Secangkir kopi mampu menyengat urat-urat jiwa yang bermuara pada segumpal kerinduan. Bagi Lian, oase kerinduan itu adalah The Blue Jeans’ Café. Sebuah coffee shop yang selalu berhasil mengurung para pengunjung selama berjam-jam dalam sebuah ruangan yang nyaman bernuansa biru tosca dengan desain minimalis. Bagai sebuah album foto yang menguak sejuta memori lama, The Blue Jeans’ Cafe senantiasa menyuguhkan rangkaian flash back kehidupannya di masa lalu dan menibakannya kembali pada masa di mana kini ia berpijak.
“Morning!” sapa Lian begitu tubuhnya muncul dari balik pintu masuk berkaca.
Belum ada pengunjung yang datang karena kafe baru akan dibuka setengah jam lagi. Namun Lexy--pemilikkafe--telah memberinya previlledge untuk selalu menjadi orang paling pertama yang menjejakkan kakinya di sini sebelum papan bertuliskan ‘close’ di depan dibalik menjadi ‘open’.
“Hey! You’re back!” sambut pemilik suara bariton yang sudah sangat akrab di telinga Lian. Lelaki itu nampak baru selesai menangani coffee grinder di sebuah meja. “Gimana liburannya?”
“Nice!” sahut Lian ceria seraya menyorong kursi yang berhadapan langsung dengan barisan mesin pembuat kopi. “Kamu harus nambahin Raja Ampat sebagai destinasi wajib yang harus dikunjungi sebelum kamu mati. It’s totally awesome!”
Lexy tertawa seraya meraih sebuah cangkir berwarna putih dari rak. “Latte? As usual?”
Lian menggeleng. “Frappuccino, please.”
“Whoa!” seruan Lexy terdengar seperti sebuah pujian. “Liburan sepertinya udah sukses bikin kamu bersemangat, ya! Jadi Espreso udah enggak ngetren lagi, nih?”
“Forget it!” Lian tergelak saat Lexy kembali menyentil soal Brily, pria yang setahun lalu memutuskan tali kasih mereka di kafe ini.
Lexy adalah saksi ketika Brily meninggalkannya sendirian di meja sudut dengan deraian air mata, menyisakan secangkir Espreso yang nyaris tandas, sama seperti harapannya yang kala itu tergerus oleh luka cinta yang berdarah.
“Seneng bisa liat kamu happy lagi seperti ini.” Lexy menatapnya bangga. Wajah orientalnya yang selalu memancarkan sinar persahabatan membuat pria bertubuh jangkung itu sudah seperti sebuah ikon di kafe ini.
“Life must go on, right?” ucap Lian penuh keyakinan. “Hei! Lagian, atas dasar apa kamu bisa nuduh kalau sekarang aku udah happy? Belum tentu yang terlihat di luar sama dengan di dalam, kan?”
“It’s easy,” tukas pria yang identik dengan apron kulit berwarna gelap sembari menyajikan pesanan Lian dari balik coffee maker. “Suasana hati kamu selalu sama dengan kopi yang kamu pesan. See? Hari ini kamu memesan Frappuccino. Bandingin dengan pesanan kamu setahun lalu. Ingat?”
Lian tersenyum dalam renungan. “Espreso machiato?”
“That’s it, tapi setelah itu kamu tetap datang ke sini untuk mengalahkan trauma patah hati, dan … kamu mulai menyukai Americano.”
“Kan kamu yang ngenalin,” Lian mengingatkan sembari tertawa, “Waktu kamu kasihan ngeliat aku menangis sendirian di sudut situ. Lalu kamu datang menyodorkan secangkir Americano, dan bilang kalau aku harus seperti kopi itu, tenang, sempurna, dan sederhana, karena hanya dengan begitu aku bisa membenahi perasaanku.”
