Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

HINDARILAH MALAS

Jumat, 10 Juli 2020 | Juli 10, 2020 WIB Last Updated 2020-07-10T04:00:31Z


Oleh : Johansyah
Dalam sebuah tulisan di lini masa facebooknya bertajuk ‘Malas: Sumber Penyakit’, kanda Dr. Joni menguraikan tentang sikap malas yang dampak buruknya bagi seseorang. Pernyataan beliau yang paling menarik adalah pada paragraf akhir ulasannya, yang kurang lebih saya pahami bahwa sifat malas itu dapat memicu orang untuk melakukan perbuatan buruk lainnya seperti berbohong dan kurang menghargai diri sendiri maupun orang lain. 


Apa yang saya pahami dari pernyataan ini, setiap perilaku manusia sifatnya berantai. Perilaku baik akan berkelindan dengan kebaikan lainnya. Demikian halnya perilaku buruk yang juga berantan dengan perilaku buruk lainnya. Seperti dalam uraian tulisan beliau, bahwa orang yang malas itu akan mencari banyak alasan ketika diminta untuk melakukan sesuatu; kurang enak badang, peralatan tidak memadai, lupa, dan alasan-alasan lainnya. Padahal alasan sebenarnya dia memang malas untuk melakukannya. 

Dalam sejarah penyebaran dakwah Islam sebagaimana yang dilakukan oleh para rasul, kita menemukan berbagai cerita dalam al-Qur’an yang menggambarkan berbagai kaum yang menolak kebenaran. Mereka mencari beragama alasan untuk menolak kebenaran meskipun keinginan mereka sudah dipenuhi oleh Allah Swt. 

Salah satunya kita dapat perhatikan kisah nabi Musa dengan bani Israil, sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, surah al-baqarah ayat 57-60; “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu ‘manna’ dan ‘salwa’. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: ‘Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: ‘Bebaskanlah kami dari dosa’, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik’. Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik. Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu’. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”. 


Inti dari cerita ayat di atas sebagaimana yang saya temukan di Tafsir al-Misbah karya Quraisy Shihab, bahwa waktu itu bani israil tersesat di sebuah padang pasir dalam perjalan ke Palestina. Di tengah gurun itu meresa kepanasan lalu Allah menurunkan awan yang menungi mereka sehingga merasa nyaman. Lalu Allah pun memberi mukzizat kepada nabi Musa as. Dengan memukul tongkatnya ke batu, muncullah 12 mata air sebagai pengobat rasa haus bagi bani Israil. Dengan Rahmat-Nya mereka hidup tenang di Padang sahara bernama Tih. 

Mereka tidak saja dianugerahi kenikmatan awan dan air, Allah Swt kemudian menganugerahi mereka manna dan salwa. Manna adalah buah yang lezat dan manis seperti madu, buanya berwana cantik. Sedangkan salwa adalah sejenis burung puyuh yang dagingnya sangat lezat dan rapuh. Enak untuk dimakan. Burung ini diperintahkan Allah Swt untuk terbang rendah sehingga mudah bagi bani Israil untuk menangkapnya. 

Tapi dasar bani Israil waktu itu, dengan nikmat dan karunia Allah yang begitu besar, mereka bukan bersyukur tapi malah membangkang. Mereka beralasan bahwa apa yang di berikan Tuhan musa belum cukup. Mereka mengatakan bosan dengan manna dan salwa, menginginkan makanan yang lain. Mereka pun meminta kepada Musa agar bermohon pada Tuhan untuk mengeluarkan dari bumi berupa sayuran, tumbuh-tumbuhan, bawang putih, kacang adas, timun, dan bawang merah. Sebelumnya mereka juga mengatakan baru beriman kalau Tuhan nabi musa menampakkan diri secara terang-terangan. 

Intinya, atas keengganan dan gengsi untuk beriman, mereka mencari beragam alasan. Meskipun Allah Swt telah menunjukkan tanda-tanda kebesarannya lewat nabi Musa sa, bani Israil tetap saja ngeles tidak mau beriman. Alasan-alasan yang mereka ungkapkan sungguh bukan merupakan alasan utama kenapa tidak beriman, melainkan keengganan dan tertutupnya hati untuk tunduk kepada Allah Swt. 

Dalam aktivitas keseharian, keengganan dan kemalasan ini selalu berdampingan, dan bisa dikata menjadi satu kesatuan. Ketika kita enggan untuk menolong orang susah. Sesungguhnya itu berkaitan dengan kondisi batin yang menolak kebenaran. Celakanya, keenganan menolong itu kita tutupi dengan berbagai alasan. Nanti kalau sudah banyak uang terkumpul, dia tidak pantas ditolong kerena masih bisa berusaha, banyak sekali keperluan lain yang lebih prioritas, dan alasan-alasan lainnya yang kita jadikan pembelaan diri. Secara tidak langsung kita belajar mengarang kebohongan demi kebohongan sebagaimana digambarkan oleh kanda Dr. Joni dalam tulisannya. 

Sifat malas juga pada akhirnya berujung pada menyalahkan atau mengkambing hitamkan orang lain. Minsalnya ketika kita bertanya pada mahasiswa; kenapa tugasnya tidak siap? Lalu dia jawab; buku saya dipinjam teman pak, padahal bahan rujukan banyak yang ada di sana. Oleh sebab itu tugas saya tidak siap’. Padahal buku yang dipinjam itu tidak semuanya berkaitan dengan tugas yang dibuat, dan masih banyak buku yang lain untuk dijadikan referensi. Namun begitulah, bukan bahan sebanarnya yang minim, tapi kemauannya untuk melakukan itu memang rendah. 

Rasa malas juga pada akhirnya membuang peluang dan kepercayaan orang lain kepada kita. Bisa jadi pada waktu tertentu orang menguji keseriusan kita dalam mengerjakan sebuah pekerjaan. Dalam jangka waktu yang ditentukan apakah kita mampu menyiapkan, bahkan sebelum batas waktu yang ditetapkan. Ataukah kita buat alasan kenapa tidak dapat diselesaikan tepat waktu? Kalau sekali beralasan mungkin orang dapat menerimanya. Namun kalau setiap pekerjaan lambat dilakukan dengan berbagai alasan, akhirnya orang akan hilang kepercayaan. 

Jika orang tidak lagi percaya terhadap pekerjaan yang kita lakukan, itu artinya kita membuang kesempatan dan peluang. Artinya juga kita membuang rejeki, baik materi maupun non materi. Rejeki materi bisa saja uang dan lain-lainnya. Tapi yang lebih penting adalah rejeki non materi; orang menilai kita baik, disiplin, jujur, berkualitas, senantiasa mendo’akan yang terbaik untuk kita, menambah teman dan keluarga, dan nikmat non materi lainnya. Oleh sebab itu, jangan sering mengarang alasan yang pada hakikatnya didasari oleh rasa malas. Semoga kita bukan termasuk pada orang-orang yang berkarakter seperti ini. Amin ya rabbal alamin. 

*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah.