Oleh : Lasma Farida (Inen Melani)
Diman mengendarai Honda Astrea Grand butut, bersiul bersenandung riang gembira berlagu burung kutilang. Seketika, wajahnya menjadi pucat pasi melewati sebuah rumah.
Gedebug..
“Ada yang jatuh. Mari kita tolong!” seru Levia kepada teman-temannya.
“Aduh, malunya kenapa meski terjatuh di sini? Bagaimana jika Yayang melihatku? Harus gerak cepat,” Diman bicara sendiri sembari tertatih bangun menuju kendaraan kesayangannya.
Belum sempat ambil langkah seribu, dia sudah dikerumuni oleh warga yang sedang melakukan gotong royong persiapan pernikahan putrinya Pak Gecik. Matanya menangkap wajah Yayang, seketika itu dia menjatuhkan diri kembali ke aspal.
“Owalah, kau yang terjatuh,” ucap Levia dengan kesal, wajah manisnya seketika berubah masam berkerut bak umpama jeruk purut.
“Diman rupanya yang tergeletak. Mari kita antar ke rumahnya! Mak Ana lagi masak di belakang, tolong kabarin dia!” ucap Pak Gecik Wenara.
Setelah warga pulang, Diman segera bangun dari ranjang, dia menemui Emak di dapur. Duduk manis di meja makan menunggu hidangan makan malam bersama segelas kopi panas. Emak menghidangkan makan malam dengan lauk ikan asin dan sayur nangka. Setelah Diman menuntaskan semua hidangan itu, Emak menatap dan mengajaknya bicara.
“Emak tahu kau bersandiwara pingsan. Lagumu itu lagu lama, Emak paham kenapa kau terjatuh,” ungkap Emak menyembunyikan kesedihan hatinya dengan mengalihkan pandangan ke langit-langit rumah yang terbuat dari papan pinus.
“Kau dari orok sono, sudah tergila-gila sama Levia putri Wenara. Sebulan sudah, Emak melihat kalian tidak akur. Kau menghilang, tapi meninggalkan jejak selembar kertas di meja makan ini. Alhamdulillah, kini sudah kembali, tepat saat ... tapi, kenapa kau terjatuh di depan rumahnya si Wenara?” ucapnya lirih sembari menatap meja kayu di hadapannya.
“Aku tidak sadar entah menginjak pedal rem secara mendadak atau full gas? Ada kayu melintang Mak. Tetangga kita mau buat hajatan apa Mak?” tanya Diman dengan antusias.
Emak Ana tersenyum, menatap wajah Diman, terdiam mencari jawaban untuk putra semata wayangnya. Air matanya mengalir, rasa rindu kepada almarhum suaminya semakin mendera. Pikirannya menerawang ke masa muda. “Bang Dimin andai kau masih ada Sayang oh Wenara kau ....”
“Emak bicara apa???” tukas Diman.
“Emak sebut nama Ayahku dan nama Ayahnya Levia, ada apa Mak?”
“Emak keceplosan, mengigau. Lupakan!” sela Emak menyeka air mata dengan selendangnya.
“Berulang kali kudengar Emak menyebut nama beliau, baik ketika molor dan melek seperti ini. Tolong jangan ada rahasia antara kita!” pintah Diman, bersimpuh di kaki Emak.
“Sejak tadi Emak mau cerita, tapi kau tidak meminum kopi buatan Emak, minum tuh kopi sekalian ampasnya!!! Buatkan kopi pahit untuk Emak!!!!!!”sergah Emak bersuara tegas, Diman tergopoh bangun, menjalankan perintah Emak.
“Lusa Levia akan menikah dengan Birin sahabatmu. Dua minggu lalu, tanpa sepengetahuanmu Emak melamar Levia untuk jadi menantu ... Wenara dan istrinya menolak lamaran kita, meremehkan dan mentertawakan Emakmu. Emak lihat Levia mencintai si Birin anak Pak Gecik kampung sebelah, jadi Emak berbesar hati menerima penolakan mereka atas lamaran ....”
Air mata Emak mengalir deras, kalimat Emak terputus. Setelah menyeka air matanya dan meminum kopi buatan Diman. “Dua puluh enam tahun yang lalu, cintanya Emak mengantarkan pilihan ke Dimin Ayahmu bukan ke Wenara Ayahnya si Levia itu. Entah apa alasan Ayahmu, memilih bertetangga dengan sahabatnya Wenara? Sementara dia tahu kalau sahabatnya juga mencintai wanita yang dicintainya. Apa yang Emak takutkan terjadi, makanya Emak malu ketika kau pakai gaya jatuh bebas di depan Levia yang sedang pasang inai di pelaminan dan kau pun dipikul oleh Wenara ke rumah ini,” ucap Emak geram.
“Terima kasih Mak, Al-Fatihah untuk Ayah.”
Diman berjalan menuju jendela, dia mencium wewangian kembang tujuh rupa dari kamar Levia, air matanya menetes. Tanpa disadari Emak memperhatikannya, hati wanita itu tambah teriris luka.
“Tidak elok, mencuri aroma kembang dari luluran calon pengantin orang. Lebih baik kita mencium aroma rendang dari sini!” ujar Emak tersenyum tawar.
“Kau ganteng dan tubuhmu atletis, banyak wanita mengejarmu, jangan biarkan mutiara muram membuatmu kandas! Ikhlaskan cahaya itu pergi! Tapi kau masih bisa melihat kemilaunya. Ini buku tabungan keluarga, perbaiki Honda Astrea-mu dan beli kendaraan baru! Emak tidak mau dikalahin dan diremehkan oleh Wenara dan istrinya.”
***
“Diman... bangun!!!!!”
“Tolonglah tetangga kita! Angin gunung menumbangkan tenda biru, panggung merah dan pelaminan pink. Semua isi belanga tumpah tertindih tenda. Levia sesak napas, tertimpah tumpukan baju perlengkapan manten.”
“Mak, Diman ngantuk berat, mata sulit terbuka, dan badan lemas,” ucap Diman melanjutkan tidurnya.
Buurrr...
“Apa-apaan ini Mak? Kenapa tenda tetangga yang rebah oleh angin, Diman mendapatkan banjir oleh Emak?” tanyanya keheranan.
“Paok kali pun kau, mikir!!!! Apa yang harus dilakukan? Hajatan mereka ditunda, kau culiklah si Levia itu atau temuilah dia di Puskesmas! Cinta itu butuh usaha bukan pasrah. Janur kuning yang melengkung, kau setrikakan!” ujar Emak dengan kesal.
“Diman berusaha Mak, semalam ke alur Cempege Gunung Burni Telong. Diman pulang Emak sudah terlelap, di dapur tidak ada makanan dan minuman. Diman lapar dan kehausan jadi air sisa ....”
“Tadi ada minuman segar di meja, Emak habiskan. Pesankan lagi!” sela Emak.
“Apa Mak???”
Diman panik dan teringat sesuatu, dia memuntahkan isi perutnya. Mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya. Memakai wewangian minyak siyonyong, berkemeja biru corak bunga-bunga, menuju ke puskesmas. Tangan kanannya memegang seikat bunga mawar, tangan kiri dengan sekeranjang buah pinang, buah kesemek, dan daun sirih.
“Assalamualaikum, Levia Sayang.”
“Abang datang, ini bunga kesukaanmu dan sekeranjang hantaran, izinkan Abang menggaetmu kembalilah jadi kekasihku, lupakan Birin! Cepat sembuh, lihat ke jalan sana! Itu mobil manten kita,” ucap Diman sembari menunjuk ke jendela samping kanan sal pembaringan Levia.
Levia tersenyum menatap Diman. “Terima kasih, maafkan Levia. Birin dan Abang adalah sahabat Lev. Berkat angin gunung yang menerpa persiapan pernikahanku dengan Birin, membuat aku tersadar dengan persahabatan kita. Mobilmu bagus, mobil calon suami Levia tuh berjejer di parkiran, lihat ke jendela samping kirimu Bang!” ungkap Levia.
Mata Diman terbelalak melihat mobil mewah memenuhi areal parkiran Puskesmas Kin Ine. Ada orang berbaju batik membawa hantaran lamaran pada setiap mobil itu. Tiba-tiba pintu kamar tempat Levia dirawat terbuka dan muncul orang tua Levia bersama seorang lelaki seusia Pak Gecik Wenara, dia berjas hitam, gagah dan berwibawa.
“O--oo-mm,” ucap Diman terbata, lari menuju ke mobilnya.
Androidnya berbunyi nada panggilan masuk, “Halo, aku Om Cempegemu. Berkat kecerobohanmu meminum air sisa siraman dari tiga titik utama di rumah gebetanmu, maka dari itu, gebetanmu Levia sudah tergila-gila kepada duda tua beranak tujuh. Aku suka padanya, cintanya Levia kepadaku abadi karena penawarnya sudah kau minum! Terima kasih kawan, hahaha ....”
Suara gelak tawa itu sangat mengerikan, Diman segera off-kan panggilan dari lelaki yang sudah memberinya sebotol air untuk disiramkan ke pelaminan, kamar pengantin, dan dapur umum rumahnya Levia, sayangnya dia melanggar pantangan dari air tersebut. Bergegas mengirim pesan whatsApp untuk dua wanita yang dicintainya.
[Maafkan Diman, Mak]
[Levia, maafkan Abang]
Ping
Diman membaca chat, [Terima kasih, Emak dapat brondong. Birin melamar Emak, sekarang kami di KUA. Segera ke sini untuk jadi saksi pada pernikahan Emakmu!”
Bener Meriah, 20 Desember 2019
***
Bionarasi:
Penulis bernama Lasma Farida (Inen Melani) seorang ibu dengan tiga buah hati. Berprofesi sebagai seorang guru IPA pada sebuah madrasah di kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh. Temui dia di FB/IG dengan akun Lasma Farida. Email lasmafarida78@gmail.com