Oleh : Johansyah
Beberapa waktu lalu ada sebuah akun facebook yang bernada mengkritis salah satu kebijakan lembaga pendidikan swasta terkait dengan pungutan uang bulanan yang tidak ada pengurangan signifikan selama pandemi. Padahal menurutnya sekolah tidak aktif, anak-anak belajar di rumah, dan guru juga di rumah dengan aktivitasnya masing-masing sehingga seharusnya ada kebijakan sekolah untuk tidak memungut biaya bulanan sebagaimana biasanya, tapi mungkin hanya lima puluh persen saja, atau bahkan lebih kecil lagi.
Tentu, yang namanya status di facebook, muncul beragam tanggapan. Salah satunya yang cukup menarik perhatian saya, tanggapan salah seorang yang mengatakan "jaman sekarang mana ada yang gratis, semua harus pakai duit", kurang lebih seperti itu. Sementara ada juga yang sepakat dengan lontaran kritikan di status facebook tersebut.
Di satu sisi, yang namanya lembaga pendidikan swasta tentu dikendalikan oleh sebuah badan usaha sebuah yayasan. Jadi, semua yang terkait dengan kebijakan lembaga sangat bergantung pada yayasan itu sendiri, termasuk biaya pendidikan. Bisa dikata, lembaga pendidikan yang mereka kelola menjadi ‘ladang usaha’ untuk mendapatkan keuntungan secara materi yang tentu dibarengi dengan misi mencerdaskan bangsa.
Tentu kita memahami kondisi ini, di mana yayasan sangat bergantung pada usaha yang dijalankannya. Ketika dia menyelenggarakan berbagai sektor usaha, termasuk pendidikan, aspek bisnisnya jelas menjadi salah satu pertimbangan utama di samping pertimbangan misi pendidikan. Tapi satu hal yang patut menjadi bahan renungan bersama, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab semua orang. Masing-masing kita harus mengemban tanggung jawab tersebut.
Dengan ungkapan lain, privatisasi pendidikan adalah hal yang wajar dan boleh jadi akan menjadi pemicu memunculkan daya saing antar satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya. Tapi, aspek dedikasi harus juga menjadi pertimbangan utama. Memang, sekolah swasta menawarkan program unggulan yang bisa dikata sangat diminati masyarakat, dan oleh sebab itu mereka berani memasang tarif tinggi karena sudah meyakini bahwa masyarakat akan menyanggupi berapa pun itu.
Nah, ada beberapa persoalan yang muncul dari pendidikan yang privatif ini. Pertama, pendidikan akan identik dengan mahal. Oleh karena itu pendidikan hanya akan dipersembahkan bagi kelas ekonomi menengah ke atas, sementara mereka yang ekonomi kelas bawah hanya bisa gigit jari ketika hendak mencicipi keunggulan program sekolah tersebut.
Sesungguhnya hal ini sangat terlihat pada beberapa lembaga pendidikan swasta di berbagai tempat, di mana mereka yang mengikuti pendidikan pada lembaga tersebut, orangtuanya secara umum berlatar belakang pegawai negeri, pengusaha, dan wiraswastawan yang secara ekonomi sudah tergolong mapan.
Meski begitu, bukan berarti sekolah yang secara bebas menentukan kebijakan pendidikan terkait iuran bulanan tanpa mempertimbangkan situasi dan fenomena yang berkembang. Minsalnya di situasi pandemi yang kemudian memunculkan kebijakan bahwa semua sekolah libur. Awalnya hanya dua minggu, lalu karena situasi belum membaik, libur diperpanjang hingga akhir bulai Mei kemarin. Situasinya belum juga normal sehingga libur diperpanjang lagi.
Nah, di situasi libur tanpa proses belajar mengajar di sekolah, memang guru menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring. Guru memberikan tugas secara online, dan murid juga memberikan jawaban secara online. Lalu inilah dalil yang digunakan ketika memberikan penjelasan pada orangtua peserta didik ketika mempertanyakan kenapa iuran bulanan tidak ada pengurangan di masa pandemi.
