Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ketika Cinta Berkabut dan Bersegi

Senin, 06 Juli 2020 | Juli 06, 2020 WIB Last Updated 2020-07-06T02:07:30Z



Oleh: Inen Melany

“Laila, aku pamit. Seperti biasa harus pulang setiap akhir pekan. Kali ini, aku belum tahu sampai kapan berada di kampung halaman, untuk itu, hubungan kita harus jeda! Selama kita LDR kamu tidak boleh menghubungiku, aku yang akan menghubungimu,” ujar Hendri, dia menatapku tanpa senyum.

Mulutku kaku, hanya mampu menggigit bibir dan memandang sekeliling kedai kopi yang masih sunyi, hanya ada kami berdua di kedai kopi ini.

Mataku larut dengan deretan kursi yang tersusun rapi, setiap meja ada 4 sampai 6 kursi dengan setangkai bunga mawar merah dan angrek putih mempercantik tampilan meja. Masih terlalu pagi, puluhan meja sedang menunggu sajian menu pesanan para pelanggan. Suasana kedai kopi, terasa romantis. Namun, hatiku membeku, tidak menatap ke wajah lelaki di depanku, mulut mungil yang bergincu merah juga ikut membisu tidak tau harus bicara apa dan meski bagaimana?

“Laila!!!!!” hardik Hendri
Suara Hendri membentak membuat aku terkejut dan menoleh ke arah lelaki bertubuh atletis berkulit kuning langsat, berambut cepak  warna hitam yang berada di depanku.

“Kenapa kamu diam saja, Sayang? Aku membicarakan tentang kita, tapi kamu mengalikan perhatianmu sama meja kursi dan dinding-dinding itu,” ucap Hendri dengan wajah sarat emosi, sembari  bangun dan menunjuk ke arah kanan dan kiri tempat yang tadi kutatap.

Hati ini,  tambah sakit dan pilu dengan sikap Hendri yang tidak bisa menyelami perasaanku.

“Baiklah Hendri, silakan kamu kembali ke tempat dudukmu! Apa kamu tahu? Apa yang berkecamuk dalam benakku? Sayangnya kamu tidak tahu ...,” ucapku dengan deraian air mata.

“Beri aku, satu alasan! Kenapa kita LDR dan harus jeda tanpa batas waktu? Kenapa kalimat itu tiba-tiba kau ungkapkan di pagi buta berkabut begini? Aku hadir ke tempat ini, melawan hati nuraniku. Eh, baru aku duduk, terus kau sodorkan kalimat-kalimat yang tidak aku duga sama sekali.  Ada apa denganmu Hen?” tanyaku dengan suara yang mulai parau.

Hendri terdiam sejuta bahasa sorot matanya tajam memandangku, entah apa makna pandangannya itu? Aku tidak tahu.

“Laila, ayahku lagi kurang sehat, aku pulang untuk membantu beliau di pabrik balok es di Pantai Teluk Sabang. Usaha keluarga yang sudah dirintis oleh ayah, sekarang lagi ada masalah. Aku sudah setahun bekerja mengelolah kedai kopi ini. Sekarang kedua orang tuaku membutuhkan aku untuk mengelolah manajemen pabrik dan mengurus tiga kapal pencari ikan dengan puluhan nelayan. Ini alasanku kenapa setiap minggu harus  pulang ke Pulah Weh.”

Mendengar penuturan Hendri, aku jadi simpati dan meresapi polemik yang sekarang sedang dihadapinya. Dengan suara yang lembut, kuungkapkan keganjilan dari ucapannya, “Aku tidak paham kenapa menjalani LDR, tapi hubungan kita jeda tanpa batas waktu? Aku juga tidak boleh menghubungimu Hend?” ucapku lirih, menatap wajah sang kekasih.

Kedai kopi di pojok Kampus Pertanian Kota Radja, sudah mulai disinggahi oleh satu dua pelanggan, mereka menatap kami yang duduk berhadapan di meja paling pojok dekat kasir. Terkadang kami membisu, beradu mulut, berkomunikasi melalui batin dan tatapan mata hampa. Aku segera mengambil sikap dan harus mengakhiri sikon komunikasi kami yang tidak sehat. Harus mengalah, siapa tau lelaki yang sudah dua tahun menjadi kekasih hati sekarang pikirannya sedang berkecamuk dengan hal yang tidak sanggup, diceritakannya kepadaku

Biarlah waktu yang akan mengantarkan jawaban untuk alasan-alasan itu.
Sekian menit kutunggu jawaban, tapi tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir yang tidak pernah tersentuh oleh rokok itu. Tidak merokok merupakan, kesan pertamaku kepadanya.

