Oleh Cut Ani Darniati
Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan Siswa Sekolah Kita Menulis
Banyak kejanggalan yang terjadi mengenai kasus Novel Baswedan, mulai dari penyelidikan hingga ketahap akhir sampai penentuan putusan pengadilan oleh majelis hakim. Hukuman dua tahun penjara dan atau satu tahun lima bulan bui rasanya tidak adil bagi para pelaku penyiram air keras Novel Baswedan, karena mengakibatkan luka berat yakni mata sebelah kiri beliau cacat seumur hidup akibat siraman air keras tersebut. Apalagi kejadiannya sudah di rencanakan terlebih dahulu oleh si pelaku.
Seperti di beritakan sebelumnya, hakim menilai penyerang Novel Baswedan yang merupakan polisi itu bersalah memenuhi unsur dalam dakwaan subsider yakni pasal 353 ayat 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) junto pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman maksimal ialah tujuh tahun penjara. Kedua terdakwa langsung menerima putusan meski lebih berat dari tuntutan jaksa, sementara jaksa masih menyatakan pikir-pikir.
Kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan sudah mencapai tahap akhir, kedua penyerang penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara karena telah melakukan penganiayaan terencana terhadap Novel Baswedan dengan mengkibatkan luka berat. Rahmat Kadir Mahuleetu yang menyiram air keras divonis dua tahun penjara sedangkan Ronny Bugis yang membonceng Rahmat Kadir divonis satu tahun lima bulan penjara.
Beberapa waktu lalu Novel Baswedan mengunggah postingan di akun media twitter pribadi miliknya. Novel Baswedan menanggapi vonis tersebut dengan menyinggung Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan menyatakan bahwa “sandiwara telah selesai dengan skenarionya. Point pembelajarannya adalah benar-benar berbahaya bagi orang-orang yang berantas korupsi. Selamat bapak Presiden Jokowi, anda berhasil membuat pelaku kejahatan tetap tersembunyi, berkeliaran, dan siap melakukannya lagi” Tulis Novel Baswedan dalam akun twitternya @nazaqistsha
Menyikapi polemik Novel Baswedan yang mengalami ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan tujuan hukum meliputi tiga hal yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Tetapi nampaknya Indonesia sudah tidak lagi memiliki tujuan dari hukum. Bahkan sekarang hukum di mata para penguasa dianggap permainan dan tipu muslihat bagi para penguasa tertentu.
Terasa tidak asing lagi di telinga kita mendengar bahwa “hukum tumpul keatas tajam kebawah” banyak dari kita semua sering kali mendengar pribahasa seperti itu, namun kasus kali ini berbeda dari yang biasanya. Bukan hanya masyarakat kalangan bawah yang teraniaya tersebab tidak mendapatkan keadilan yang mereka inginkan, namun aparatur penegak hukum Novel Baswedan pun kini rasanya sudah tidak lagi ada harganya di mata pemerintah.
Pemerintah dianggap lemah dalam menangani kasus Novel Baswedan, pemerintah hanya menyaksikan apa yang sudah diputuskan oleh pengadilan. Secara otomatis mereka aparatur penegak hukum adalah bawahan dari Presiden Jokowi. Seyogianya Presiden Jokowi mengusut tuntas kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Karena Novel Baswedan adalah aparatur penegak hukum yang harus di lindungi oleh negara dan mendapatkan keadilan yang semestinya Novel Baswedan dapatkan.
Jika penegak hukum Novel Baswedan saja di biarkan tidak mendapatkan keadilan? Terlebih lagi kepada masyarakat biasa. Apakah seluruh masyarakat Indonesia masih akan mempercayai Presiden Jokowi atau aparatur penegak hukum lainnya? Tentu jawabannya tidak. Indonesia kini mulai kritis hukum bukan tersebab hukum atau peraturannya yang salah, tetapi aparatur penegak hukum tertentulah yang memainkan peran di dalamnya demi kepentingan pribadi semata.
Dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 135 Allah Swt berfirman yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerbatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa jadilah orang-orang yang senantiasa berlaku adil dalam semua hal, dalam menegakkan keadilan mestilah tidak memandang seseorang dari latarbelakangnya baik kaya maupun miskin, mereka berhak mendapatkan keadilan. Jangan mengikuti hawa nafsu karena ingin menyembunyikan kebenaran, karena Allah senantiasa mengetahui segala hal yang dikerjakan oleh hamba-Nya walaupun dalam keadaan yang gelap sekalipun.
Oleh karena itu, penulis berharap kepada Presiden Jokowi yang terhormat agar mengusut tuntas kasus Novel Baswedan, jika hanya dibiarkan begitu saja di khawatirkan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah khususnya para penegak hukum lainnya. Karena apa yang dilakukan Novel Baswedan sangatlah mulia yakni memberantas para koruptor yang memakan uang rakyat secara tersembunyi, jangan biarkan kebaikan mengalahkan kejahatan. Akhirnya, polemik hukum terjadi bukan karena lemahnya kebijakan yang ada di Indonesia, melainkan ada upaya muslihat para oknum penegak hukum yang marak memainkan perannya di negeri ini demi mencapai tujuannya.