Kita mengakui dalil ini. Benar bahwa sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran secara daring. Tapi ada aspek lain yang disoroti para orangtua peserta didik; pertama, para guru memberikan tugas maupun penilaian dari rumah. Artinya, waktu efektif mereka dalam menyelenggarakan pendidikan tentu tidak setara dengan waktu efektif di sekolah. Apalagi hanya memberi tugas. Setelah itu memeriksa tugas yang diberikan para peserta didiknya.
Kedua, dalam proses pembelajaran daring, ternyata yang disibukkan menyelesaikan tugas anak adalah orangtua. Bahkan tugas orangtua jauh lebih berat dari guru di sekolah. Beratnya, orangtua terpaksa harus memahami seluruh bidang studi karena tugas yang diberikan berasal dari masing-masing guru bidang studi.
Selanjutnya, orangtua juga dipusingkan dengan varian jenjang usia anak-anak; pendidikan dasar maupun menengah. Ini tentu menjadi kendala tersendiri karena tingkat kesulitannya berbeda-beda. Dari itu, orangtua merasa wajar kalau iuran bulanan sekolah tidak seharusnya berlaku seperti biasa, tapi ada pengurangan.
Masing-masing memiliki dalil dan alasan yang kuat. Tapi ada satu hal yang menjadi fokus perhatian berdasarkan pengakuan dari beberapa orangtua yang anak mereka sekolah di beberapa lembaga pendidikan swasta, bahwa kebijakan iuran bulanan di masa pandemi tidak pernah dimusyawarahkan, tapi murni keputusan lembaga yang bersangkutan secara sepihak tanpa melibatkan wali atau oangtua peserta didik.
Di sinilah sumber masalahnya, sejatinya ada proses musyawarah dalam menetapkan uang bulanan di masa pandemi mengingat situasi pembelajaran yang diselenggarakan tidak sama dengan waktu normal seperti biasa. Kebijakan seperti ini bisa dinilai sebagai sebuah sikap egoisme kelembagaan dan ini tidak baik bagi perkembangan sebuah lembaga pendidikan yang pada dasarnya mengemban misi utama pencerdasan bangsa.
Satu hal yang harus disadari adalah bahwa lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta sejatinya merupakan wadah dedikasi untuk mencerdaskan anak-anak bangsa tanpa harus membedakan ini mampu secara ekonomi dan itu tidak. Tidak seharusnya lembaga pendidikan hanya memikirkan masa depan lembaga yang dominan berorientasi materi dan menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis. Pendidikan pada dasarnya adalah hak semua warga negara, dan upaya pencerdasan adalah kewajiban kita bersama.
Dari itu, boleh-boleh saja menjadikan lembaga pendidikan sebagai lahan usaha. Namun demikian, di situasi-situasi khusus seperti masa pandemi, sejatinya sekolah jangan hanya memikirkan ‘kesejahteraan’ secara sepihak, tapi juga mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga yang secara umum dibelit kesulitan, termasuk pegawai negeri sipil sekali pun. Pertimbangan ini adalah pertimbangan manusiawi yang sejatinya kita tampilkan dalam dunia pendidikan.
Saya kurang sepakat jika ada yang mengatakan, jaman sekarang tidak ada yang gratis, semua harus pakai duit, termasuk menyekolahkan anak. Kalau filosofi ini yang kita terapkan dalam pendidikan, pada akhirnya pendidikan kita akan menjelma menjadi pendidikan kapitalis. Di mana hanya mereka yang kaya saja mampu mendapatkan pendidikan yang bermutu, sementara yang miskin mendapatkan pelayanan pendidikan seadanya. Bagaimana pendapat kita, sesuaikah konsep pendidikan seperti ini dengan ajaran Islam?
*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah