Oleh: Lasma Farida
[Desember berkabut dan uwa-uwa, hasil panen kopi menipis. Ine sudah transfer uang bulananmu untuk bulan ini dan bulan berikutnya. Tolong kendalikan pengeluaranmu!]
[Jika memungkinkan, pulanglah! Kedai kopi dan kebun sangat membutuhkanmu.]
Dua pesan via WhatsApp dari Ine, berulang kali kubaca. Pikiran menerawang ke kota kelahiranku,menelan air mata karena tidak ingin terlihat lemah di depan lelaki yang memandang sinis ke arahku. Wajah Ine mengitari bayangan.
Ama ... andai kau setia, pasti Ine tidak menjalani pekatnya kepahitan hidup seperti segelas kopi pagi tanpa gula kesukaanmu itu dan aku tidak dihina olehnya. Serasa bagaikan saat kau menumpahkan ampas kopi dari gelas minumanmu ke wajah Ine.Gumanku dalam hatisembari memandang rinai hujan dan aktivitas kampus ekonomi lewat jendela kafe bernuansa ungu.
Akusangat merindukan Ine dan Daniel--adikku.Ineseorangpecinta hujan dan penikmat kopi, akusangatmengaguminya. Saat uwa-uwa, cuacaakan sangat dingin dan kabut tebal disertai angin.
“Kekuasaan Allah pada musim dingin banyak ikan depik. Makanlah depik dan minumlah kopi manis ini, Anakku! Insyaallah tubuhmu akan hangat,” ucap Ine kala itu.
Aku tahu, saat itu Ine lagi berusaha melawan dingin dan memberikan kehangatan kepada kami. Tak jarang kudapatkan Ine menyembunyikan tangisannya. Emosi Ama membara, dia adalah Ayah yang doyan kawin cerai, sering membuat aku dan Daniel terbakar sulutan emosinya. Ine meredakan kepanasan itu dengan dekapan dan racikan senyumannya yang penuh misteri bagiku.
“Harus kuucapkan sekali lagi kepadamu, hubungan kita putus! Aku tidak ingin menikahi wanita yang asal muasalnya berdarah hitam yang diwariskan oleh bapakmu yang bejat. Maaf, keluargaku berdarah putih, harmonis dan terpelajar. Sangat tidak memungkinkan jika kehitaman darahmu disatukan dengan keputihan darah keluargaku. Aku khawatir nuansa hitam itu akan melenyapkan putihnya garis keturunan kami.”
Kalimat itu kembali kudengar dengan redaksi yang berbeda dengan tema yang sama, diungkapkan oleh orang dan tempat yang sama pula, hanya di jeda oleh waktu. Aku tersadarlagi berada di sini, bersama lelaki yang beberapa menit lalu mengikrarkan kalimat putus danmenghina keutuhan rumah tangga orang tuaku. Di mana lontaran kata yang diucapkan olehnya dibarengi dengan pesan seluler dari Ine.
Emosiku membara, berusaha tetaptenang dengan menelan bait-bait ampas kata yang dilucutkan oleh Wandy dan meneguk segelas air putih untuk menetralkan jiwa yang hangus terbakar cinta. Berpaling dari jendeladan kutatap Wandy.
“Baiklah, jika itu keputusanmu. Biarlah aku melarut bak air dalam hitam dan putih yang kau gadang-gadangkan itu. Aku mengerti! Akuadalahnoda bagi kau dan keluargamu,” ucapku seraya membuka tas.
“Ini harga kopi yang kuminum, sisanya untuk harga minuman dan makananku yang pernah kau bayar selama dua tahun kebersamaan kita. Jika kurang, kabarinsaja!” ujarku dengan menelan air mata.
“Farida Lukman! Hujannya lebat sekali dan sebentar lagi malam, kontrakanmu jugajauh. Beri aku kesempatan untuk terakhir kalinya mengantarmu, Sayang!”
Aku tidak menghiraukan panggilan Wandy dan ucapan kata ‘sayang’ yang hanya menambah pedihnya luka. Aku berjalan menembus hujan. Bersatunya air mata dengan hujan, membuat siapapun tidak akan tahu betapa terlukanya aku oleh siraman panasnya kopi yang disuguhkan oleh kekasih dan gelapnya lentera yang dipancarkan oleh orang tua sehingga kutertatih untuk melangkah. Cukup aku dan Tuhan yang tahu akan pekat kelatnya cairan di jantung.
“Hai, aku ingin mengembalikan uangmu. Tidak usah belagu jalan kaki macam begitu! Sana cari calon suami, barangkali ada lelaki yang pantas untukmu dan mau menikahimu!” teriak Wandy dari dalam mobil.
Kuhentikan langkah dan membuka sepatu yang berisi dengan air kubangan jalan.
“Gitulah, Sayang! Berhenti dan tataplah aku! Kau cantik sekali. Ayo ke sini!”
“Air ini lebih mulia dari pada mulutmu!” seruku dengan emosi.
Praakk ....
Aku melempar air ituke arahWandy, tepatmengenai wajahnya. Kupercepat langkahku untuk menjauh dari buntutan Wandy dengan berlari menuju mobil Trans kutaradja dan bersembunyi di antara kerumunan calon penumpang yang hendakmenuju ke Kota Darussalam. Aku memilih tempat duduk dekat jendela. Kulirik mobilnya Wandy dari kaca spion, namun segera kualihkan pandangan ke depan. Sejenak, aku beristirahat seraya memeras air dari baju dan hijab.
Untuk mengelabui dari kejaran Wandy, aku memutuskan turun di halte yang bukan wilayah indekosku. Suara azan magrib pun berkumandang dari masjid Jelingke. Langkah kutahan, beralih ke pusat suara merdu itu dan melaksanakan salat Magrib di sana.Dalam keremangan malam diterangi cahaya lampu jalan, kukayunkan kaki menuju rumah salah satu sahabat yang letaknya tak begitu jauh dari masjid Jelingke.
Tok ... tok ....
“As-salaamu’alaikum.”
“Wa’alaikumus-salaam,” jawab seseorang dari balik pintu.
“Farida! Yuk masuk! Dengan siapa?” tanya Hanifah keheranan.
“Terima kasih, aku sendiri. Aba dan umi di mana?” ucapku membuka pembicaraan.
“Aba dan umi masih di tempat pengajian. Kenapa dengan baju lembab dan mata sembabmu? Kenapa sendirian sajamalam-malam begini?” Pertanyaan beruntun dilayangkan oleh sahabatku.
“Ceritanya panjang sobat, aku ....”
“Paling juga ceritamu beraroma Wandy, si tukang julid dan bucinabisguys. Gantikan pakaianmu dan mandi sana! Bajunya sudah kusiapkan.Aku tunggu di meja makan! Kita ngopi bubuk kopi Gayo yang kemarin tuk Aba, stoknya masih banyak,” sela Hanifah.
Akuhanya terdiamdan mengangguk. Ada sedikit rasa malu dengan kalimat ‘bucin’, tersadar betapa bodohnya aku selama ini. Terima kasih atas petunjuk-Mu, ucap syukur kupanjatkan dalam hati.
“Masih doyan sanger ya?” godaku kepada Hanifah.
Sahabatku yang akrab dipanggil dengan Hani itu hanya tersenyum manis, kecantikan alaminya terlihat sangat bersahaja.
“Sangar.Eh,sanger! Sama-sama ngerti, Say,” jawabnya.
Kami pun tertawa bersama. Sejenak, aku terlepas dari carut marutnya pikiran dan juntrang juntrung-nya si Wandy.
“Hani! Besok, aku kirimkan surat cancel melanjutkan studi pasca sarjanavia emailmu. Tolong teruskan ke Prodi, ya! Maaf, aku belum bisa cerita tentang keputusan ini!”
“Oke, setidaknya tolong beri aku argumen! Agar malam ini aku tidak dihantui oleh rasa penasaran tentang kehadiranmu dan kalimat yang barusan kudengar!” tegas Hani.
“Aku rindu Ine dan adikku, sepertinya aku butuh rehat sejenak di kampung. Insyaallah pada saat yang tepat, pendidikan akan kulanjutkan,” ucapku lirih.
“Iya, asal kau tidak keburu nikah sobat!” tukasnya. “Kamu anggun, lemah lembut, pinter, danbaik hati lagi orangnya.Tubuhmu yang aduhai dibalut dengan kulit putih serta mata sipit itu sungguh menggemaskan. Aku khawatir, di kampungmu nanti lelaki pada ngantri untuk melamarmu Farida.”
“Maaf, aku harus kembali ke kos. Barusan kuaktifkan aplikasi Gojek,” kataku.
Tiba-tiba klakson kendaraan roda dua berbunyi.“Tuh,ojon sudah sampai. Terima kasih sobat, salam untuk aba dan umi! Bajumu kupinjam setahun, ya!” ucapku dengan becanda sembari meninggalkan Hanifa yang masih kebingungan.
Sepanjang perjalanan, air mataku mengalir. Kepalaku penuh dengan kenangan selama empat tahun tinggal di ibu kota Provinsi Aceh dengan segala aktivitas menimbah ilmu pengetahuan agrobisnis hingga meraih beasiswa S2 di fakultas yang sama. Kegiatan di organisasi kampus membuat aku melarut bersama hitam putihnya hubungan cintaku dengan Wandy--ketua BEM. Senyumanmu selalu membuatku tentram, postur atletis dengan rambut ikal dan kulit sawo matangmu ... Ah, aku harus melupakanmu! Ucapku membatin.
Tidak terasa sudah tujuh jam lamanya berada dalam kendaraan L300, kini aku sudah di Bener Meriah. Sepulang dari kedai kopi, kutemui Ine di kamar.
“Ine hargai keputusanmu. Terima kasih, Nak. Lupakan Wandy! Ine harap kau segera menikah dengan Hanafi! Dia sudah lama mencintaimu, juga menerima keadaan kita. Kau sudah kembali, tapi bukan berarti kau tidak melanjutkan kuliah. Lanjutkan di sini!” pinta Ine dibarengi suara batuk dan menggigil.
Aku terdiam, tanpa tahu bagaimana menata hati yang tercabik-cabik. Kurapikan selimut dan memberikan obat bersama segelas air putih kepada Ine.
“Kopi itu kalau sudah dingin, bawakan ke sini! Ine mau meminumnya,” Ine menunjuk segelas kopi di meja riasnya, “Kenapa kau membisu? Maafkan, ine. Jika kau keberatan, abaikan ucapan ine!” ucap Ine, wajahnya kian memucat.
Daya tahan tubuh Inemenurun. Menurut keterangan dokter, Ine terserang penyakit TBC laten. Kutatap Ine yang bersandar di ranjang dengan kepala dipenuhi koyok.
“Baiklah, Ne. Aku tidak punya pilihan selain menerima pilihan Ine,” ucapku dalam pelukannya.
“Ine tidak mengkhawatirkan hobi buruk Ama-mu. Akan tetapi, yang ine khawatirkan adalah kamu dan Daniel karena tidak semua pasangan bisa menerima keadaan kita ....” Ine meneguk kopi dingin kesukaannya dan membelai rambutku. “Ine bertahan dengan perlakuannya, bukan berarti ine tidak terluka. Luka ini disekujur jiwa. Perasaan malu dari ujung rambut sampai kuku harus ine tanggung. Kekecewaan tidak bisa teruraikan meski terluka, hanya mampu menikmatinya dan melarutkan diri dengan usaha kopi.”
“Kenapa Ine bertahan dengan Ama?” tanyaku lirih sembari menyeka air mata.
“Ine tidak ingin kau dan adikmu dibesarkan tanpa seorang ama atau dibesarkan oleh lelaki yang bukan ama biologis. Dengankondisisepertiini, kalian masih mempunyai ama dan ine tidak menyandang status janda. Setidaknya ine punya suami, jadi orang tidak semena-mena sama kita.”
“Cinta membuat ine memaafkan semua luka itu. Cintanya manis, putih bak kristal gula kepada kita. Hanya saja nafsunya yang hitam pahit bak bubuk kopi. Air sebagai pelarut kasih sayang oleh ama-mu dibaginya menjadi beberapa wadah sehingga air itu dominan hitam dan melarutkan warna putih. Ine menikmati suguhan ama-mu dengan cara tersendiri. Dia tidak berzina, dia menikahi wanita yang disukainya. Ine mengizinkan pernikahan itu karena ine tahu ama-mu pembosan. Namun demikian, dia tidak pernah menceraikan ine,” lanjut Ine dengan senyum yang sulit untuk kumengerti.
“Kebun dan kedai kopi milik ine nantinya akan menjadi hak kamu dan Daniel, sedangkan pabrik kopi punya ama-mu ituuntuk istri-istrinya. Tugasmu sembari kuliah, juga mengurus usaha keluarga! Jangan kau ganggu usaha ama-mu! Jaga Daniel, bimbing dia dalam usaha! Minggu depan, kau dilamar oleh keluarga Hanafi. Tolong persiapkan diri untuk acara itu!” pintanya dengan tegas.
“Iya, Ne. Farida tidur di kamar ya, Ne,” ucapku dengan senyum kecamuk beban pikiran.
Menghempaskan semua dilema yang bersarang di kalbu dengan mengadu kepada-Nya. Di akhir tahun, aku berada di ujung biduk. Sepertiga malam tahun baru, kumencari ketetapan hati akan nakhoda biduk untuk mengarungi samudra kehidupan 2020 melalui salat Istikharah.
***
Setelah delapan hari di rumah, pagi ini untuk pertama kalinya aku melihat Ama di rumah. Ama dan Ine terlihat ceria. Mereka menikmati segelas kopi dengan selera yang berbeda dan masing-masing memiliki cara menikmati yang sangat khas.
Terlintas pikiranku terhadap Wandy. Andaikan dia tahu kalau orang tuaku sangat bahagia. Andai dia bisa mencermati bahwa Ineku sangat menikmati kopi manis yang dingin dan Ama-ku menikmati kopi panas pahit, aku membatin. Belum sempat kujumpai Ama, akutertangkap basah.
“Farida dan Daniel.Ayo sini, Nak! Kita sarapan bersama. Ine kurang sehat, belum bisa masak. Amasudah masak nasi goreng kesukaan kalian,” ucap Ama bersemangat dibarengi dengan senyuman Ine.
Aku segera menghampiri Ama seraya menyalami tangannya. Daniel juga mengikuti langkahku. Kami menikmati nasi goreng kampung madeinAma yang benar-benar enak.
“Daniel ada ujian naik sabuk karate, bolehkah Daniel sekolah Ne?” tanyanya.
“Boleh, Nak. Sebentar lagi di rumah kita ada acara menginte Kak Farida.Setelah selesai ujian, segeralah pulang! Hati-hati di simpang SMP rentan kecelakaan. Jangan ngebut!” seru Ama.
Aku duduk berhadapan dengan AmadanIne di meja makan. Aku melihat aroma cinta melekat pada kenikmatan kopi yang mereka minum. Oh beginikah cinta itu?Gumamku.
“Dua jam lagi, ama akan menerima pinangan keluarga Hanafi. Tiga hari berikutnya, kau akan jadi istrinya. Semua kebutuhan pernikahanmu sudah disiapkan. Apa kamu siap untuk menjalaninya?” tanya Ama.
Aku menjawabnya dengan senyum. “Siap, Ama.Terima kasih.”
Tidak berselang lama, rumah kami sudah dipenuhi oleh sanak keluarga dan rombongan dari keluarga besar Hanafi. Aneka hidangan sudah disiapkan oleh ibu-ibu tiriku dan keluarga lainnya. Keluarga Hanafi membawa hantaran pinangan dalam keranjang berbalut kain sutra warna emas. Aku hitung ada sekitar tujuh keranjang dan lima buah kue dalam talam dulang tembaga. Aku dipertemukan dengan Hanafi, anggukkanku dengan seulas senyum merupakan jawaban sebagai ungkapan kesediaanku untuk menikah dengannya.
