Oleh:
Fahmul Haqqi
Hakhen anak dari Ibu Katak si kodok loncat, tinggal di Kampung Padang Rumput Hijau. bersebelahan dengan kampung Sawah Ladang tempat tinggalnya Kintis si semut yang manis. Bersama mereka di padang rumput ini juga tinggal Oci anak Ibu Belalang, Kalang Memang si kupu-kupu yang cantik, dan Manuk si burung yang suka bernyanyi. Semua masyarakat Padang Rumput dan Sawah Ladang ini, hidup rukun damai, akan tetapi pada suatu ketika di masa musim panas terjadi kekeringan. Sehingga menyebabkan kekurangan makanan dan sulit untuk mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Ibu Katak dan Ibu Belalang adalah tokoh masyarakat di kampung ini. Mereka sangat mengkhawatirkan keadaan masyarakatnya, maka kedua ibu itu mengumpulkan seluruh anggota masyarakatnya.
“Assalamualaikum, saudaraku semuanya. Mari kita pikirkan bagaimana caranya untuk mengembalikan kehijauan dan kemakmuran di lapangan rumput ini. Tolong berusaha memikirkan jalan keluar agar kita bisa bertahan dalam musim panas ini!” seru Ibu Belalang.
“Mari kita berdoa kepada Allah, berusaha sekuat tenaga, dan pantang menyerah. Tolong berhemat dan saling berbagi makanan dan minuman! Jangan sampai keadaan kita saat ini sedang sulit terus dirumitkan dengan tidak mau bersatu,” pinta Ibu Katak si kodok loncat.
Semua masyarakat yang hadir pada pertemuan itu, memulai usahanya, agar kampung mereka kembali hijau dan makmur. Hakhen yang bertubuh gendut, hanya bisa loncat dan tidak bisa terbang sehingga dia sering diejek oleh kawan-kawannya. Walau demikian dia juga berusaha untuk melakukan hal yang terbaik. Hakhen dengan tubuhnya yang gendut itu setiap hari menggali tanah yang kering dengan kakinya dan alat seadanya.
“Lihat tuh, si Hakhen macam orang gila saja kerjaannya,” kata Manuk si burung yang sedang bertender di ranting pohon yang kering. Dia terus bernyanyi, “Tri li li ... tri la la ... Hakhen si gendut gila, kerjamu itu sia-sia tri la la ... tri lili.”
Suara nyanyin dengan lirik menyindir Hakhen di dengar oleh warga lain yang sedang bertengger di pohon yang sama dengan si Manuk. Kupu-kupu yang sedang istirahat dari kelelahan mencari serbuk sari juga ikut angkat bicara. “Kemaren aku tanya, untuk apa dia mengorek tanah itu, katanya untuk membuat kolam. Biar waktu hujan nanti bisa untuk menampung hujan, egitu katanya. Pekerjaan yang melelahkan dan bubuh diri, tuh, Hakhen!” Sindir Kalang Memang yang bertubuh cantik dan tidak suka kerja keras.
“Kalian bicara, apa coba? Bantulah anak Ibu Katak itu, jika tidak bisa membantu tolong jangan mengejek dan mencaci apa susahnya sih?” ujar si Oci anak Ibu Belalang.
Hakhen mendengar percakapan para tetangganya itu, dia tidak peduli dia terus mengorek tanah dengan kakinya dan tangannya yang masih bisa bisa disebut kaki. Sekali-kali dia istirahat, dalam istirahatnya dia terus berdoa.
“Ya Allah, Ya rabi Tuhan kami. Turunkanlah hujan, aku dan saudara-saudaraku merindukan mata air. Jangan sampai air mata kami kering karena rindukan hujan-Mu. Pepohonan dan rumput di sini juga membutuhkan mata air dari langit-Mu.”
Menjelang senja Hakhen pulang ke rumahnya. “Ada apa denganmu anakku? Apakah hari ini kau masih diejek juga oleh mereka?”
“Iya, Buk. Walau demikian, pantang bagiku menyerah. Aku percaya ini ujian Allah, kita wajib berusaha dan berdoa. Pada waktunya nanti akan dikabulkan oleh Allah.”
Ibu Katak tersenyum bahagia dan memeluk putranya. “Terima kasih, Nak.”
Keesokan harinya Hakhen menemani ibundanya mencari nyamuk dan serangga, tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Mereka terus berusaha hingga tanpa sadar, mereka sudah memasuki wilayah kampung Sawah Ladang. Hakhen melihat Kintis si semut manis mau diinjak oleh kerbau. Dengan secepatnya dia melompat untuk menyelamatkan Kintis itu.
“Lain kali lebih hati-hati ya teman.”
“Iya, terima kasih Hakhen. Aku kemaren membencimu karena mendengar ocehan dari orang di kampungmu. Aku percaya saja dengan pernyataan mereka, tanpa pernah mau tahu tentangmu. Ternyata kau sama dengan ibundamu yang suka menolong. Kenapa ke sini?”
“Kami sedang mencari makanan, terus kesasar ke daerahmu ini.”
“Kalau begitu, mari ikut denganku, di sawah sana ada ular, burung elang dan tikus yang mati. Kadang bisa kalian bawa pulang sebagai bekal dalam hadapi masa kemarau.”
Ibu dan anak itu pergi mengikuti langkah kaki si Kintis, jalan mereka agat lambat karena si Kintis sepanjang jalan bersalaman dan berbagi informasi sama sesama mereka sebangsa semut. Hakhen senang sekali melihat kehidupan si kintis dengan keluarga besarnya. Sampailah mereka ke lokasi yang dimaksud. Benar apa yang disampaikan oleh Kintis bahwa, di sawah yang kering kerontah dan tanahnya retak-retak itu cukup banyak makanan. Setelah makan secukupnya, mereka mintak izin membawa sedikit makanan untuk dibawa pulang.
“Ini bawalah yang banyak, kalian berdua membutuhkan makanan yang cukup untuk membuat kolam penampungan air hujan. Aku yakin usaha yang sedang kau lakukan itu Hakhen sangat besar manfaatnya untuk mehijaukan kembali kampung Padang Rumput dan Sawah Ladang ini. Kami besok akan ke sana untuk membantumu,” ucap Kintis.
Hakhen membagi makanan yang dibawanya dari kampung sebelah kepada tetangga kiri kanannya. Tidak terkecuali si Manuk, dia mendatanginya. “Terima kasih, kami kurang mau berusaha mencari makanan dan minuman hanya menunggu di kampung kita ini. Padahal kami bisa terbang.Aku malu kepadamu Hakhen,” ucap Manuk dengan penuh penyesalan.
Keesokan harinya Hakhen melanjutkan pekerjaannya untuk membuat tempat penampungan air. Sedang membuang tanah ke dekat pohon bunga yang sedang layu, lalu tiba-tiba datang Kalang Kemang. Seperti biasa, dia masih menertawakan pekerjaan Hakhen. Tertawaan itu dibalas dengan senyum oleh Hakhen. Ketika dia meihat bahwa Ibu Belalang dan Ibu Katak juga ada di sana dengan Oci yang sedang membantu mengorek tanah di antara rerumputan yang kering itu. Kalang Kemang terbang cepat-cepat, dia tidak melihat bahwa ada sesuatu yang berbahaya baginya. Kalang kemang si kupu-kupu yang merasa hebat itu, melekat tidak berdaya di sarang laba-laba, dia kehilangan tenaga untuk melepaskan diri dari perangkat hewan itu. Hakhen meloncat ingin membantunya, tapi terlambat seekor induk laba-laba memakan Kalang Kemang yang sudah tidak berdaya itu.
“Sudahlah tidak usah dibantu, itu naasnya. Maafkan aku dan Kalang Kemang selama ini sangat membencimu. Kami menganggap kau lemah. Kau tidak bisa terbang dan bentukmu sangat jelek, jadi kami merasa malu berteman denganmu. Makanya kami mengejekmu, padahal semua kita punya takdir tersendiri. Izinkan aku ikut membantumu.”
“Baiklah sobat, aku memaafkan kalian. Mari ke sana!” Hakhen menunjuk ke arah kerumunan warga Padang Rumput.
Sesampai mereka ke ke tempat yang dituju, betapa terkejut kedua sahabat itu. Sebuah kolam besar lengkap dengan parit untuk aliran air ke kampung sebelah. Sudah siap dikerjakan oleh seluruh warga Padang rumput dan kawanan Kintis dari kampung Sawah Ladang.
“Alhamdulillah, terima kasih saudaraku. Mari ikut berdoa, semoga hujan segera diturunkan oleh Allah SWT kepada kita,” ucap Hakhen dengan penuh bahagia.
Tidak lama setelah itu, langit mendung awan gelap gulita. Ibu Katak berucap, “Alhamdulillah, sudah ada pertanda hujan datang. Mari kita pulang.”
Hujan turun dengan lebatnya, kolam itu terisi air, dari setiap parit air itu mengalir ke seluruh kampung Padang Rumput dan Sawah Ladang. Seminggu berikutnya, tanaman sudah kembali subur dan seluruh warga dua kampung itu sampai sekarang makmur sentosa. Mereka sudah mempunyai tempat penampungan air, jika musim hujan tidak kebanjiran dan jika kemarau mereka tidak lagi kelaparan dan kehausan karena sulitnya mendapatkan air. Usaha Hakhen yang semula dicaci sekarang jadi dipuji.
Bener Meriah, 06/06/2020