Oleh: Muhammad Haekal
Siswa Sekolah Kita Menulis
Kondisi masyarakat Aceh pada dewasa ini seperti “mabuk” masa kejayaan. Bagaimana tidak, masa itu telah lama sirna bahkan kehilangan jejak tetapi tetap di elu-elukan semata-mata hanya untuk nostalgia bukan diambil spirit untuk melanjutkan estafet perjuangan masa kejayaan tersebut, tetapi hanya sebatas untuk menceritakan pada orang-orang bahwa Aceh pernah berjaya. Lantas hal seperti itu bukan mengundang decak kagum orang lain namun membuat mereka tersenyum sinis sembari terbesit dalam hati “itukan dulu”.
Berbicara tentang Aceh adalah berbicara tentang kaya akan kesejarahan. Mengapa demikian? Karena Aceh memiliki potret sejarah yang begitu panjang mulai sejarah kejayaan hingga sejarah yang penuh dengan tragedi, seharusnya secara akumulasi pengalaman membuat Aceh menjadi daerah yang disegani oleh seantero negeri. Dahulu Aceh memainkan peran yang sangat esensial dalam mencatatkan tinta emas dalam lembaran sejarah. Tidak perlu jauh-jauh, kontribusi Aceh dalam memperjuangkan hak-hak kemerdekaan Indonesia. Ketika Indonesia kewalahan menghadapi kolonialis, Aceh muncul ke permukaan sebagai menjadi pemecah kebuntuan.
Aceh sebagai daerah yang sejak awal sudah komopolitan seharusnya Aceh menjadi role of model bagi daerah-daerah lain yang ada di seluruh pelosok negeri ini. Seharusnya Aceh tegak berdiri di bandingkan dengan daerah-daerah lainnya untuk menjawab problematika negeri. Tetapi realitasnya tidaklah demikian, kini Aceh telah melempem. Aceh yang dulunya telah menjadi harimau “mengaung” ke seluruh pelosok dunia, sekarang menjelma menjadi kucing “mengeong” di negeri sendiri pun tidak terdengar suaranya.
Pergeseran budaya meninabobokkan masyarakat Aceh sehingga masa kejayaan itu hanya berada pada tataran imajinasi masyarakat. Masyarakat Aceh kini sibuk melanggengkan status quo seolah-olah perjuangan yang telah dibangun oleh para endatu dengan begitu susah payah, kini perjuangan itu telah memudar dalam kurun waktu yang singkat. Ini sangat disayangkan, Aceh yang mempunyai masa lalu yang cerah kini hanya tersisa slogan “raksasa” nan megah, “Aceh bangsa teuleubeh ateuh rueng donya”(Aceh adalah Bangsa yang istimewa di atas dunia ini). Jika slogan ini hanya sebatas claim semata tanpa pembuktian maka slogan tersebut bertransformasi sebagai pameo bagi masyarakat non-Aceh.
Bercerminlah pada cendekiawan-cendekiawan Aceh pada masa dahulu yang sangat inspiratif dan progresif. Sebut saja Syekh Abdur Ra’uf As-Singkili yang dikenal sebagai Bapak Tafsir pertama di Nusantara bahkan diakui oleh dunia internasional. Jika ingin belajar tafsir al-Qur’an di Nusantara mesti lah mengkaji karya Syekh Abdurrauf As Singkili yakni “Tarjuman Al Mustafid” yang terbit pada abad ke-17. Jika hendak memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang Tafsir Nusantara, rasanya tidak sah jika tidak mengkaji karya beliau ini. Ini adalah sebuah pembuktian bukan hanya berhenti pada sebuah claim. Implikasi berhenti pada sebuah claim akan melanggengkan status quo, sedangkan melanggengkan kemapanan akan menghambat kemajuan suatu bangsa.
