Oleh: Muhammad Haekal
Siswa Sekolah Kita Menulis
Untuk terwujudnya roda pemerintahan pasti ada yang namanya pemimpin atau di dalam al-Qur’an dikenal dengan kata khalifah yang artinya wakil Tuhan yang bertugas “membumikan” amanah Tuhan dan memastikan agar amanah itu benar-benar tersampaikan kepada umat manusia. Tuhan telah mengamanahkan “kue” kepada wakilnya untuk dibagi-bagikan kepada rakyat-rakyatnya. “kue” itu berupa kekayaan alam yang begitu berlimpah ruah, hatta jika dibagi-bagikan kepada setiap orang maka semuanya akan bergelimang dengan kenikmatan atau dengan kata lain kaya. Bila kita mengeksplorasi firman Tuhan ada informatif yang sangat menarik. Apa gerangan?
Di dalam al-Quran ada ayat yang mengandung term komparasi, seperti Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, kehidupan dan kematian, tertawa dan menangis, itu semua termaktub dalam surah an-najm ayat 43-45. Namun ada satu ayat yang sangat menarik bagi penulis untuk diresapi mengapa pada ayat ke 48 tidak ada unsur term komparasi, Tuhan tidak memasangkan term kaya dengan miskin? Seolah-olah tersirat makna khusus untuk ditadabburi oleh para pembaca. Jika dilihat sekilas dalam ayat 48 ini tidak ada unsur komparasi term.
Mari sejenak kita melihat firman Tuhan di dalam al-Qur’an surah an-najm ayat 43-45 dan 48. Di dalam ayat tersebut seolah-olah Tuhan telah menyampaikan pesan kepada manusia. “Wahai manusia Aku telah memasang-masangkan di antara kalian antaranya Aku yang menjadikan orang tertawa dan menangis, Aku yang mematikan dan menghidupkan, dan Akulah yang menjadikan laki-laki dan perempuan, Begitulah pesan Tuhan tersurat. Namun yang menariknya ketika kita mengeksplorasi lebih jauh pada ayat 48.
Pada ayat tersebut ketika Tuhan berbicara tentang kaya, seharusnya jika ingin menyandingkan dengan metode komparasi maka kaya itu haruslah disandingkan dengan kata miskin. Tetapi menariknya tidak demikian yang terjadi. Seolah-olah Tuhan tidak ingin berhenti pada ayat ke 45 tetapi meneruskan pesannya di ayat 48. “Wahai manusia tapi tidak Aku pasangkan kaya dengan miskin, tetapi Aku pasangkan dia dengan kecukupan”, dan “kue” itu telah Aku berikan kepada wakil-Ku untuk dibagikan kepada kalian sehingga kalian bisa menikmatinya setidaknya jika kalian tidak berada pada kasta kaya, minimal cukup bekal untuk mengarungi kehidupan.
Begitu indah pesan Tuhan disampaikan kepada umat manusia agar umat manusia senantiasa hidup rukun, guyub, egaliter, tidak cakar-cakaran antara umat manusia. Namun demikian apakah wakil Tuhan sudah membagikan “kue” itu sama rata kepada umat manusia? Mengapa Ada kesenjangan sosial di antara umat manusia sehingga munculnya hierarki sosial antara kaya dan miskin? Apakah wakil Tuhan ingin menjadi “Tuhan” sehingga membajak titah Tuhan.
Pertanyaan-pertanyaan demikian terus mengusik benak penulis. Sepertinya wakil Tuhan ingin membajak titah Tuhan dan ingin menambahkan kata “miskin” di dalam kamus kehidupan. Jika kita melihat realitas sosial di tengah-tengah masyarakat sedih rasanya, masih banyak kita lihat masyarakat yang jauh dari kelayakan. Masih banyak kita lihat kehidupan masyarakat yang carut-marut, terkadang makan untuk sehari saja tidak bisa terpenuhi. Belum lagi yang tidak mempunyai tempat tinggal, mereka hanya menumpang di bawah kolong jembatan untuk menghindari teriknya panas dan menusuknya kedinginan.
