Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Aroma Pahit itu Kuhirup

Selasa, 28 Juli 2020 | Juli 28, 2020 WIB Last Updated 2020-07-28T05:32:12Z




Oleh: Karin Razano

Belakangan ini suasana hati Anggun dalam kondisi tidak seperti biasanya. Tiba-tiba saja rasa sedih menyelinap begitu hebat dalam ruangan hatinya. 

“Ya Allah, apakah gerangan yang akan terjadi? Perasaan hati yang tidak seperti biasanya ini hadir menemani pikiran dan ruangan hatiku saat ini,” ucap Anggun lirih dalam doanya.

Sudah tiga hari berturut-turut, Anggun bermunajat di sepertiga malam dalam balutan doa-doa yang melangit pada Sang Pemilik Semesta agar diberikan tuntunan dan petunjuk dari ketidaknyamanan perasaannya. Selama ini hubungan asmara yang dirajut bersama Alan--kekasih hatinya--berjalan dengan baik-baik saja, tanpa ada keributan atau pertengkaran kecil yang sesekali mewarnai hubungan yang mereka bina selama ini. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini perasaan Anggun makin bergemuruh dan bergejolak.

Alan adalah sosok yang sangat manis dan selalu dapat memahami segala hal tentang Anggun. Mereka telah membangun piramida cinta selama 5 tahun. Akan tetapi, hambatan justru datang dari pihak keluarga Alan. Dari awal saat menjalin hubungan, orang tua Alan sudah tidak merestui mereka. Ternyata, Alan telah dijodohkan dengan anak salah satu sahabat ibunya. Namun, Alan dan Anggun terus menjalin hubungan secara diam-diam.

Seperti biasa, Alan dan Anggun menghabiskan malam minggu di Kafe Tulip. Dua cangkir kopi favorit mereka telah tersaji di atas meja, V60 untuk Alan dan Americano latte untuk Anggun. Kedai kopi inilah yang selalu menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka. Namun, malam ini terasa sangat hampa. Tidak ada keceriaan dan senda gurau di antara mereka. 

“Anggun, bisa kita bicara sebentar?” tanya Alan memecah keheningan.

“Ada apa, Sayang? Sepertinya ada hal serius yang ingin kau sampaikan,” jawab Anggun sembari menyeruput Americano.

“Anggun, aku telah melakukan kesalahan dengan berkhianat padamu. Ada sesuatu yang telah kusembunyikan beberapa bulan ini darimu. Maafkan aku, Sayang,” pinta Alan seraya memeluk erat Anggun.

Anggun pun mencoba melepaskan pelukan Alan. “Alan, apa yang terjadi dengan sikapmu saat ini? Aku bingung. Apakah telah terjadi sesuatu pada hubungan cinta kita, Alan?” 

Alan memegang tangan dan menatap tajam wajah Anggun. “Anggun, maafkan aku! Lima tahun cinta yang telah kita torehkan bersama-sama harus kita akhiri juga saat ini. Sebuah kekhilafan dan penghianatan telah aku lakukan dalam beberapa bulan ini. Aku telah menghamili seorang perempuan dan dia adalah calon istri pilihan ibuku. Kejadian itu berlangsung saat acara 25 tahun pernikahan orang tuaku. Keluarga besar kami sama-sama merayakan acaranya di puncak. Malam itu, tiba-tiba saja semua terjadi tanpa terencana. Percayalah Anggun! Semua di luar batas kesadaranku saat itu.”

“Siapa perempuan itu, Alan? Siapa namanya? Apa aku mengenalnya? Sepertinya kau tidak pernah menceritakan padaku tentang perempuan pilihan ibumu itu!” Seketika emosi Anggun meluap.

“Nama perempuan itu adalah … Dini. Aku sangat menyesali atas perbuatan yang telah kulakukan. Aku sangat bersalah pada hubungan cinta kita ini, Anggun,” sesal Alan.

“Alan, kenapa setega itu kau lakukan padaku? Aku sangat kecewa padamu!” Tangan Anggun mencengkeram kuat di kedua lengan Alan. Ia pun tertunduk lesu, terlarut dalam kesedihannya. “Ya Allah, apakah ini jawaban dari doa-doa yang kupanjatkan pada-Mu?”

Perlahan, bulir-bulir bening mulai membasahi wajah Anggun. Isak tangisnya pun mulai pecah. Namun, Alan hanya bisa berdiri terpaku dengan tangan mengepal. 

“Alan, apakah tidak ada cara lain agar piramida cinta yang telah kita bentuk selama 5 tahun ini tetap bertahan? Aku tahu kau telah menodai cinta kita, tapi aku masih ingin bersamamu, Alan!” rengek Anggun.

“Maaf. Sepertinya aku tidak sanggup mempertahankan kebersamaan yang kita semai selama ini. Aku harus bertanggung jawab terhadap kehamilan Dini. Kedua pihak keluarga kami telah mempersiapkan acara pernikahan,” ucap Alan seraya memeluk erat Anggun, “Maafkan aku, Anggun! Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal!”

Berkali-kali, hanya kata maaf yang keluar dari mulut Alan. Kali ini, ia tidak bisa menolak perintah orang tuanya. Anggun berusaha menekan rasa egonya dan berusaha menerima segala keputusan yang dilontarkan oleh Alan.

“Alan, aku sangat kecewa padamu. Kau telah menyembunyikan kebohongan ini. Semua aroma pahit itu telah nyata menghampiriku hingga aku tak bisa mencium aroma pahit lagi. Jika ini adalah caramu untuk membahagiakan orang tuamu, aku akan belajar menerima kenyataan pahit ini. Terima kasih untuk semua kenangan pahit dan indah yang silih berganti sempat menghampiri dan membersamai cinta yang telah kita pupuk. Selamat tinggal, Alan.” Anggun pergi meninggalkan Alan seorang diri, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.

Dengan langkah tergesa, ia mencoba menghentikan sebuah taxi untuk menuju ke rumahnya. Selama perjalanan pulang, pikiran Anggun mencoba menelaah kembali setiap ucapan Alan. Ia tak menyangka bahwa ada kebohongan yang dilakukan oleh kekasih hatinya dalam memoles hubungan cinta mereka.

Siapa yang bisa menebak setiap ujian yang hadir menerpa jika tidak karena izin-Nya. Akhirnya, sang waktulah yang membuka tabir cinta mereka. Luka itu telah menikam begitu tajam pada relung hati Anggun. Hatinya hancur seakan meneguk ampas pahit dari perjalanan cinta mereka. Kini, kenangan akan Kafe Tulip, secangkir kopi V60 dan Americano latte tak lagi terasa nikmat baginya.

Takdir telah menghampirinya. Ini adalah salah satu cara semesta memberitahu jawaban atas semua pertanyaan dan ketidaknyaman hati pada gadis berlesung pipi ini. Mau tidak mau dan terima ataupun tidak, segala sesuatu yang telah terjadi adalah suatu kebaikan di waktu yang tepat menurut-Nya. Meskipun itu pahit, pada akhirnya semua akan terlewati. 

Semua kepahitan itu akan ada masa expired-nya dan bersandar pada tempat yang telah ditentukan oleh Sang Maha Semesta. Terkadang, luka yang begitu tajam merupakan pelajaran yang sangat berharga agar kita senantiasa terus belajar dari setiap ujian yang menerpa dan lebih menguatkan pondasi perasaan hati kita untuk terus melangkah pada pos-pos kehidupan berikutnya.

Semua rasa manis dan pahit akan terus dapat kita nikmati, sepanjang hidup masih terus bergulir. Semua ada fase dan masanya. Hanya waktu yang berperan dalam menentukan kapan ujian itu datang dan pergi. Atas segala hal, baik ataupun buruknya atas seizin-Nya.”
(Bandung, 10 Februari 2020)