“Dan kamu berhasil,” tandas Lexy tersenyum. “Kamu bukan lagi gadis Espreso machiato yang pahit dan getir, tetapi wanita Americano yang kemudian jatuh cinta pada secangkir Cappuccino. Itu artinya hati kamu mulai diselimuti oleh kehangatan dan kamu sudah mulai bisa melupakan kesedihan, tetapi pada saat yang bersamaan, kamu juga membutuhkan seorang teman untuk membantumu melihat sesuatu dengan logis tanpa melibatkan perasaan lagi.”
Lian menatap Lexy tanpa suara. Namun melalui liukan matanya, tampak jelas mengisyaratkan kekaguman yang kemudian menyadarkannya pada sebuah kebenaran.
“Dan kamulah Cappuccino itu,” ucap Lian, nyaris terdengar seperti sebuah bisikan. “Kamu yang sudah membantu aku melewati semua kesedihan itu. Bahkan, kamu juga yang sudah menemani aku menghadiri pernikahan Brily. Thank’s.”
“My pleasure ….” Lexy menangkupkan telapak tangan kanannya di dada dengan takzim, tetap dengan senyum khasnya yang belakangan menambah satu alasan lagi bagi Lian untuk selalu merindukan The Blue Jeans’ Café.
“Tapi aku masih belum tahu apa yang menyebabkan kamu kemudian beralih pada Latte,” ujar Lexy setelah beberapa saat hanya keheningan yang berbicara di antara mereka.
Lian mengangkat bahu. “I don’t know. Mungkin karena latte art-nya. Barangkali juga itu hanya bagian dari sebuah proses yang harus aku jalani.”
“Exactly,” tukas Lexy. “Sama seperti sebutir biji kopi yang membutuhkan perjalanan panjang untuk sampai pada sebuah cangkir. Aku rasa itu juga yang akan membuat seseorang jadi memiliki penghargaan pada kerja keras dan proses yang tidak sebentar.”
“Apa itu adalah alasan hingga akhirnya kamu memutuskan untuk menjadi seorang barista?” Lian menyelidik.
Lexy berpikir sejenak. “Mungkin. I just love coffee, that’s all.”
“Oke.” Lian memperbaiki posisi duduknya. “Aku jadi ingin tahu, kopi seperti apa yang terbaik menurut seorang barista profesional seperti kamu?”
“Nothing,” jawab Lexy lugas. “Setiap kopi memiliki cita rasa dan kenikmatan yang berbeda-beda. Mereka unik. Sama seperti kehidupan ini. Bisa jadi masalah orang lain terlihat begitu mudah bagi kita, tetapi bagi yang menjalaninya mungkin terasa begitu berat. Begitu juga sebaliknya. Semua kembali pada sudut pandang dan cara menjalaninya saja, ‘kan?”
Lian tercenung. “I’m impressed,” ujarnya. “So, one more question, Sir.”
Lexy tertawa melihat cara Lian bertanya. “Please, Ma’am.”
“Aku baru sadar kalau sampai sekarang aku belum tahu kopi kesukaan kamu?” tanya Lian seraya menyibak rambut hitamnya yang panjang.
Lexy menghela napas, lalu memajukan tubuhnya dari seberang meja semen yang dingin, membuat jarak wajah mereka jadi berdekatan.
“Mocha,” bisik Lexy, tapi terdengar begitu jelas di telinga Lian. “I love Mocha.”
“Mocha?” ulang Lian sambil tertawa guna meredakan debar jantungnya. Semula ia mengira seorang barista seperti Lexy akan menyukai cita rasa kopi yang sedikit berat, seperti Ristretto atau Red Eye. “Memangnya apa yang dikatakan oleh secangkir Mocha?”
“Sesuatu yang menyenangkan dan kemampuan untuk mencintai dengan baik,” ucap Lexy dengan tatapan penuh arti.
“Sama aja,” sergah Lian, lalu mengarahkan pandangan pada segelas Frappucino di depannya. “Kopi tetaplah kopi. Pahit.”
Lexy menggeleng. “Pahit itu ketika seseorang mencicipi, belum menikmati.”
***
Lian pernah membaca sebuah kutipan yang mengatakan bahwa kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya, karena kita semua sama di hadapan kopi, meskipun ragam cita rasa yang berbeda membuat setiap penikmatnya memiliki ragam pilihan yang berbeda pula. Seperti Brily yang memilih untuk meninggalkannya di hadapan secangkir Espreso yang kemudian membuat Lian berayun dari satu cangkir kopi ke cangkir kopi yang berbeda, hingga akhirnya ia terjebak sendiri dalam deret pilihan yang membingungkan. Entah pada cangkir mana nanti rasa kopinya akan berakhir.
Malam kian merambat. Mata Lian mulai lelah dengan novel di tangannya. Secangkir Latte yang tinggal separuh di depannya telah lama dingin, meski kehadirannya tetap menyisipkan ketenangan dalam hatinya yang tengah merindukan sosok Cappuccino dengan apron kulit berwarna gelapnya yang khas.
Bagi Lian, Lexy adalah sebuah cita rasa yang sempurna, jauh melebihi Perfecto ataupun kopi Tiwus seperti yang pernah dilihatnya di sebuah film nasional yang populer. Secangkir Americano yang setahun lalu disodorkan oleh pria itu saat luka hatinya tengah berdarah, telah menjadi perban yang mampu membuat luka itu kering dan nyaris tak meninggalkan bekas. Salahkah bila kemudian hatinya ingin turut menyesap Mocha yang sama dari cangkir lelaki pemilik sepasang mata teduh itu?
Lian melirik penunjuk waktu yang tergantung di bahu dinding. Pukul sembilan kurang lima, The Blue Jeans’ Café tutup pada pukul sepuluh. Segera, gadis bertubuh mungil itu beranjak dari sofa, kemudian menyambar jaket dan tas selempangnya di sandaran kursi. Buru-buru ia menuju pintu dan terpekik begitu mendapati seseorang yang sudah sedari tadi berdiri di baliknya.
“Ya Tuhan!” Lian segera mengenali sosok itu di tengah keterkejutannya. “Lexy? Kapan kamu datang?”
Pria dengan t-shirt putih yang melekat sempurna di tubuhnya yang tegap itu tampak sedikit salah tingkah. Sesaat kemudian, ia mengangkat sebuah tumbler panjang berwarna khaki di tangannya.
“Aku ….” Lexy menimang benda di tangannya agak ragu. “Tadi kebetulan aku bikin Mocha, tapi ternyata aku membuatnya kebanyakan. Aku pikir, mungkin itu tandanya aku harus berbagi dengan seseorang.”
Bibir Lian seolah terkunci. Gemuruh dalam hatinya seolah memblokade semua perbendaharaan kata yang ingin terucap. Ia begitu takjub menyaksikan kesamaan panggilan hati yang kini mempertemukan mereka di depan pintu rumahnya.
“Tadinya aku mengira kamu sudah tidur,” lanjut Lexy, “jadi aku sedang menimbang untuk menaruhnya di sini dengan meninggalkan pesan. Tapi ternyata kamu ….”
Lian tersenyum kaku. Entah mengapa tiba-tiba ia jadi sedikit gugup. “Enggak apa-apa, kok. Kebetulan aku juga … haus.”
Mereka sama-sama tertawa dalam sikap canggung. Tangan Lian terulur mengambil tumbler di tangan Lexy. Sesaat kemudian matanya tertuju pada secarik kertas note kecil dengan tulisan tangan lelaki berambut ikal itu yang tertempel rapi di bagian bawahnya. Sebuah pesan singkat yang kemudian menyatukan tatapan mereka dalam sebuah isyarat kasih yang telah lama tersimpan dan kini merekah dalam kesatuan hati yang tak lagi dapat terpisahkan.
If, I am your Cappuccino, would you be my Mocha?
--END--
“Di hadapan secangkir kopi, kita menyaksikan pahitnya asmara sambil menyesap manisnya cinta.”
(Dawai, 21 Januari 2020)