Oleh : Damay Ar-Rahman
Pagi masih sedikit gelap. Semburat mentari samar-samar muncul seperti terlihat mendung. Seorang wanita hamil menunggu di terminal bus kota sejak pukul empat pagi. Mobil lintasan Sumatra sedang padat-padatnya oleh penumpang. Memang kondisi juga dikarenakan bulan puasa dan mendekati lebaran. Wanita itu terlihat memulas-mulas perutnya yang bunting usia delapan bulan. Tak seorang pun mau menawarkan air mineral kepadanya yang telah haus sejak berjam-jam di dalam mobil. Padahal beberapa anak muda melihat wanita bernama Sri itu dengan wajah jelas kehausan. Awalnya Sri membawa bekal termasuk makanan dan minuman untuk persediaan perjalanan. Tapi memang sudah naas atas kejadian yang harus diterimanya. Ia ditipu oleh dua orang wanita berperawakan kasar dan terlihat sangat tidak ramah yang tiba-tiba duduk disampingnya. Sri terlihat biasa dan tidak menaruh curiga sedikitpun. Bahkan, ia sempat menawarkan biskuit sebagai penganjal laparnya saat malam di bus pada wanita yang sedang mempersiapkan aksi buruknya.
Sri tiba-tiba mengantuk. Matanya terlihat kusut dan wajahnya begitu lesu. Sekitar dua puluh menit Sri tertidur, barang-barangnya habis tak tersisa dibawa pergi oleh kedua wanita yang telah turun di pinggir jalan. Mereka hanya meninggalkan tas kecilnya yang diselempangkan Sri namun telah kosong tanpa uang sepeser pun. Untung saja Sri membayar Bus di awal. Jika tidak! Bisa jadi ia akan diturunkan dipinggir jalan dengan kondisi tubuh yang malang.
Sri bukan main sedihnya. Uang satu-satunya sudah hilang diambil begitu saja. Ia meneteskan air mata karena tak sanggup mengelak akan peristiwa tak diinginkan itu secara tiba-tiba. Suaminya hanya meninggalkan uang untuk ongkos saja. Untunglah Sri rajin dan pandai membuat sapu dari daun kelapa. Hal itu dilakukannya tanpa sepengetahuan suaminya. Jika tidak! Ia akan diperlakukan kasar karena membuat malu sang suami yang berprofesikan sebagai militer. Tapi mau bagaimana lagi, ia butuh tambahan uang untuk si cabang bayi.
Azan subuh mulai berkumandang. Sri turun dari bus. Ia istirahat sejenak di mesjid dan akan menjalankan shalat serta mengaji. Ia harus membasuh wajahnya sebersih-bersihnya agar tidak kelihatan menyedihkan dan letih. Sri khawatir ibunya akan sedih melihat kondisinya. Perutnya terasa berat karena hamil besar. Suaminya Ruslan sedang bertugas jauh di Papua. Ia akan melahirkan. Perkataan suaminya untuk ikut ke Papua ditolaknya secara halus. Sri hanya mau pulang ke rumah Ibunya untuk melahirkan. Karena, kurangnya perhatian Ruslan terhadapnya membuatnya khawatir akan nasib buruk si cabang bayi. Ruslan sejak awal memang tidak dicintai Sri. Sri merasa akan tidak baik bila berumah tangga dengannya. Namun, jodoh siapa yang tahu. Sri dan Ruslan telah memiliki anak setelah tiga bulan pesta di gelar. Sri pun harus bertanggungjawab dengan sepenuh hati dan penuh kesabaran. Kini yang ia pikirkan hanya anak-anaknya. Tak peduli betapa menderitanya ia.
Anak lelakinya yang pertama telah mondok di pesantren. Sri sedang hamil anak keduanya. Anak itu, kelak akan menjadi impiannya. Wanita dengan balutan anggun dan berpengetahuan agama yang tinggi. Itulah yang Sri inginkan kepada si bayi yang akan lahir nanti. Sri sebelum menikah, ia sempat menolak perintah ayahnya untuk menikah di usia dua puluh tahun. Sri sangat ingin kuliah bahkan bila bisa setinggi-tingginya. Ia ingin merubah nasib keluarganya lebih terhormat atau paling tidak terbebas kemiskinan. Ayahnya seorang tani di sepetak tanah sewa hanya berpenghasilan pas-pasan. Ibunya tukang buruh kebun teh, sesekali juga merajut tikar.
Pekerjaan kedua orang tuanya memang sempat menjadi halangan baginya. Tapi, Sri tidak menyerah begitu saja. Sejak SMP sudah merencanakan impiannya. Ia belajar sambil bekerja sekeras-kerasnya untuk mengumpulkan uang. Bekerja menjadi apa saja yang penting halal. Sri termasuk siswa pintar di sekolahnya. Ia juga berulang kali memenangi cabang perlombaan agama dan bahasa. Di lain itu pernah menjadi perwakilan bahkan menang di ibu kota. Apa lagi yang ia ragukan dari nikmat yang tuhan berikan. Sri tidak mau menyiakan kecerdasannya. Ia ingin sekolah dengan sungguh-sungguh.
Tapi, tepat saat dua tahun setelah lulus SMA. Sang adik menderita lumpuh. Ayahnya sangat menyayangi adiknya yang laki-laki. Uang yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun harus rela ia korbankan kepada adiknya itu. Walaupun tanpa diminta, Sri akan memberikan. Ia merasa tidak kecewa jika belum bisa kuliah ke ibu kota. Karena kesembuhan adiknya adalah kepentingan besar. Tapi, ia tidak menyerah begitu saja. Ia bekerja lagi, tanpa menyerah, tak peduli lelah dan hujan deras. Namun, rencana tuhan siapa bisa yang memastikan. Ayahnya jatuh dan menggantikaan adiknya yang sempat lumpuh. Uang yang diperkirakan mencapai jutaan itu kembali tertukar dengan pengobatan ayahnya. Sayang seribu sayang, uang itu sangat jauh dengan istilah cukup dari biaya pengobatan.
Seorang tentara bertugas di desa Sri. Sri yang terkenal sebagai kembang desa pun memikat hati tentara yang kini akan menjadi suaminya. Ayahnya meminta Sri untuk menikah. Jika tidak, ia akan cacat total dan akan berpengaruh besar pada adik-adiknya. Sri anak pertama. Apa yang bisa dilakukan sebagai anak perempuan. Usianya masih muda baginya. Mungkin untuk saat itu sudah pantas beranak dua. Tapi, Sri tidak mau secepat itu.
Mau tidak mau Sri harus menikah dengan tentara yang mengejar-ngejarnya. Ia melepas semua cita-cita besarnya dan menerima keputusan keluarga walaupun hatinya berkali-kali serasa tersayat pedang.
Aku harus menerima ini ya Allah. Apakah ini memang yang kau gariskan? Sri mengeluh saat ia menatap wajahnya di depan cermin, yang sedang dipakaikan cindai bunga oleh perias. Wajah Sri terlihat cantik. Sebuah melati panjang bergantung di rambut kananya. Bunga mawar tersusun di sanggulnya. Anting bunga emas terpasang di kedua telinganya. Hidungnya di solek mancung oleh sang perias yang dipanggil dari kota. Baju kebaya yang dikenakannya terlihat anggun dan semakin menampakkan aura keibuannya.
Sri telah siap. Ia mengenggam tangannya. Sri berjalan menunduk. Diam-diam ia melinangkan air mata. Ibunya tak henti-henti mengendapkan tisu ke pipi mulusnya.
Sabar anakku. Janganlah kau menangis. Kau akan bahagia. Setidaknya kau sudah berbakti nak. Ucap sang ibu, dan Sri tetap menunduk.
Berhentilah menangis Sri. Tenanglah, Gusti Allah akan menolongmu di setiap jejakmu. Jika bukan kau yang meraih harapanmu, maka anakmu kelaklah yang akan menggantikannya.
Sri tiba-tiba berhenti berjalan. Ia pun mendongakkan wajahnya.
Ibu, doamu adalah uratku. Doakan cucumu kelak ya ibu. Terimakasih telah menenangkan batinku yang pilu. Ucap Sri dengan wajah yang tegar. Ia pun meluruskan pandangannya melihat calon suaminya yang terlihat tampan dengan pakaian adat. Acara itu berjalan lancar. Terlihat meriah dan mengesankan.
Assalamualaikum nak.
Seorang ustazd memanggilnya. Sri buyar dari mimpi masa lalunya.
Walaikumsalam pak. Maaf saya ketiduran. Tadi baru sampai. Ucap Sri malu.
Tidak apa nak. Oh iya, bapak cuma mau bilang itu ada teh hangat dan beberapa roti. Ambillah sebagai sarapanmu. Tadi kamu terlihat kelelahan dan haus dari jauh. Saya juga orang baru datang. Bukan dari sini.
Iyakah pak? Tapi bapak terlihat rapi dengan pakaian ibadahnya.
Saya selalu membawa perlengkapan shalat dan menggantinya ketika akan melaksanakan ibadah. Laki-laki tua itu tersenyum.
Oh begitu ya pak. Baiklah terimakasih atas tawaran makanannya pak. Semoga Allah membalas kebaikan bapak.
Amiin ya rabbal alamin. Semoga Allah melindungi kamu juga. Bapak permisi, anak bapak sudah menjemput.
Hati-hati pak.
Iya nak.
Pria tua itu meninggalkan Sri yang masih terduduk. Sri berdiri pelan-pelan sambil memegang dinding putih dalam mesjid. ia berjalan sedikit mengangkang sambil memegang lekuk tubuhnya yang menyamping karena perutnya telah bunting membesar. Kerudungnya yang kusut dirapikannya dengan bagus. Lalu ia menuju hidangan sarapan pagi dan langsung memakannya.
***
Angkutan umum telah mengantarkannya kembali ke desa. Terlihat dari jauh seorang wanita tua merapikan meja makan lalu menghidangkan beberapa makanan yang dari jauh terlihat lezat. Sri tahu, pasti ibunya sudah menyiapkan semuanya. Ia kembali merapikan kerudung dan baju gamis besarnya lalu mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Walaikumsalam anakku. Suara ibunya sedikit besar dan wajah itu amat ceria dan bahagia. Keduanya berpelukan karena lama sudah tidak berjumpa.
Bagaimana kabarmu di sana nak selama ini. dan Putra sehatkan nak?
Ibu tidak usah khawatir, Putra selalu juara di sekolahnya.
Alhamdulillah, ibu senang. Dan Ruslan. Ibunya menatap penasaran.
Ia begitu sayang pada saya ibu. Ucap Sri berbohong.
Iyakah? Ibunya ragu.
Iya ibu. Oh iya Sri ada bawa oleh-oleh. Tapi, sayang Sri kecopetan.
Oh ya Allah. Sayangnya anakku. Tak apa. Yang penting kamunya selamat. Ibunya menjawab sambil tersenyum dan memulas calon cucunya.
. Langit sangat cerah hingga cahayanya menembus celah-celah atap rumbia di tempat Sri tinggal. Tanah terlihat sedikit lembab karena baru semalam hujan mengguyur. Hari itu juga, tepat usia kehamilan Sri delapan bulan. Tidak banyak yang ia lakukan di kampung. Paling hanya memasak, dan membersihkan halaman. Baginya kegiatan itu sangat kurang dilakukan. Ia harus melakukan sesuatu yang lebih banyak. Ia meminta ibunya memberikan sedikit uang untuk modal berjualan gorengan. Kehidupan kota yang pernah dijalaninya membuatnya terlatih memasak berbagai macam masakan modern. Cibiran tetangga sempat tergiang di telinganya. Terdengar ungkapan, istri seorang tentara berpangkat berjualan dengan kondisi hamil besar. Orang-orang pada bertanya apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Tapi, Sri tetap seperti dulu. Ia tetap fokus pada tujuannya dan tersenyum apapun keburukan yang didengarnya. Ia tidak peduli dengan celetuk siapapun. Kekuatan cinta pada buah hatinya benar-benar membuatnya bertahan, kuat, dan pantang dengan sikap lemah. Baginya cinta adalah sumber sejati dalam setiap hal. Cinta tidak hanya tentang rasa suka pada lawan jenis, tetapi pada darah daging yang baginya adalah masa depan di dunia dan akhirat.
Ayam terdengar berkokok. Gemerisik rumput terdengar jelas, karena pagi adalah waktunya para pemuda mencari ilmu. Sri sudah mempersiapkan kebutuhan untuk dagangannya. Ia sedang membungkus kue bolu pesanan orang. Sri merasa ada sesuatu hal yang berbeda. Tiba-tiba kakinya bergetar. Kepalanya pusing dan pandangannya mulai gelap. Sri mencoba memanggil ibunya. Tapi, suaranya sangat kecil sangking rasa sakit yang tak tertahankan. Tiga orang pemuda melihatnya jatuh segera menghampiri. Disusul dua gadis berseragam SMA berlari menuju Sri yang terlihat lemas dan akan terjatuh. Tiga pemuda memanggil ibunya dari belakang rumah. Sang ibu langsung menghempaskan sapu lidinya dengan wajah cemas dan meminta warga membawanya ke pukesmas.
Dua orang perawat berlari tolong membawa Sri ke dalam. Seorang dokter wanita segera mengambil teleskop dan meminta semua orang kecuali ibunya untuk memegang Sri yang akan segera melahirkan. Ibu yang terlihat sangat keriput itu terus mencoba menenangkan Sri yang merintih kesakitan. Ibu menuntun Sri mengucap istigfar sambil mengenggam tangan kirinya. Sri menghembus nafas berkali-kali dengan cucuran keringat yang merambahi seluruh permukaan wajah dan dadanya. Waktu yang sangat singkat benar-benar dimudahkan tuhan padanya. Ia melahirkan dengan baik dan anaknya sangat cantik seperti dirinya. Anak itu tersenyum tulus menatap ibu dan neneknya. Sayangnya, ia belum diazankan. Tetapi, sebuah nama indah telah ditata lama oleh Sri. Bayi perempuan itu Andini.