Oleh Johansyah
Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan ibadah tahunan bagi umat Islam bagi yang mampu melaksanakannya. Al-Qur’an menegaskan: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran: 97).
Tentunya banyak sekali nilai yang dapat digali dari ibadah haji ini. Salah satunya adalah dimensi sosial-horizontal dalam wujud sumbangan jamaah haji. Sumbangan ini nantinya dikumpulkan dan diserahkan pada negara Islam yang mengalami krisis ekonomi atau komunitas muslim di suatu negara yang dilanda konflik. Selama ini haji umumnya dipahami sebagai ibadah yang fokus pada dimensi vertikal-individual, kurang bersinggungan dengan ibadah sosial. Padahal setiap ibadah ritual sangat berkelindan dengan dimensi sosial.
Kita kerap mendengar bahwa yang banyak didistribusikan dari Arab Saudi adalah daging hewan kurban pada hari raya idul adha. Daging-daging ini dibagikan ke berbagai negara yang umumnya bersumber dari kurban para jama'ah haji di sana.
Nah, apa salahnya digagas sumbangan jama'ah haji. Bagi siapapun yang berhaji dianjurkan untuk menyumbang. Tentang konsep dan pelaksanaannya dapat diduskusikan bagaimana baiknya. Intinya setiap jama’ah haji memberikan sumbangan. Apakah dikumpulkan melalui pemerintah Arab Saudi, ataukah dipercayakan pada kedutaan besar masing-masing, atau dapat juga dibentuk panitia khusus yang menangani masalah ini. Kalau memang jama’ah percaya kepada pemerintah, sumbangan tersebut bisa diberikan sekaligus dengan pelunasan ongkos naik haji (ONH).
Mengenai jumlahnya juga terserah. Untuk jamaah Indonesia minsalnya, katakan mereka menyumbang sebesar dua puluh ribu rupiah, Kita bisa kalkulasi, kalau ada seratus ribu jamaah saja, maka sudah ada dua milyar rupiah. Ini belum lagi jamaah dari negara lain yang jumlahnya kalau ditotal bisa mencapai jutaan orang.
Ke haji sudah tentu panggilan Allah. Ucapan yang kerap terdengar ditelinga kita adalah labbaika Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, dan seterusnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa berhaji memang memenuhi panggilan-Nya. Namun seperti yang saya tegaskan sebelumnya bahwa semua ibadah sangat sarat dengan dimensi sosial. Bahwa ibadah sosial itu kemudian dijadikan sebagai syarat dan standar ibadah vertikal.
Ibadah haji pun dianjurkan cukup sekali bagi orang mungkin mampu berkali-kali. Selebihnya jika ada kemudahan rejeki, ada baiknya dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang berorientasi pada penguatan ibadah sosial. Minsalnya mendirikan panti asuhan, lembaga pendidikan, mendirikan rumah ibadah atau apa sajalah yang pada intinya bersifat meringankan beban umat.
Terkadang kita terlalu simpel memahami syariat ini. Pada dasarnya memang sederhana, namun terkadang luput dari dimensi tertentu dan itu sangat menentukan kualitas ibadah kita di mata Allah. Akhirnya banyak yang terjebak pada aspek simbolik, lalu lupa pada pesan intinya. Haji ya haji, tapi banyak yang ke haji untuk sekedar berwisata. Pulang dari sana mengenakan sorban plus peci putih, dan panggilannya pun berubah jadi pak haji. Kalau tidak disebut hajinya, bisa-bisa kita diceramahi.
Sebagai bahan renungan bersama, salah satu trik negara besar di dunia untuk menundukkan negara Islam maupun yang mayoritas muslim adalah tekanan ekonomi. Mereka bersedia memberikan pinjaman, tapi pada akhirnya melakukan tekanan sedemikian rupa pada negara yang diberi hutang. Akibatnya, mereka menerima apa saja yang menjadi kebijakan negara pemberi hutang dan kehilangan daya kritis serta tidak berani tegas.
Kini tampaknya, aktivitas haji memang harus dibaca dari dimensi sosial umat Islam dan selanjutnya dijadikan wadah untuk membentuk kekutan Islam dari berbagai aspeknya, terutama kekuatan ekonomi. Caranya seperi yang kami katakan tadi, setiap tahun jamaah haji menyumbang dan hasilnya diprioritaskan bagi negara berpenduduk muslim yang secara ekonomi masih lemah.
Kalau ada komitmen bersama antar negara Islam, sebenarnya kita tidak perlu berhutang pada negara negara besar, atau tidak perlu meminjam ke IMF, cukup dengan sistem gorong royong, membantu negara Islam yang lemah, yang itu salah satu sumbernya adalah sumbangan jamaah haji.
Bahkan jika pengelolaannya baik, umat Islam dunia sebenarnya bisa membuat Bank Dunia khusus Islam yang menerapkan sistem perbankan syari’ah. Selama ini kita kerap mengkritisi bank konfensional yang dinilai menerapkan sistem riba oleh banyak kalangan karena menguntungkan satu pihak. Sayangnya, sebagai umat Islam kita tidak pernah menawarkan perbankan Islami dalam bentuk konkrit.
Untuk itu, nantinya bank dunia Islam ini, selain diprioritaskan bagi negara-negara mayoritas berpenduduk muslim serta minoritas muslim di sebuah negara yang membutuhkan bantuan. Selain itu, bank ini dapat dijadikan sebagai model ril pengembangan perbankan Islami sebagaimana yang kita inginkan. Intinya, kita jangan hanya mengkritisi sistem perbankan sekarang, tapi tawarkan solusinya secara ril.
Pemikiran seperti ini tentunya perlu pengembangan dan pendapat banding. Namun jika memungkinkan untuk dikembangkan, kenapa tidak? Inilah yang kita tunggu. Semoga catatan kecil ini dapat menjadi bahan pemikiran bagi kita semua. Tentu yang jelas, semua ibadah sangat berjorelasi dengan dimensi sosial. Wallahu a'lam bishawab!
*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah.