Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pandemi & Fenomena Gowes di Aceh

Rabu, 15 Juli 2020 | Juli 15, 2020 WIB Last Updated 2020-07-15T13:35:07Z


Oleh :Septian Fatianda, S. Hum
Alumnus Fakultas Adab dan Humaniora & Siswa Sekolah Kita Menulis. Email : septianfatianda@gmail.com

Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau yang familiar dikenal dengan COVID-19 merupakan satu wabah penyakit yang sangat mematikan. Hingga opini ini ditulis menurut data dari Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19 sudah ada sebanyak 78.572 orang Indonesia yang positif terjangkit virus ini dan 3.710 diantaranya telah meninggal. Dari data tersebut Provinsi Aceh menyumbang pasien yang positif terjangkit sebanyak 106 orang dengan 4 orang dinyatakan meninggal dunia. Mirisnya dalam waktu lebih dari lima bulan pandemi ini menyerang kehidupan kita belum ada tanda-tanda pandemi covid-19 ini akan berakhir. Bahkan  tidak ada satu orang pun yang tau pasti kapan virus yang muncul pertama kali di Wuhan China ini pergi dan tidak lagi mengganggu kehidupan masyarakat aceh serta masyarakat dunia.

Menariknya selama masa-masa sulit pandemi ini hingga masa sekarang yang sedang diberlakukan kebijakan era new normal yaitu era kehidupan baru masyarakat untuk tetap beraktivitas walaupun dalam ancaman virus mematikan. Di Indonesia khususnya di Aceh sudah muncul fenomena baru yang sekarang cukup booming dikalangan masyarakat Aceh, fenomena tersebut ialah “Gowes”. 

Kata Gowes akhir-akhir ini menjadi cukup sering kita dengar ditengah-tengah masyarakat Banda Aceh. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan istilah gowes tersebut? Jika kita ingin melihat makna dari segi bahasa tidak akan kita temukan pengertiannya, bahkan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak ada tercantum kosakata tersebut. Namun kata gowes ini menjadi familiar dikalangan masyarakat karena dianggap keren dan kekinian. Lebih lanjut kata gowes sering dimaknai dari perpaduan kata “go” dan “es” yang kalau dibaca perkata menjadi “go-es” sehingga kemudian sering diplesetkan menjadi kata “gowes”. Akhirnya gowes diartikan sebagai sebuah aktivitas olahraga berupa mengayuh pedal sepeda dan bersifat mengasyikkan. 

Awalnya sebelum pandemi covid-19 ini muncul di Aceh, aktivitas gowes hanya bisa kita temui saat hari hari libur dan saat akhir pekan saja yang dilakukan untuk mengisi waktu kosong mereka dengan berolahraga.  Selain itu aktivitas gowes biasanya dapat kita saksikan dibeberapa kegiatan-kegiatan car free day saat hari minggu dan di kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau perusahaan swasta lainnya. Namun di era sekarang setelah adanya serangan pandemi yang mengharuskan kita untuk selalu menjaga kesehatan diri, memberlalukan sosial distancing dan serta mengurangi aktivitas keramaian di luar rumah, ternyata telah membuat fenomena gowes di Aceh khsususnya di Banda Aceh semakin meningkat tajam.

Fenomena gowes seakan menjadi sebuah tren baru yang banyak diminati oleh masyarakat kita. Fenomena ini tidak memandang usia, semua kalangan menikmati dan ikut berpartisipasi mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan orang yang sudah tua pun tetap mengikuti fenomena ini. Tidak hanya itu gowes bukan saja dilakukan oleh kalangan pejabat dan orang yang berada saja melainkan semua latar belakang profesi pun menggemari olahraga yang cukup mengasyikkan ini. 

Jika kita ingin melihat dari segi ilmu kesehatan, aktivitas gowes ini sangatlah berguna dan baik bagi kesehatan tubuh kita. Ada banyak sekali manfaat kesehatan yang bisa kita dapatkan diantaranya dapat mengurangi stress dan depresi, mengurangi resiko penyakit jantung, membakar lemak dan kalori, sebagai obat sakit lutut, hingga dapat mengurangi resiko kanker (hellosehat.com). Dengan alasan ini menjadikan kegiatan gowes semakin banyak digemari oleh masyarakat di masa-masa sulit pandemi covid-19 yang memang mengharuskan kita untuk selalu menjaga imunitas tubuh agar terhindar dari virus yang menyerang tubuh. 

Selain itu, fenomena gowes ini seakan membuka lembaran baru akan status sosial di kalangan masyarakat Banda Aceh. Gowes sekarang bukan hanya sebagai sarana untuk berolahraga semata melainkan sudah mengarah sebagai ajang untuk pamer-pamer kekayaan, berupa saling berlomba-lomba memperlihatkan sepeda yang paling bagus dan mahal milik mereka. Ada beragam jenis sepeda yang digunakan oleh para pelaku gowes, dari harganya yang 500 ribu an hingga ada yang mencapai ratusan jutaan. Bahkan ada juga bagi yang ingin gowes namun tidak sanggup untuk membeli sepeda, para pelaku usaha sudah banyak yang membuka jasa penyewaan sepeda untuk dipakai saat gowes. Dari fakta ini dapat kita lihat bahwa fenomena gowes juga memiliki manfaat terhadap pendapatan ekonomi masyarakat. 

Seiring dengan faktor tersebut tak jarang aktivitas gowes juga sering digunakan sebagai ajang untuk gaya-gayaan dimana kebanyakan dari mereka yang ikut gowes ini sering mengabadikan momen-momen saat sedang mengendari sepeda lalu dibagikan di media sosial milik mereka. Fenomena ini tak terelakkan dengan bukti bahwa pada setiap akhir pekan kita dengan mudah mendapati postingan-postingan bertemakan gowes bertaburan bak jamur di sosial media.

Maraknya peningkatan jumlah masyarakat Banda Aceh yang melakukan aktivitas olahraga gowes ini memunculkan satu topik pembahasan yang menarik untuk dikaji. Lonjakan jumlah pengguna sepeda ini cukup beralasan karena sebelum pemberlakuan kebijakan new normal, masyarakat seperti “dikurung” oleh Pemerintah untuk tidak bisa kemana-mana. Setelah masa “pengurungan” ini dicabut maka masyarakat mulai tumpah ruah ke jalanan dengan dalih untuk mengobati rasa kebosanan mereka yang selama ini hanya dirumah saja. 

Penulis melihat gejala peningkatan orang yang bergowes di masa pandemi ini sebagai gejala “kelatahan” ditengah-tengah masyarakat kita. Mengapa demikian, hal ini cukup beralasan dengan fenomena maraknya gowes ini yang seakan tiba-tiba populer. Argumen ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh sosiolog Universitas Gajah Mada Sidiq Rahim yang bependapat bahwa fenomena gowes sebagai bentuk kelatahan ketimbang sebuah kesadaran. Lebih lanjut dia menyebutkan bahwa jika ingin benar-benar melihat apakah fenomena ini sebagai bentuk kesadaran atau hanya sebuah kelatahan, bisa kita lihat dengan pasti nanti pasca pandemi ini berakhir. Apakah tetap berlanjut ataupun berkurang seriring berjalananya waktu.

Dengan semakin maraknya fenomena gowes ini dilain sisi juga telah membuat permasalahan baru di masyarakat Banda Aceh. Banyaknya para pengguna sepeda yang bergowes dijalanan semakin meresahkan para pengguna jalan yang lain. Para pengguna sepeda ini justru mulai membuat jalanan semakin padat dan sengkarut karena saling rebut-rebutan jalan dengan pengguna mobil dan sepeda motor. Berangkat dari alasan tersebut pemerintah dituntut untuk hadir guna mengatur lalu lintas dijalanan agar semua pengguna jalan dapat nyaman berkendara. 

Tidak hanya persoalan lalu lintas, fenomena gowes juga telah membuka kesempatan baru bagi para pelanggar Syariat Islam di Banda Aceh. Kasus ini bahkan sempat viral dengan adanya sekelompok wanitia yang melakukan aktivitas gowes keliling kota Banda Aceh dengan menggunakan pakaian ketat dan seksi. Hal ini tentu saja sangat mencederai kesucian kota Banda Aceh yang dikenal sebagai kota dengan pemberlakuan nilai-nilai syariat Islam. Beruntung kasus ini cepat direspon oleh Pemerintah Kota yang mengutuk keras aksi gowes ini dan memanggil para pelaku. Namun ya tetap saja walaupun sudah berbuat kesalatan fatal tetapi dengan mudahnya mereka dibebaskan dan para pelakuu tersebut meminta maaf ke publik. 

Atas dasar tersebut, fenomena gowes sudah sepatutnya untuk dipergunakan sebagai sarana bagi masyarakat untuk berolahraga guna menambah imunitas tubuh. Namun dengan masifnya fenomena ini Pemerintah diharapkan untuk ambil andil dalam menangani segala permasalahan yang mungkin disebabkan oleh fenomena ini. Mulai dari harus memperketat aturan agar setiap para pelaku gowes tetap selalu mematuhi protokol kesehatan serta yang terpenting tetap menghargai prinsip-prinsip syariat Islam.