Hari yang disepakati tiba, akan tetapi kesehatan Ine kian memburuk. Ine dirawat di Rumah Sakit Muyang Kute, Ama dan Daniel merawat serta menjaga Ine. Mengingat kesehatan Ine, maka acara pernikahan dan resepsi dilaksanakan di rumah secara sederhana.
Setelah menikahkanku dengan Hanafi, Ama mengambil keputusan menceraikan ketiga istrinya. Alasan Ama ingin merawat Ine untuk menebus kesalahannya selama dua puluh dua tahun berlalu. Ama dengan telaten merawat Ine dan menemani Ine di ruang ICCU.
Tiga hari berikutnya, Ine meninggalkan kami semua untuk selamanya. Ama sangat terpukul dengan kepergian Ine. Setelah Ine dikebumikan di pemakaman keluarga, Ama dan Daniel tidak mau pulang. Merekamenangis di pusara Ine dengan dukanya yang mendalam. Kupeluk Ama dan Daniel.
“Kita pulang ya, Ma! Besok kita kembali ke sini. Ama butuh istirahat,” bujukku dengan deraian air mata. Suamiku--Hanafi--menuntun Ama menuju mobil. Aku jalan tertatih bersama Daniel.
“Dik, sabar ya! Kita kirim doa untuk Ine!” ucapku.
Setelah sampai di rumah, Ama pingsan dan segera dilarikan ke rumah sakit. Nyawa Ama tidak bisa tertolong, dia pergi menyusul Ine. Aku tidak bisa menangis, hanya terdiam menatap Ama dikafani. Hanya berselang hari, Hanafi kembali mengimami jenazah kedua orang tuaku. Amadikebumikan disamping kuburan Ine. Di awal tahun, kami jadi yatim piatu.Aku merangkul Daniel yang menangis pilu di antara dua kuburan orang tua kami.
“Masih ada kakak dan Bang Hanafi. Kita pulang, ya!” bujukku sembari meninggalkan Ama dan Ine bersama aroma wanginya bunga kopi yang memutih di bawah pohon kamboja.Inikah makna dari semua permintaan Ine kepadaku?Untung ada Hanafi di sampingku. Tuntun aku untuk mencintainya, tempati Ine dan Ama di surga-Mu, proposalku kepada-Nya.
“Dek, ada tamu yang melayat dari Banda Aceh. Mari temui mereka!” ucap suamiku.
Aku membuka mukena, menutup bacaan yasin, dan segera menuju ke ruang tamu. Ya Allah ... Ya Rabbi, aku melihat sosok familier, seorang wanita sedang duduk di samping seorang lelaki.Wanita itu bangun dan berjalan mendekatiku.
“Farida, aku dan Bang Wandy ikut belasungkawa. Maafkan aku, kami sudah menikah,” ungkap wanita itu.
Aku tersenyum, kembali menelan air mata pekat. Hatiku kembali tercabik-cabik oleh sembilu cinta.
“Terima kasih atas kehadirannya. Sebentar ya!” ucapku seraya bangun mengambil minuman.
Lelaki itu menemuiku di dapurdan menjabat tanganku. “Hanifah sahabatmu adalah wanita pilihan orang tuaku. Aku ikut berduka atas kepergian ama dan ine. Apakah kau bahagia dengannya? Maafkan atassikapkuselamaini, aku menyesalinya dengan terbeban rindu ....” tuturnya.
Aku segera melepaskan jabatan tangan dan menyangga ucapannya. ”Minumlah kopi dingin yang ada di tempat dudukmu tadi! Kau akan tahu bagaimana hambarnya aromamu, bagiku. Kau lihat ampasnya! Bayanganmu sudah tidak ada di cawan kopiku. Napasmu tidak lagi beraroma kopi. Rindu itu hanya sebatas kenangan yang terasa pahit di lidah. Air mineral yang kusuguhkan, perlahan akan mengikiskan semua rasa yang ada. Terima kasih. Berkatmu, aku tahu bahwa hitam itu tidak selamanya pahit. Pahit itu indah. Camkan itu!”