 Jam  dinding, sudah pukul 09.00 WIB. Tanpa disadari, sudah dua jam berada di depan seorang sarjana manajemen ekonomi lulusan terbaik tahun lalu. Terasa perut melilit kosong dan juga haus. Ternyata kami larut dalam perang pikiran tanpa isi bahan bakar, aku jadi enggan minta segelas air dari Hendri.

“Aku pamit, mau kembali ke kos-kosan. Harus mengepak barang kebutuhan KKN,” ungkapku.

Tidak ada reaksi apapun dari Hendri, bahkan dia tidak mau tahu tentang keberangkatanku ke Takengon untuk pengabdian Kuliah Kerja Nyata.  Harus menelan kepedihan dan berusaha tenang.

Betapa inginnya untuk mengungkapkan kalimat putus, kala melihat sikap dinginnya lelaki yang sangat dicintai. Sayangnya cintaku terlalu kepadanya, tidak sanggup ucapkan kalimat mengakhiri hubungan ini. Rasa ingin putus dari Hendri acap kali hadir, mana kala kekecewaan, sakit hati, mungkir janji, dan  saat dibutuhkan dia jarang ada. Namun, benci-benci tapi rindu.

"Memaafkanmu, terluka dan kembali memaafkan. Luka pada goresan yang sama, hingga luka itu sembuh dan terluka lagi. kamu lagi ada beban pikiran, jangan sampai aku menambah bebanmu. Biarlah  kuterima tawaranmu, menjalani hubungan LDR dan benar-benar jeda," ucapku dalam hati.

"Bucin ini kapan berakhir?“ keluhku membatin dengan pikiran berkecamuk, air mata mengalir tak bisa terbendung

“Hen, masih ada beberapa pertanyaanku yang belum kau jawab, jika belum bisa kau jawab sekarang, tidak masalah. Aku masih menunggu jawaban itu. Selamat jalan Hend, aku besok ke Takengon, pengabdian selama tiga bulan,” ucapku bersiap pergi, aku sengaja memperlambat bergerak menjauh dari hendri. Berharap kekasih mengejar atau menahan langkah kakiku, atau dia memberikan segelas air putih dan selembar tisu untuk menyerap air mata di pipiku.

Sayangnya semua itu tidak terjadi, aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh Hendri. Aku berlalu, tanpa menoleh ke belakang, tanpa menghiraukan tatapan mata mereka para pelanggan kedai kopi, langkah kakiku terus menjauh dari lelaki yang sudah  hadirkan sejuta tanda tanya di dada dan pikiran ini.

Kabut tebal dan asap menyelimuti langit, aku berjalan kaki  menunju indekos, yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari kedai kopi yang sudah mengenyangkan dengan aroma pahitnya menu ungkapan keegoisan cinta yang disajikan oleh pengelolah kedai itu.


*

Halaman indekos yang asri  dengan aneka bunga warna warni, air pancuran di kolam bening berisi ikan air tawar dan bunga teratai menyapa pagiku yang lapar. Ibu kos menyambutku dengan  senyumannya yang ramah, ditangannya ada sekotak roti, entah mau ke mana dibawanya roti itu? Akan tetapi, mata  wanita paruh baya itu menatapku.

 “Ini roti untukmu, tadi Ibu cari ke kamar, kamu tidak ada. Ibu dengar dari TV katanya ‘asap dari Riau dan Kalimantan yang menyebabkan daerah kita sekarang ini berkabut asap’. Ibu harap jika tidak ada hal penting, tolong jangan keluar rumah!"

Setelah diam beberapa saat,  ibu Rosi melanjutkan pembicaraan, "Oh ya ibu lupa, roti itu dibawa oleh keponakan ibu yang baru datang dari Medan, dia baru pengangkatan jadi dosen di kampusmu.”

Terharu dengan kepedulian dan tanggung jawab ibu Rosi kepada aku yang hanya seorang anak desa yang ngontrak di salah satu kamar di rumahnya, dan sangat senang mendapatkan rezeki dari Ibu kos yang baik hati.

 “Terima kasih Buk,” ucapku dengan gembira dan penasaran. Siapakah gerangan ponakan Ibu Rosi yang baik hati, bagi-bagi roti untuk anak-anak yang ngekos di rumah tantenya?

*

Udara dingin negeri atas awan, keindahan alam daratan tinggi gayo dan kesuburan lahan pertaniannya membuat aku sedikit berdamai dengan beban batinku yang kian hari, kian meruncing. Hendri yang kutunggu, dia tidak pernah hadir menemuiku bahkan dia sudah sebulan tidak menghubungiku sama sekali. Duduk di dermaga kampung One-One, aku menatap riak Danau Laut Tawar yang ditemanin bunga enceng gondok yang bermekaran  berwarna ungu. Memperhatikan aktivitas nelayan yang mendayung perahu mengail ikan berusaha melawan arus air dan tetap ikhtiar mencari sesuap nasi untuk anak dan istrinya.

Air mataku menetes teringat sama Hendri.  Sebenarnya aku sudah berdamai dengan sikap Hendri pada hari itu yang sampai kini masih membisu. Suasana romantis di pinggir danau, membuat aku larut dengan perasaan merindukan  seorang kekasih dan berharap dia datang mengunjungiku ke kota dingin.

Teman satu kelompok dan teman satu kamar sekarang, sedang ke Takengon. Mereka menikmati hari minggu dengan liburan di ibu kota Kabupaten Aceh Tengah. Aku lebih memilih menikmati keindahan danau dan alamnya dengan mengungkapkan perasaanku pada bait-bait larik puisi cinta dan rindu yang aku goreskan di buku memori. Berdiam seorang diri di dermaga, tiba-tiba ponsel berbunyi nada khusus dari Hendri, segera sentuh tuts terima panggilan suasana hatiku bergetar gembira, tapi berkecamuk dengan emosi yang tak menentu

“Laila, bagaimana kabarmu, Sayang? Aku berharap kamu baik-baik saja. Aku rindu padamu,” ucapnya dari seberang sana.

“Iya aku baik-baik saja, terima kasih sudah menghubungiku,“ jawabku.

“Tolong buka, Androidmu! Ada pesan WhatsApp dariku untukmu. Kamu akan tahu semua tentang aku dan itu jawaban dari semua pertanyaanmu, yang  selama ini  belum sempat kujawab.”

Segera kubuka Android, mengeja setiap huruf dan mencerna maknanya.

[Aku sudah memikili istri dan anak, 14 bulan hubungan kita sebagai kekasih, saat itu ... aku juga merupakan seorang suami untuk Kartika. Wanita yang dijodohkan untukku, aku  mencintai kamu dan menikahinya. Sepuluh bulan aku menyembunyikanmu dari dia, dan menyelinapkannya darimu Laila. Anakku laki-laki, aku pulang kemaren itu untuk menyambut kelahirannya. Kamu masih kekasihku Laila, aku mencintaimu aku kangen kamu Laila.]

[Aku ingin menceraikan istriku, tapi aku harus menunggu kesehatan Ayah membaik. Tetaplah jadi kekasihku, jangan tinggalkan aku. Sekarang kamu bebas menghubungi aku kapan kau rindu, Sayang. Jaga kesehatanmu, dan maafkan aku yang sudah lama menduakanmu dan memadumu dengan istriku. Aku harap kamu bisa memahami apa yang sudah aku lakukan. Aku akan melamarmu.]

Ingin terjun ke danau, tapi masih ingin hidup dan ingin membalas sakit hatiku pada Hendri, lelaki pembohong dan jahat. Hanya terdiam sendiri dengan badan lemas, air mataku bercucuran.

Biodata:
Penulis bernama Lasma Farida, seorang mahasiswi pascasarjana IAIN Lhoksumawe dan berprofesi sebagai seorang guru IPA MTsN Bener Meriah. Sekarang juga sedang fokus dengan dunia menulis (cerpen, novel, cerita anak, dan puisi). Karya solonya adalah:
1. Cut Nyak Lahore (novel inspiratif)
2. Kita Kata Burni Telong dari Bale Redelong (151 puisi dan qoutes)
3. Sapu Lidi dan Pendekar Bermasker Hitam (15 cerita perjuangan dan pertualangan anak di kaki gunung berapi Burni Telong)
4. Mata Air Bukan Air Mata (22 kumpulan Cerpen daerah dan nasional)

5. Tentang Sejuta Rasa (53 Puisi Pendidilan dan alam semesta)