal yang sudah baik terus kita tingkatkan dan hal yang kita anggap terbaik di masa lalu harus dipertahankan. Sementara hal yang buruk berusaha kita tinggalkan.
Dalam uraian ini saya hanya ingin menyegarkan ingatan kita kembali tentang muhasabah atau evaluasi di momen bulan muharram ini. Apa yang semestinya kita evaluasi? Kita coba saja kembalikan pada spirit Islam itu sendiri, yakni Islam rahmatan lil alamin. Islam sebagai agama murni dan mulia yang dibawa oleh Rasulullah SAW untuk mewujudkan kehidupan yang nyaman, damai, harmonis, dan sejahtera.
Islam sendiri bermakna patuh, damai, selamat, dan ragam makna serupa lainnya. Dengan demikian misi utama Islam adalah menyelamatkan, mendamaikan, mensejahterakan, memberi rasa aman dan nyaman, mendatangkan manfaat dan sebagainya.
Sebagai pemeluk agama Islam kita disebut muslim sehingga makna, ciri, atau karakter Islam itu, mau tidak mau melekat dengan diri dan harus tercermin dalam perilaku kita. Dengan ungkapan lain, idealnya muslim itu berkarakter Islam. Keberislaman kita tentu tidak sama kadarnya dengan ajaran Islam secara teoritis yang bernilai sempurna. Sebagai muslim kita mungkin hanya mengimplementasikannya hingga sembilan puluh, delapan puluh, tuju puluh, enam puluh, atau lima puluh persen saja, bahkan bisa kurang dari itu, tergantung bagaimana pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan kita terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Di sisi lain tidak perlu juga terlalu repot mengukur seberapa besar kadar keislaman kita, tapi cukup mengajukan beberapa pertanyaan tentang diri terkait dengan hakikat Islam itu sendiri. Beberapa pertanyaan yang patut kita jawab sendiri yaitu; pertama, seberapa banyak pengetahuan dan pemahaman kita tentang Islam? Apakah kita senantiasa tergerak dan terdorong untuk mempelajari dan mendalami Islam? Atau sebaliknya semenjak tumbuh besar dari remaja hingga dewasa, kita tidak pernah peduli seberapa banyak pengetahuan dan pemahaman keislaman kita. Paling hanya modal mengikuti tradisi dalam keluarga dan masyarakat. Orang shalat, kita juga shalat. Orang puasa kita puasa, dan seterusnya. Tapi berbagai rangkaian amal tersebut apakah ditopang dengan pemahaman yang baik?
Kenapa pertanyaan ini penting kita ajukan? Ternyata kita masih banyak menyaksikan orang yang sudah dewasa tapi belum mengerti kaifiyah shalat, tidak tau cara bertayamum, atau beberapa materi Islam yang sebenarnya sangat mendasar dan sangat menunjang pelaksanaan dan maksimalnya ibadah yang mereka lakukan.
Lebih dari itu, apakah kita juga terdorong untuk mendalami disiplin ilmu tententu? Bagaimana pun, mencari pengetahuan dalam Islam adalah wajib. Oleh sebab itu, seharusnya ketika kita malas untuk menekuni pengetahuan tentang berbagai hal, kita mesti khawatir karena mencari ilmu untuk pengembangan diri itu adalah kewajiban. Mengapa wajib? Jawabannya tentu sangat jelas, karena semua harus dengan ilmu.
Adapun kaitannya dengan kata Islam, yakni kita baru mampu memuliakan Islam apabila membekali diri dengan berbagai pengetahuan. Kita juga akan maksimal menjadi seorang muslim apabila membekali diri dengan pengetahuan, dan kita diharapkan akan menjadi seorang muslim yang dapat menghadirkan kedamaian, kemanfaatan, dan kenyamanan dengan ilmu yang kita miliki. Kalau ada ilmu pengetahuan yang kita miliki, lalu mendatangkan bencana dan keresahan, berarti ada salah dalam penggunaan ilmu tersebut, dan kemungkinan besar ditunggangi dan dikendalikan oleh hawa nafsu.
Pertanyaan kedua yang perlu kita ajukan untuk mengoreksi keberislaman kita adalah apakah sebagai muslim kita sudah berhasil mewujudkan Islam, yakni mendamaikan. Sosok muslim sejati adalah sosok mushlih (inovator, kreator, dan pembaharu). Kehadirannya adalah untuk memperbaiki keadaan yang buruk menjadi baik, yang baik menjadi lebih baik, dan begitu seterusnya.
Kalaulah kehadiran kita sebagai sosok muslim yang meresahkan, berarti kita belum paham dengan misi Islam yang senantiasa membawa kedamaian. atau kita sudah paham dengan misi tersebut tapi enggan mewujudkannnya. Tanya kenapa? Hati kita terlalu banyak dihinggapi oleh sifat-sifat kotor; dendam, ambisi, pelit, mudah marah, dengki, iri, dan sifat buruk lainnya. Sementara sifat semacam ini menjadi pintu masuk iblis. Kalau iblis sudah dipersilahkan masuk dan mengendalikan batin seseorang, mana mungkin dia mampu mewujudkan visi Islam yang mendamaikan dan memperbaiki. Kehadirannya akhirnya bukan malah memperbaiki, tapi menambah keruh suasana. Seharusnya orang seperti ini malu menyatakan diri sebagai seorang muslim, karena karakteristik utama orang muslim itu adalah mendamakan dan senantiasa mengadakan perbaikan.
Pertanyaan ketiga yang semestinya kita ajukan adalah apakah kita sebagai sosok muslim yang senantiasa menyelamatkan? Bagaimana pun Islam adalah agama selamat dan menyelamatkan. Artinya setiap muslim itu adalah sosok penyelemat kapan dan di mana pun, serta dalam posisi apa pun dia berada.
Kalaulah dia seorang suami dan kepala keluarga, dia harus menjadi sosok penyelamat dan pelindung bagi istri dan anak-anaknya. Dia harus mampu menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi seluruh anggota keluarga. Dia harus berusaha menjauhkan keluarga dari berbagai ancaman fisik dan psikis yang sangat membahayakan.
Kalaulah dia seorang reje kampung (kepala desa) maka dia harus menjadi sosok penyelamat bagi masyarakatnya. Dia harus membuat program dan kebijakan yang mampu meringankan beban hidup masyarakatnya. Jika ada bantuan pemerintah dan bantuan dari mana pun, dia harus bagikan pada berhak yang menerimanya. Jangan pernah pilih dan pilah berdasarkan atas asas nepotisme karena itu pada akhirnya akan melahirkan konflik sosial.
Demikian halnya dengan kepala daerah. Sosok kepala daerah harus menjadi sosok yang mampu menyelamatkan masyarakatnya dari kemiskinan, ketakutan, dan berbagai problematika sosial lainnya. Sebagai kepala daerah dia harus mampu mewujudkan keadilan. Dia harus mementingkan masyarakat dari pada sibuk mengurusi kepentingan diri dan kelompoknya.
Seorang kepala daerah yang arogan, tidak mau mendengar suara msyarakat, dan membuat program yang tidak bermuara pada kesejahteraan masyarakat secara nyata, berarti pada hakikatnya dia bukan pemimpin muslim, sebab pemimpin muslim itu idealnya menghadirkan kenyamanan dan menyelamatkan masyarakat dari berbagai problematika kehidupan. Begitu seterusnya dengan profesi masing-masing yang kita geluti yang pada intinya harus dimanfaatkan untuk misi penyelamatan.
Inilah beberapa pertanyaan mendasar yang coba kita ajukan pada diri sendiri untuk mengetahui seberapa hebat keberislman kita tanpa harus memberi penilaian angka kuantitatif. Yang jelas kalau kehadiran kita disenangi dan diharapkan, serta mendatangkan kenyamanan bagi orang sekitar kita, itu artinya kita sudah tau dan paham cara berislam yang sesungguhnya. Wallau a’lam bishawab!
Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah