Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kopi dan Keluarga

Senin, 03 Agustus 2020 | Agustus 03, 2020 WIB Last Updated 2020-08-03T22:54:02Z



Oleh: Afrizal Arifin 

Kabut tipis masih menyelimuti desa Bringinsari. Hujan yang turun semalaman masih menyisakan hawa dingin di pagi hari. Kicauan burung manyar bersahutan dengan gemericik air sungai yang membelah bebatuan di samping rumah. Sinar mentari yang malu mengintip di balik awan menembus dedaunan dan mempendarkan cahaya jingga yang sedikit menyilaukan.

Di teras rumah, duduklah Gendis. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu mengempaskan tubuh kecilnya di kursi jati dengan kaki kanannya diangkat. Sedangkan kaki kirinya menjuntai di lantai keramik berwarna putih dengan motif bunga-bunga. Di tangannya melekat sebuah buku novel klasik karya Pramudya Ananta Toer yang berjudul Rumah Kaca--buku terakhir dari tetralogi Bumi Manusia.

Di atas meja tersanding secangkir kopi hitam tanpa gula yang asapnya tipis mengepul di udara. Gadis berkacamata itu hanyut dalam cerita tentang bagaimana Jacques Pangemanan dalam memata-matai segala aktivitas Minke sebelum, sesaat, dan sesudah diasingkan di Maluku Utara. Sesekali ia sesap aroma kopi arabika yang kental tanpa berpaling dari novel yang dibacanya. Setelah cukup hangat untuk dinikmati, kopi itu diseruput pelan guna menghayati segala rasa yang ditawarkan.

Tak lupa ia ambil beberapa gambar kopi dan buku di atas meja guna dijadikan instastory disertai caption dengan kutipan yang bijak dan bermakna. “Kopi berteman buku adalah perpaduan yang pas menyambut mendung di pagi hari. Hujan semalam membawa kemalasan, kopiku menghadirkan semangat, bukuku membuka cakrawala. Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan, Kawan.”

Kopi yang diminum tinggal separuh, buku masih seperempat bagian akan habis dibaca. Tiba-tiba terdengar suara melengking panggilan dari dalam rumah. Tempat tinggal tua yang hanya berdinding kayu itu sudah lapuk dimakan usia. Banyak bagian yang sudah usang sehingga perlu diganti.

“G-gendis, cuciannya kok belum dicuci?” tanya sang Emak yang tegopoh-gopoh menemui anak sulungnya.

“Iya, Mak. Bentar lagi nunggu agak panasan dikit napa,” ucap Gendis sambil membetulkan posisi kakinya karena menyadari ada yang datang dari arah dalam rumah.

“Bagus, ya! Pagi-pagi anak perempuan duduk ngangkang di teras sambil ngopi, baca buku, belum mandi. Mau jadi bos kamu, hah? Emak pusing sama tingkahmu, Ndis. Makin hari tambah besar bukannya semakin gampang diatur malah sering bikin emak marah. Maumu apa sih sebenarnya?”

“Iya-iya, Mak. Ini mau nyuci baju.”

Gendis pun melangkah pergi meninggalkan Emaknya yang terlihat hendak marah. Wanita paruh baya dengan rambut panjang yang mulai memutih itu, berwajah merah murka dengan hidung yang mengembang dan mengempis melihat tingkah laku putri sulungnya. Lengan baju daster panjang yang sudah kumal disisingkan sebatas siku. Itu pertanda ada emosi yang membuncah dari janda dengan tiga anak ini.

Melihat Emaknya akan berceramah tentang kehidupan, Gendis dengan cerdik menghindari persoalan dengan masuk ke dalam rumah. Buku tebal itu ditenteng di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang cangkir besar berisi kopi yang hampir dingin. Beruntung, kali ini ia tidak dipaksa untuk duduk dan mendengarkan omelan pagi hari. Ada beberapa barang dagangan yang harus dibeli dari toko kelontong milik Mak Ijah di perempatan desa. Jadi, tidak bisa berlama-lama menasihati putrinya.

“Anak gadis kok sukanya kopi hitam pait, sih!” omel Emak melihat anaknya berlalu, “Ndis, emak mau kulakan dagangan warung. Di belakang lagi ngukus jagung, tolong dilihat paling sebentar lagi matang. Jangan lupa dimatikan kompornya, bentar lagi airnya mungkin habis.”

“Iya, Mak,” jawab Gendis menoleh ke arah wanita yang telah membesarkannya seperempat abad itu.

Di depan rumahnya, Emak membuka warung kecil-kecilan yang menjual jajanan anak dan kebutuhan bumbu dapur. Sejak suaminya meninggal tujuh tahun lalu, ia harus menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi penjahit rumahan. Laba kecil dari warung dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan upah yang diterima dari jasa jahit digunakan untuk biaya sekolah ketiga anaknya.

Gendis ditinggal ayahnya ketika baru lulus SMA. Harapan sang ayah agar putri sulungnya menjadi sarjana pupus sudah. Terkendala biaya, gadis bermata minus itu tak dapat meraih cita-citanya menjadi seorang sejarawan. Hobi membaca kisah masa lalu membuatnya tertarik pada sejarah. Baginya sejarah adalah peristiwa masa lalu yang dijadikan pijakan untuk melangkah pada masa yang akan datang. Juga sebagai pembelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

“Ya, Mak. Sekalian beliin kopi bubuk yang kayak kemarin ya, Mak. Abis enak, sih.”

“Apa? Baru kemarin dibeliin sudah habis. Itu kopi kamu makan atau minum? Cepet bener abisnya?”

“Yey, emang Gendis apaan, makan kopi? Anak emak ini ‘kan pecinta kopi, pengagum senja, pengejar mimpi, pengendara angin ….”

“Ngomong apaan sih kamu? Dah sana, ke dapur! Dilihat jagungnya sudah empuk belum!”

Wanita keturuan Sunda dan Jawa itu pun pergi meninggalkan anaknya menuju toko kelontong dengan menaiki sepeda kayuh. Jarak yang harus ditempuh sekitar sepuluh menit agar sampai di toko kelontong paling lengkap di seluruh kampung. Wajar jika banyak penjual warung rumahan membeli barang dagangan di sana. Maka, toko itu tak pernah sepi pembeli.

Melihat Emaknya pergi dengan mengayuh sepeda tua, Gendis tidak menuju ke dapur. Gadis berperawakan tinggi langsing itu melanjutkan membaca di kamarnya. Kopi yang hampir habis diminumnya pelan-pelan sambil menikmati setiap bait cerita yang ditawarkan Pram. Dari posisi duduk di kursi hingga rebahan di kasur, dilakukan Gendis yang hanyut dalam kisah pra-kemerdekaan itu.

Tak sadar, sang Emak telah pulang dari belanja. Ketika memasuki rumah, ia mencium bau gosong dari arah dapur. Segera ia berlari dan mendapati panci pengukus jagung telah gosong karena kehabisan air. Dipicu emosi, janda cerai mati langsung berteriak memanggil anak sulungnya.

“Gendiiis, kamu di mana?”

Mendengar suara panggilan melengking dari Emak, gadis yang sedang rebahan di kasur ini sontak berdiri dari tempatnya berbaring. Ia tersadar telah melupakan pesan untuk mematikan kompor dan mengangkat jagung yang sedang dikukus. Dengan wajah ketakutan, Gendis keluar kamar dan menatap wajah marah sang Emak.

“Kamu ngapain aja dari tadi, sih? Sampai gosong kayak gini! Kamu tidur, hah?” omel Emak sambil menarik telinga putrinya, “Keterlaluan kamu, Ndis. Diminta tolong matikan kompor saja gak mau! Mau jadi apa kamu ini? Sudah tua begini tapi kelakuanmu sulit diatur. Kalo sifatmu seperti ini terus, bakal jauh jodohmu, Ndis!”

Memang, sikap dan perilaku Gendis sangat berbeda dengan kedua adiknya. Ia terkenal sebagai anak yang susah diatur, keras kepala dan semaunya sendiri. Waktunya banyak dihabiskan dengan membaca buku. Baginya buku adalah kebutuhan setelah makan dan pakaian. Maka, setiap hari Senin dan Kamis, ia akan pergi ke perpustakaan kota untuk membaca dan meminjam buku.

Sedangkan adik pertamanya dikenal sebagai bintang kelas. Namanya Jojo, siswa kelas dua belas SMA dikenal berprestasi di bidang akademik. Ia merupakan kebanggan Emak karena mudah diatur dan tidak banyak tingkah. Siswa berkulit kuning itu menjadi harapan satu-satunya Emak untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga.

Rima, adiknya yang nomor dua masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Meskipun tidak sebandel kakak pertamanya. Ia tidak cukup berprestasi di sekolah. Rangking kelasnya tak pernah beranjak dari urutan belasan dari dua puluhan siswa. Rima masih lebih baik dari Gendis karena mau dan mampu membantu Emak berjualan di toko. Tidak seperti kakaknya yang cenderung jutek kepada pelanggan, Rima sangat ramah dalam melayani pembeli warung kecil di depan rumah mereka.

“Emak sudah cukup sabar menghadapimu sampai saat ini! Terserah kamu mau apa sekarang. Bukan urusanku. Kamu udah dewasa, boleh pergi semaumu ke mana pun kamu suka! Sudah bukan menjadi tanggung jawab emak lagi. Daripada terus-terusan membuat emak marah, kamu boleh pergi dari sini!”

Kata-kata Emak yang terlontar membuat Gendis menitikkan air mata. Lembut dan dengan jelas Emak telah mengusir anak kandungnya sendiri. Jika ada yang mengatakan kesabaran tidak ada habisnya, kesabaran Emak telah habis dikikis perilaku Gendis yang semakin hari membuat susah orang tua tunggal ini.

“Jadi, Emak mengusirku?” tanya Gendis dengan mata berkaca-kaca.

“Terpaksa. Kamu harus bisa hidup mandiri di luar sana. Mungkin dengan ini, sikapmu akan berubah. Kamu akan tahu betapa besar cinta emak nanti! Pergilah, raihlah cita-citamu menjadi ahli kopi.”

Gadis berambut panjang itu ketakutan dengan apa yang diucapkan Emaknya. Meskipun dikatakan dengan nada yang tenang, kata-kata itu menusuk hatinya. Sang Emak memang dikenal sebagai sosok yang penyabar. Jarang sekali wanita itu marah dengan nada tinggi sambil berteriak. Biasanya jika marah, ia hanya diam tak banyak bicara.

“Tapi, Mak. Gendis gak tau harus pergi ke mana. Gendis juga gak tau harus ngapain di luar sana. Maafin Gendis, Mak. Gendis janji akan jadi anak baik dan penurut. Emak tau sendiri kan, kalo Gendis sebenarnya penakut, gak bisa hidup tanpa Emak. Jangan usir Gendis, Mak. Gendis takut,” ucap si sulung ini sambil menangis terisak dan memeluk kaki Emaknya mengiba.

Mendengar perkataan sang anak, hati Emak luluh juga. Perlahan, ia angkat tubuh kecil anaknya agar berdiri sejajar. Kemudian, dengan erat ia peluk tubuh kurus itu dan berbisik, “Maafin emak juga, Ndis. Emak gak tau lagi harus bagaimana jika kamu seperti ini terus. Emak sayang Gendis. Emak gak mau Gendis seperti ini. Gendis harus berubah buat kebaikan kita semua.”

“Iya, Mak. Gendis janji ini yang terakhir. Gendis akan berubah, Mak.”

--END--

“Pahitnya kopi tak sepahit dicampakkan keluarga. Hitamnya kopi tidak sekelam hidup tanpa keluarga.”

(Magelang, 3 Januari 2020)