Budaya-budaya yang menghambat kemajuan bangsa sudah seharusnya disingkirkan dari panggung kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya ketidakbijaksaan dalam mengelola waktu. Aceh yang dikenal dengan “Provinsi seribu kedai kopi” telah menjadikan warung kopi “rumah kedua” untuk menyembuhkan kepenatan setelah beraktivitas seharian. Padahal dengan adanya aset demikian merupakan manifestasi untuk memajukan peradaban jika mampu dikelola dengan baik. contohnya, jika para kaum terpelajar mampu mengisi segmen progresivitas dalam bidang literasi dan edukasi di warung kopi.
Ini sangat menarik jika mampu diwujudkan. Karena warung kopi memainkan peran yang sangat signifikan di Aceh. Namun realitasnya para pemuda yang ikut nimbrung di warung kopi dominan menghabiskan waktunya hanya untuk bermain game, ini sangat di sayangkan karena bisa mengahambat produktivitas. Jika budaya ini terus di pertahankan maka perkembangan Aceh dari berbagai sektor sulit untuk di dobrak. Mengapa? Karena para pemuda juga punya peran penting dalam mencetak sejarah keemasan.
Peran pemerintah juga sangat diperlukan dalam menggaet pemuda untuk memajukan peradaban melalui program-program positif dan progresif. Mungkin ketika pemerintah berembuk dalam penggagasan program-program bisa dilibatkan para pemuda. Jika dialektika antara pemerintah dan kaum muda terintegrasikan maka akan muncul gagasan-gagasan yang gemilang. Peran pemerintah di sini persis seperti orang tua. Orang tua harus peduli terhadap anak-anaknya, harus sering diajak komunikasi kira-kira apa yang menjadi masalah di antara anak-anaknya. Jika pengabaian yang di kedepankan oleh orang tua, maka anak-anaknya tidak terurus persis sepeti anak jalanan.
Sejarah telah mencatat bahwa sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang digagas suatu bangsa merupakan “senjata utama” untuk meningkatkan pembangunan bangsa tersebut. Walaupun bangsa tersebut memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah tetapi tidak didukung oleh sumber daya manusia yang memadai, maka bangsa tersebut cenderung stagnasi tidak memperoleh apa-apa. Pemerintah mempunyai peran penting dalam memberikan kebijakan-kebijakan ideal yang memberikan profit besar kepada daerah.
Sudah saatnya Pemerintah mendukung kreatifitas anak bangsa bukan sebaliknya memasung gagasan-gagasan segar yang ditawarkan anak-anak muda. Sejarah “berbicara” pemasungan terhadap ide-ide progresif merupakan tradisi masa pra-Renaisans, dimana otoritas terletak pada instansi bukan pada kemerdekaan akal sehat. Sehingga tokoh astronom dunia Copernicus dibunuh lantaran temuan gagasan barunya yang berbunyi: mata hari adalah pusat tata surya (Teori Kritik Filsafat, 2017). Pembunuhan terhadap tokoh yang mempunya ide progresif adalah suatu kejahatan sejarah di masa lalu. Namun bentuk kejahatan itu terus diperpanjang hingga masa kini dengan “membunuh” ide-ide segar.
Seyogyanya menjadi orang Aceh harus siap menjaga pusaka pendahulu. Para penerus estafet perjuangan haruslah mengisi segmen-segmen yang masih kosong. Jika ingin melihat bagaimana cara mengisi kekosongan, penulis ingin mengundang para pembaca bertandanglah ke SKM (Sekolah Kita Menulis) di sana masih ada secercah harapan mempertahankan dan Melestarikan peradaban. Di sana para pembaca akan diajak mengekspolarasi khazanah literasi. Menulis dan diskusi telah menjadi adat baru, bukan ingin sok-sokan, Tapi hanya ingin menjaga tradisi-tradisi masa dahulu yang telah hilang saat ini.
Sebagaimana yang tertuang dalam kaidah yang masyhur “Al-Muhafadhotu ‘ala Qodimi al-Sholih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (Mempertahankan tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi baru yang lebih baik). Kaidah ini menunjukkan tradisi yang telah ditorehkan dengan tinta emas oleh para pendahulu kita seyogyanya kita jaga dengan sebaik-baiknya dan seiring perkembangan zaman tradisi itu haruslah dimodifikasi agar terus berjalan beriringan dan kompatibel dengan perkembangan zaman.