Seharusnya mereka yang harus dijadikan objek khusus oleh wakil Tuhan untuk dilayani agar mereka juga mendapatkan kehidupan yang layak. Tetapi wakil Tuhan sibuk berpesta pora ntah dengan siapa. Ntah mengapa “kue” yang diamanatkan Tuhan tidak dibagikan sama rata, “kue” itu malah disimpan, dan berbagi sama rata dengan para-para wakil Tuhan.
Sebenarnya yang dinginkan umat manusia sangat sederhana, pimpinlah umat manusia dengan akal sehat sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil tidak menyimpang dari fitrah manusia, karena jika segala sesuatu yang menyimpang dikarenakan nafsu serakah. Jika nafsu serakah yang menjadi ideologi, maka tidak akan memberikan rasa iba sedikitpun kepada masyarakat miskin untuk ikut menikmati anugerah “kue” yang Tuhan berikan itu. Nafsu sering memanipulasi hak-hak manusia yang seharusnya ditunaikan tampak seperti kewajaran dan prosedural, padahal dibalik itu semua membutakan akal sehat. Belum lagi jika ada di antara para wakil Tuhan berpesta dalam acara bagi-bagi “kue” di antara wakil-wakil Tuhan, lengkap sudah penderitaan masyarakat miskin.
Potret sandiwara antara wakil Tuhan pun terus dipertontonkan. Visi meningkatkan pengembangan daya manusia menjadi “bintang-bintang” yang menghiasi memori kolektif masyarakat, ntah manusia yang mana yang dikembangkan dan ntah apa dampak dari visi tersebut. Pembangunan-pembangunan juga terus di galakkan sebagai sarana mempermudah rakyat. Rakyat yang mana? Para pemilik pasar terus bergerilya menebangi pohon untuk berburu profit besar tanpa menghiraukan dampak yang terjadi seperti banjir dan longsor.
Jika bencana itu terjadi para “wakil” Tuhan berlagak prihatin di depan kamera dan tinggal mengkambinghitamkan alam. Seperti yang diungkapkan oleh Youval “jika hendak menyalahkan orang maka arahkanlah telunjukmu dan katakanlah bahwa dia biang masalah” (Homo Deus, 2011). Ditambah lagi para wakil Tuhan memiliki instrumen yang kian lengkap untuk memframing objek permasalahan. Maka sukseslah segmen mengelabui masyarakat hanya untuk memuaskan nafsu buas wakil Tuhan.
Sebelum mengakhiri tulisan ini penulis ingin berpesan kepada wakil Tuhan agar tidak membajak titah Tuhan dan berkhianat kepada Tuhan. Efek dari pembajakan titah dan amanah Tuhan ini akan berdampak besar kepada umat manusia. Akan banyak umat manusia yang bermental pengutuk Tuhan, “Tuhan tidak adil” padahal begitu besar anugerah yang Tuhan titipkan kepada kalian wahai wakil-wakil Tuhan.
Kamuflase nikmat Tuhan akan memunculkan kesenjangan dan ketimpangan baru sehingga negara sebagai wadah beramah-tamah dengan sesama manusia bertransformasi menjadi “neraka” dunia. “Cakar-cakaran” sesama manusia, munculnya kriminalitas, bobroknya moralitas anak bangsa dan berbagai dampak negatif lainnya. Bekerjalah dengan pikiran, hati, dan profesionalitas. Sehingga dengan itu semua umat manusia bisa menikmati “secuil” nikmat Tuhan. Jangan amanah dijadikan sebagai alat melanggengkan kekuasaan hanya untuk mencari profit besar. Karena tidak ada manusia yang abadi dan jika amanah itu tidak bisa digunakan dengan sebaik-baiknya kelak akan menjadi senjata makan tuan bagi empunya.
Pada Akhirnya sampailah pada slogan Marx “agama itu candu”. Memang agama itu candu untuk menenangkan jiwa-jiwa yang tertindas. Seolah-olah umat beragama ingin mengatakan “sekarang kami tidak mempunyai siapa-siapa lagi, kami ditindas oleh wakil-Mu wahai Tuhan. Hanya kepada Engkau tempat kami mengadu ketidakadilan ini, hingga kelak wakil-wakil-Mu Engkau yang audit di hari pertanggung jawaban kelak.