Oleh Johansyah*
Kalimat ‘kupas tuntas’ mungkin sering terbaca sebagai judul sebuah buku maupun artikel, terutama buku keagamaan seperti fiqih, tafsir, hadits, akidah, dan lain-lainnya. Minsalnya ada judul artikel; 'kupas tuntas kaifiyah shalat, 'kupas tuntas masalah zakat', dan pembahasan serupa lainnya.
Memang dari satu sisi kajian yang disebut tuntas, minsalnya ketika mengkaji masalah zakat, ketika kajian tersebut menyertakan dalil ayat maupun hadits serta perspektif ulama empat madzhab. Atau dengan dikuatkan oleh pendapat para ulama salaf tentang masalah tersebut sehingga kajian tersebut dianggap komplit dan tuntas karena sudah berusaha menjawab secara rinci pertanyaan seputar masalah yang dikaji.
Pertanyaannya, benarkah kajian tersebut tuntas? Kalau standarnya dalil dan pendapat ulama yang ditampilkan bisa jadi ya, sudah tuntas. Tapi kalau standarnya ilmu dalam berbagai perspektif serta keberagaman analisis, sangat sulit menyatakan bahwa pembahasan tersebut telah tuntas. Katakan saja ketika dalam sebuah forum diskusi keagamaan, kita sering bertanya tentang satu permasalahan, biasanya akan mengembang atau memunculkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Semakin dibahas semakin tidak tuntas rasanya. Apalagi ketika pembahasan tersebut menggunakan berbagai pendekatan disiplin ilmu.
Jadi sesungguhnya untuk menyatakan suatu kajian keilmuan itu tuntas, terlalu berani rasanya. Ada kesan bahwa kajian tersebut sudah final dan tidak perlu dibahas lagi. Selain itu juga kalimat 'tuntas' itu membuat orang tidak terdorong untuk mengkaji lebih dalam dan luas. Kecuali itu, secara psikologis sekedar memuaskan atau meyakinkan para awam tentang persoalan tertentu terkait masalah keagamaan, terutama kajian fiqih. Namun kalau mau jujur, sebenarnya kajian keilmuan apapun itu, pasti jauh dari ketuntasan, bahkan mungkin tidak pernah tuntas, kecuali dianggap tuntas.
Sifat ilmu memang demikian. Semakin digali dan dibagi, dia akan terus berkembang dan bertambah. Hari ini kita anggap sudah maksimal kajiannya, besok bisa saja berubah setelah kita menemukan fakta dan data baru, membaca buku lain, berdiskusi dengan teman, menelusuri pandangan para pemikir, menemukan pengalaman baru, dan hal-hal lainnya yang pada akhirnya bisa jadi mengubah kesimpulan kajian kita sebelumnya. Dalam keilmuan hal ini lumrah. Kesimpulan tentang sesuatu itu tidak pernah bersifat final, tapi hanya tentatif. Suatu saat kesimpulan itu akan berubah ketika seseorang dihadapkan pada realitas, pengalaman,dan bacaan yang beragam.
Pengalaman seperti ini mungkin sering kita rasakan pada saat membuat makalah. Pada saat kita menganggap kajian tersebut sudah bagus, ternyata belum. Dalam diskusi akan muncul pertanyaan tak terduga. Kita juga mungkin tidak membayangkan bahwa pertanyaan dan pernyataan itu akan muncul. Setelah itu barulah kita sadar bahwa makalah tadi perlu direvisi dan merasa beberapa hal yang berkembang dalam diskusi perlu disisipkan pada makalah yang kita buat.
Saat kuliah dulu, seorang teman yang kebetulah mengkaji masalah pendekatan keilmuan dalam kajian Islam; bayany, burhany, dan irfany. Dalam kajiannya, beliau fokus pada pandangan al-Ghazali terhadap filsafat dan tasawuf. Salah satu kesimpulannya adalah al-Ghazali menemukan kebenaran dalam tasawuf karena pada akhir perjalanan hidupnya berlabuh di pantai tasawuf. Dia menemukan kedamaian di sana. Teman saya pun mencontohkan salah satu contoh karya al-Ghazali, Tahafut al-falashifah (kerancuan filsafat), di mana beliau mengkritisi filsafat karena dianggap berpotensi mendangkalkan iman.
Dosennya waktu itu adalah salah satu putra Gayo terbaik, Prof. Alyasa Abubakar, guru besar ilmu ushul fiqh UIN Banda Aceh. Beliau yang dikenal dengan kritisnya lalu bertanya pada teman saya tadi; 'jadi setelah di dunia tasawuf al-Ghazali menemukan kebenaran? Ya, kata teman saya. Lalu dia mengulas lagi bagaimana al-Ghazali yang sebelumnya suka filsafat akhirnya jatuh cinta pada tasawuf. Lalu Prof. Alyasa senyum dan mengatakan; 'menurut saya al-Ghazali bukan menemukan kebenaran, tapi kepuasan'. Seisi ruangan agak terhentak mendengar pernyataan beliau, terutama teman saya tadi. Beliau sempat mengajukan sanggahan, tapi terhenti ketika Prof. Alyasa memintanya agar mampu menjelaskan perbedaan antara kebenaran dan kepuasan.
Sebenarnya panjang diskusinya kala itu, terlalu panjang jika diulas dalam tulisan ini. Apa yang ingin saya katakan adalah kajian itu tidak pernah ada habisnya. Semakin digali semakin dalam dan luas. Untuk itu, jangan pernah membuat kesimpulan final dari pembahasan yang kita buat. Bisa jadisuatu saat akan berubah seketika. Ilmu itu seperti produk teknologi. Hari ini kita anggap itulah produk terhebat. Besok keluar produk baru yang ternyata lebih canggih. Ke depan begitu juga, akan keluar produk lain dengan keunggulan tertentu.
Pengalaman lainnya, setelah seseorang membuat tesis maupun disertasi. Saat menjelang sidang dia menganggap karya tersebut sudah maksimal. Justru karena itu dia pun sudah diperbolehkan sidang dengan mendapat pengesahan dari para pembimbing dan promotor. Namun setelah sidang berlangsung, ternyata masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, lalu kitapun memperbaikinya. Hingga tesis atau disertasi tersebut ducetak. Banyak juga yang menjadikannya sebagai buku. Namun begitulah, di saat sudah menjadi buku pun, saat kita baca ada saja kekurangan yang terdapat di dalamnya.
Untuk itu, kita memerlukan beberapa prinsip dalam pengembangan keilmuan. Pertama, jangan pernah merasa cukup dengan apa yang diperoleh. Ketika seseorang sudah mencapai gelar Doktor sekalipun, bukan berarti kajian disertasinya sebagai puncak temuan. Justru itu barulah permulaan dalam mengembangkan diri. Kedua, sebagaimana hadits rasulullah Saw, hendaklah kita selalu bersikap tamak terhadap ilmu dan cemburulah pada orang-orang berilmu. Ketiga, bersahabat dan bergaullah dengan orang-orang yang cinta ilmu, niscaya kita akan kebagian ilmu dan hikmahnya. Keempat, sejatinya kita selalu membuja diri terhadap kritik dan saran yang disampaikan oleh siapapun. Jadikan kritikan itu sebagai pendorong agar kita lebih maju dan berkembang.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa ilmu yang diberikan Allah kepada kita hanya sedikit. Jadi jangan sampai menganggap kajian dan upaya kita dalam menekuni pengetahuan pada bidang tertentu sudah tuntas. Kita harus terus belajar sepanjang hayat. Kata rasulullah Saw, teruslah belajar dari ayunan hingga liang lahat. Artinya sebelum maut menjemput kita, belajar itu tetap menjadi kewajiban setiap orang. Semoga bermanfaat. Amin.
*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah