Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ketika Cinta Berkabut dan Bersegi Part 2

Jumat, 10 Juli 2020 | Juli 10, 2020 WIB Last Updated 2020-07-10T03:51:49Z





Oleh : Inen Melany


“Alhamdulillah, saya dan Android ini masih selamat, bisa jadi buku itu sudah tenggelam di danau. Semoga kisahku yang berkabut karena cintanya Hendri bersegi yang kutuliskan di buku itu, ikut lenyap tenggelam di danau,” ucapku lirih bercucuran air mata penyesalan 

Pada suatu kesempatan, pertemuan pelepasan mahasiswa KKN dengan warga di Kantor Camat Lut Tawar, aku sengaja menjumpai Pak Rey, “Terima Kasih Pak, sudah membantu kami pada saat pingsan di pinggir danau dan menyelamatkan Androidku.” 

Pak Rey, dosen muda belia yang sangat ganteng dan berwibawa, memberikan jawaban dengan sangat dingin. Dia hanya tersenyum dan mengganguk. 

Aku merasa sangat malu sekali dan ciut ketika mengunggkapkan ucapan terima kasihku kepada dia. 

Walau demikian, aku sudah mengucapkan kalimat terima kasih kepada pak dosen yang ganteng dan cerdas itu. 

Hari-hari berlalu, aku mulai bisa melupakan dilema yang diduakan oleh kekasih. Merasa bersyukur sudah terlepas dari racun cintanya Hendri. Aku merasa berdosa, tanpa sadar pernah menjadi kekasih dari lelaki beristri, aku menjalin hubungan dengan suami orang. 

Bagaimana hancurnya hati istri Hendri, jika dia mengetahui siapa suaminya. Bisa jadi dia akan beranggapan kalau aku adalah Pelakor. Betapa biadatnya kehidupanku selama ini, yang nge-bucin tanpa menggunakan realita dan nalar. Betapa banyak energi, air mata, waktu, pikiran, paket internet dan pulsaku habis untuk dia yang ternyata bukan jodohku, dia lelaki yang sudah memiliki jodoh. Aku hanya cadangan dan juga noda untuknya. 

Alhamdulillah, Allah SWT masih sayang kepadaku, maka dari itu diringankan-Nya hati Hendri untuk mengirimkan kabar keadaan dia Begitulah carut-marut pikiran ini, sembari menuntaskan tugas KKN di desa One-One. Melalui semua ini dengan mendekatkan diri kepada Allah. 

Ya Allah, ampunilah dosa hamba, semoga Hendri bahagia dengan keluarganya, tuntunlah hamba untuk melupakannya dan jauhkanlah hamba dari zina. Ya Allah dekatkanlah hamba dengan jodoh hamba. Hanya ungkapan doa dan harapan ini yang mampu terucap olehku di setiap lima waktu menghadap dan bersujud kepada-Nya 

Berdasarkan kejadian itu, aku berniat tidak akan pernah menjalin hubungan pacaran, dan berharap ada sosok lelaki yang segera menjadikan aku sebagai kekasih halalnya. 

“Laila, Ibu mau memperkenalkanmu dengan seseorang. Yuk kita jumpai dia!” ajak Buk Rosi. Aku mengganguk dan mengikuti langkah kaki Buk Rosi menuju ruang keluarga. Mataku bertatapan dengan matanya Pak Rey. Melemparkan senyuman manis dan rasa hormat kepadanya. 

“Kenapa ada Pak Rey? Apakah Pak Rey orang yang akan diperkenalkan oleh ibu Rosi? Jangan-jangan nilai KKN atas nama Laila Melsyan ... oh tuhanku, semoga saja aku lulus. Atau Pak Rey ingin melapor tentang kasus bahwa aku pernah jadi majenun karena Hendri?” hatiku berkecamuk penuh tanda tanya, tetap berjalan mengikuti langkah Buk Rosi. 

Sedikit kikuk, duduk di samping ibu kos dan berhadapan dengan dosen yang dua bulan lalu pernah menolongku. 

“Laila, kenalin ini Rey, ponakan Ibu.” 

Aku tersenyum dan menjabat tangan Pak Rey. 

“Iya Buk, Ya Allah, rupanya aku diperkenalkan dengan Pak Rey, dosen pembimbing waktu KKN, ternyata dia keponakan yang pernah Ibu ceritakan itu.” 

Buk Rosi dan Pak Rey ketawa mendengar penuturanku, aku juga ikut ketawa. 

“Rey sudah menceritakan kepada Ibu tentang kejadian yang menimpahmu ketika berada di danau, dan ketika itu dia mulai menyimpan perasaannya kepadamu Laila, dia memperhatikanmu di kampus. Dia sangat terkejut ketika Ibu bilang, Ibu mengenal si pemilik buku memori berwarna biru berliris magenta itu dan kalian tinggal di rumah yang sama.” 

Wajah Pak Rey merah menahan malu karena kartunya dibuka oleh sang tante. 

"Cukup Tante, Rey malu!” ucapnya 

“Tidak usah malu, inilah saatnya Laila harus mengetahui semua hal tentangmu. Terserah nantinya bagaimana tanggapan Laila terhadapmu Rey.” 

Ibu Rosi menatap wajahku dengan seksama, aku membalasnya dengan senyuman berperasaan berkecamuk risih. 

“Beberapa hari ini, diam-diam Rey juga memperhatikan aktivitasmu selama di rumah. Rey ingin mengungkapkan perasaannya kepadamu Laila. Silakan kalian lanjutkan pembicaraan ini. Ibu pamit sebentar, mau ambil minum dan makanan untuk kita," ucapan pengantar dari Buk Rosi, dia pun berlalu menuju dapur 

Kami tinggal berdua di ruangan yang tertata rapi, bernuansa romantis dan seni. Beberapa lukisan pemandangan alam daratan tinggi Gayo dan pantai daerah pesisir Aceh terpajang di sepanjang dinding ruang itu. Bunga anggrek ungu dan merah menghiasi dua sudut ruang keluarga di rumah yang sudah dua tahun aku tempati. Akan tetapi, ini merupakan pertama kalinya aku masuk ke ruang keluarga, jika ada keperluan dengan Buk Rosi, biasanya cuma berani menjumpainya di ruang tamu dan dapur. 

Tertegun larut dengan ucapan yang di ucapkan oleh Ibu Rosi. 

"Kenapa Buk Rosi, lama sekali kembali? Sepertinya dia sengaja membiarkan kami berdua di ruangan ini," celetukku dalam hati. 

Aku melarutkan diri dengan memperhatikan keadaan sekitar rumah Buk Rosi. Tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku, tidak tahu bicara apa, semacam mati bakat dan mati gaya kala mata kami berhadapan, aku sangat gugup, dan tidak tahu harus bersikap bagaimana. 

"Apakah aku mulai mencintai Pak Rey?" 

Kata-kata yang diucapkan oleh Buk Rosi, dan sikap santun Pak Rey, membuat aku merasa dihargai dan dibutuhkan oleh tuan rumah tempat menumpang hidup. 

Memperhatikan semua ornamen yang ada pada setiap sisi dari ruang keluarga milik ibu kos, tidak menghiraukan sepasang mata lelaki yang dari tadi berada di depanku, hanya meja mebel yang memisahkan jarak antara kami berdua. Semrawut pikiranku, mulai terurai satu per satu 

Rey menyentuh dan menjabat kedua tanganku, matanya menatap dengan penuh kasih sayang. 

”Laila, buku memorimu, aku yang menyimpannya. Ketika itu, buku itu jatuh ke danau. Aku berhasil mengambilnya dari derasnya arus air danau. Buku itu basah, kamu juga pingsan jadi aku menjaga dan merawat bukumu. Aku banyak mengenalmu dari buku itu. Untuk itu ... maafkan aku." 

Terdiam sesaat, perlahan dia melepaskan tanganku dari genggaman tangannya. 

"Aku seorang perokok berat, usiaku terpaut beberapa tahun darimu. Tolong panggil aku dengan panggilan Bang Rey! Apakah kamu bisa menerimaku dengan segala kelemahan dan kelebihanku?” 

raut wajahnya berubah menjadi sendu dan tatapan matanya penuh harapan. 

Dia kembali menggenggam tanganku. “Laila, aku mencintaimu, dalam diam aku mengagumimu. Kamu adalah wanita yang selama ini aku cari. Aku tidak peduli dengan masa lalumu, aku tidak ingin menjadikanmu sebagai pacarku. Aku ingin, kamu menjadi kekasih halalku, aku akan menuntunmu untuk bisa mencintaiku. Aku melamarmu, bersediakah jadi istriku?” 

Sangat grogi tidak tahu bicara apa, rasa bahagia dan terharu menyelinap di seluruh jiwa ragaku. Air mata bahagia mengalir membasahi hijabku. Hanya mampu mengganguk dan tersenyum bahagia kepadanya. 

Menatap wajah Rey, dibarengi dengan cucuran air mata, aku mengungkapkan perasaan. 

"Aku lebih rela menghirup kabut asap rokokmu, daripada menghirup kabut asap cinta yang bersegi. Bang Rey, aku bersedia menjadi istrimu." 

Rey mencium jemariku dan menyapu air mataku dengan tangannya. “Terima kasih Laila, kita serahkan semua urusan lamaran kepada tante Rosi,” perlahan Rey melepaskan genggaman tangannya. 

Ibu Rosi datang membawa, tiga gelas kopi dan onde-onde. 

"Mari kita nikmati kudapan ini, oh ya sampai di mana pembicaraan kalian, Nak?" 

Tiba-tiba suara bel pintu depan berbunyi, Ibu Rosi membuka pintu. 

“Laila, ada tamu untukmu di teras,” ucapnya denga wajah cemberut. 

Penasaran, aku segera menuju teras. Ternyata tamuku adalah Hendri. Dia duduk di kursi teras memegang sekuntum bunga mawar merah, sekotak cokelat, dan sebuah kotak warna merah berbentuk hati. Emosiku memuncak, tapi aku berusaha tenang dan lebih memilih diam dan berdiri agak menjauh. 

Dia bangun mendekatiku. “Laila,untukmu, terimalah bunga mawar, cincin, dan cokelat ini. Semua itu benda kesukaanmu, cincin ini adalah cincin yang dulu pernah kita tempah untuk melamarmu. Maafkan aku, atas statusku selama ini. Perkara perceraianku, sedang dalam pengurusan pengacara. Aku ingin secepatnya menikahimu. Aku masih pacarmu, tolong kau berikan nomor ponselmu! Aku tidak bisa menghubungimu.“ 

“Laila tidak bisa menerima bunga, cincin, dan cokelat darimu. Dia adalah calon istriku, dalam waktu dekat kami segera menikah. Hari ini aku akan menemui orang tuanya Laila, orang tuaku sedang dalam perjalanan ke sini. Beliau akan melamar Laila menjadi kekasih halalku.” 

Ucapan itu keluar dari mulut Rey, benar-benar kejutan, aku tersanjung dengan pernyataan Rey dan kehadirannya secara tiba-tiba sudah berada di samping kananku. 

Rey menoleh ke arahku dengan senyuman penuh cinta, aku balas senyuman itu. Rey mengandeng tangan kananku. 

"Laila, siapa lelaki ini? Sejak kapan kamu mengenalnya dan kalian julid kepadaku? Aku sangat tahu kamu tidak mencintainya, cintamu hanya untukku. Beri alasan, kenapa kamu lakukan hal ini kepadaku!" ujar Hendri dengan wajah memerah penuh amarah dan kecewa. 

"Dia calon suamiku, beberapa menit yang lalu dia melamarku. LDR dan jeda yang kau suguhkan, sejak itu aku mengenalnya. Perbuatanmu selama ini nyaris hampir merenggut nyawaku, dia menyelamatkanku dari racunmu. Aku akan belajar mencintainya dan aku sudah lama melupakanmu. Tanya kepada dirimu kenapa aku melakukan hal ini? Perkawinan bukan mainan, rujuklah dengan istrimu. Maaf aku akan segera menikah dengan dia," tanpa deraian air mata, aku mengucapkannya dengan tegas. 

Suara klakson bersahutan dari tiga buah mobil, membuat aku terkejut. Rey segera membuka pintu pagar, satu-satu penumpang dari mobil itu ke luar. Mataku menangkap beberapa orang yang aku kenal, Rey memeluk dan mencium Pak Kecik dan Ibu Kecik desa tempat aku KKN. 

Batinku bicara, "Ya Allah, ada apa dengan hari ini? Aku berhadapan dengan berbagai pertemuan dan pernyataan yang tidak terduga. Siapakah mereka ini?" 

Aku ikut nimbrung dengan Buk Rosi, menyambut kedatangan rombongan Pak Kecik. 

Dari keramaian rombongan dengan baju mereka yang warna warni, aku melihat sosok familier. Dia tersenyum dan aku membalas senyuman itu dan merangkulnya. Kami berpelukan dan dia berbisik, "Rey, adalah putra tunggal kami. Kami sangat bahagia, dia memilihmu untuk menjadi istrinya. Ibu Rosi adalah Adik Iparku." 

Dengan seketika itu juga, badanku dingin. Menyembunyikan denyut jantungku yang seakan mau copot mendengar ungkapan dari ibu kecik yang merupakan induk semangku pada saat KKN di Takengon, aku berusaha tersenyum hangat. 

"Selamat datang Buk, terima kasih." 

Rey memberi isyarat kepadaku, kami menjumpai Hendri yang masih duduk di kursi teras, dia dari tadi menonton apa yang kami lakukan. Air mata dia berlinang wajahnya pucat 

“Mata dan hatimu sudah melihat keluargaku sedang bersiap untuk melakukan perjalan ke rumah orang tuanya Laila di Blang Pidie. Jangan ganggu hidup Laila, tidak ada yang perlu dibicarakan, silakan pergi dari rumah kami!” ujar Rey pada Hendri. 

Bener Meriah, 04/07/2020 

Untuk Melihat Cerita Sebelumnya Kunjungi


Biodata:
Penulis bernama Lasma Farida, seorang mahasiswi pascasarjana IAIN Lhoksumawe dan berprofesi sebagai seorang guru IPA MTsN Bener Meriah. Sekarang juga sedang fokus dengan dunia menulis (cerpen, novel, cerita anak, dan puisi). Karya solonya adalah:
1. Cut Nyak Lahore (novel inspiratif)
2. Kita Kata Burni Telong dari Bale Redelong (151 puisi dan qoutes)
3. Sapu Lidi dan Pendekar Bermasker Hitam (15 cerita perjuangan dan pertualangan anak di kaki gunung berapi Burni Telong)
4. Mata Air Bukan Air Mata (22 kumpulan Cerpen daerah dan nasional)
5. Tentang Sejuta Rasa (53 Puisi Pendidilan dan alam semesta)