Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tak Ada yang Salah

Minggu, 28 Juni 2020 | Juni 28, 2020 WIB Last Updated 2020-06-28T01:50:46Z

    Oleh : Ayu Mentari

Saat langkah mengalun mengiringgi hari, saat itu pula sebuah tuntutan jiwa harus tertekad dengan sebuah harap yang benar-benar diperjuangkan. Kehidupan itu semakin kita coba mengali semakin dalam pula aspek yang perlu kita kuasai. 

Tak ada yang bisa memastikan kapan jasad akan berpisah dengan roh. Kapan jasad akan terbujur tanpa bisa bergerak dan memberontak. Hidup itu bagai kilatan cahaya semakin tajam kita menatap semakin silau juga pandang yang menghalang. 

Kuncinya harus selalu percaya bahwa apa yang sedang kita titi saat ini suatu saat nanti bisa membawa kita pada penghujung yang benar-benar cerah. Jatuh itu biasa, sakit itu wajar, dan kecewa itu pasti ada tapi, jika kita terus larut dalam sebuah rasa yang membuat kita semakin risau kita seharusnya terus berusaha agar rasa yang mengganggu itu bisa enyah tanpa berbekas. 

“Hei Bas, untuk apa kau memikirkan sesuatu yang belum pasti”. Seru Johan menepuk pundaku membuat aku tersadar dari lamunan.

“Bas, ini hidup Bas, kita harus nikmatin. Jangan jatuh hanya karena pernah terluka sekali. Semakin kita sering merasa sakit semakin kita bisa belajar caranya mengobati”. Ucap Johan begitu serius.

“Johan? sejak kapan bisa berkata bijak?”. Tanyaku meledek Johan yang tiba-tiba berkata bijak. Dia tak seperti Johan biasanya yang cuek dan masa bodo dengan masalah apapun, tapi terlepas dari itu dia adalah karib yang begitu setia dan selalu bisa membuat masalah itu tak terasa begitu berat. 

“Aku serius Bas. Seminggu terakhir aku perhatiakan kau bukan seperti Baslan biasanya. Kau sering melamun dan terkadang nggak fokus sama pelajaran di kelas. Apa yang dosen tanya apa yang kau jawab Bas. Baslan yang sekarang udah nggak singkron, udah nggak asyik”. Seru Johan yang terlihat geram melihatku yang uring-uringgan tak menentu. Aku hanya bisa diam tak bisa berkutik  mendengar ucapan Johan. Aku menarik nafas panjang mencoba menenangkan jiwa yang kembali diserang badai kerisauaan.
Hari ini terik matahari menyengat membuat badan lemas dan lelah. Aku duduk bersandar di teras rumah mencari udara yang bisa mendinginkan jiwa dan raga yang tengah panas. Lama aku duduk terdiam, pikiranku melayang entah kemana sampai aku tak sadar kapan ibu datang dan duduk di sebelahku.

“Baslan bagaimna kuliah hari ini?”. Tanya ibu tiba-tiba.
“Ibu, kapan ibu datang?”. Secara spontan aku kembali bertanya.
“Bas, usiamu sudah 21. Ibu pikir kamu paham apa yang harus dan mesti kamu lakukan sekarang”. Ucap Ibu menatapku penuh harap.
“Bu, tolong aku sedang tidak ingin membahas apapun sekarang”. Jawabku tak ingin melanjutkan percakapan ini.

“Baslan, anakku tak ada yang salah, tak ada yang bisa kita sudutkan di sini. Semua memang benar-benar sudah tak waktunya kita milikki lagi”. Ucap Ibu terlihat ingin menenagkan aku.

“Iya bu. Aku paham dan benar-benar paham bahwa kita tak bisa memaksakan apa yang sudah tak  bisa kita pertahankan. Tapi aku juga tak bisa mengontrol diriku sendiri bu. Aku tak bisa munafik, berpura-pura tak terjadi apa-apa sedangkan sebenarnya aku tercabik-cabik”. Ucapku ingin membuat ibu tersadar bahwa ketegaranya selama ini hanya di depan saat di belakang aku tahu Ibu sering meneteskan air matanya. Ibu juga terlihat murung dan terlihat belum bisa melupakan semuannya.

“Baslan, terkadang hidup itu perlu kepura-puraan untuk menghibur diri. Jika kita terus mengorek-ngorek kesalahan yang ada kapan waktu kita untuk menguburnya. Semakin kita gali semakin banyak kita temukan celah-celah kepediahan yang membuat kita semakin terluka”. Ucap ibu begitu membuatku terteguh melihat kesabarannya. Aku bersyukur Tuhan memberi Ibu yang begitu luar bisa, dia mampu tersenyum dan memberi kesejukan saat panasnya hidup mengikis kepediahan.

Hari ini aku memutuskan untuk memberanikan diri menuju ke rumah Ayah menjemput Asma adik bungsuku yang masih duduk di kelas 2 SMA. Aku berharap bisa membawanya kembali. Aku mengajak Johan menemaniku. Kini aku dan Johan sudah berdiri di depan rumah dengan pagar tinggi dan ada dua satpam yang menjaga di sana. Satpam itu terlihat sinis dan sedikitpun tak ada senyum saat melihat kedatangan kami.
Aku menghampiri mereka yang tengah menatap sinis, mereka memperhatikan aku dari hujung kaki hingga melirik ke arah motor bututku yang sedang di dudukki Johan. Johan terlihat risih dengan tatapan satpam itu. 

“Maaf, kalian siapa? Dan ada urusan apa?”. Tanya satpam itu yang terlihat heran melihat kami berdua. Saat aku ingin menjawab terdengar bunyi klakson mobil dan satpam itu bergagas mendorong aku dan Johan untuk memindahkan motor yang sebenarnya tidak mengahalanggi mobil itu. Johan memarkirnya di sudut dan mobil itu bisa masuk karena keberadaan kami sama sekali tidak menghalangginya. Aku hanya terdiam melirik ke arah Johan yang terlihat kesal. Mobil itu tiba-tiba berhenti dan terlihat Asma meloncat dan menyambar kepelukanku. 

Sudah hampir setahun aku tak melihatnya. Asma sudah semakin tinggi hingga aku hampir tak menggenalinya. Dia memeluku erat.
“Bang, Asma kangen”. Serunya sambil menangis. Aku mengelus kepalanya mencoba menenangkan dan juga berkata rindu padanya. Sesaat seorang wanita dengan wajah penuh riasan Make up turun mendekat ke arahku dan Asma.

“Siapa dia Asma?”. Tanyanya heran.
“Ini Bang Baslan, yang selama ini sering aku ceritakan”. Jawab Asma sambil tersenyum. Johan telihat memperhatikan wanita itu hingga tak sadar bahwa aku melirik dan berisyarat agar dia mendekat ke arahku.

“Oo Baslan, mari masuk ke dalam. Kita gobrol di dalam saja”. Ucap wanita itu. 
Aku dan Johan mengikuti langkah kaki mereka masuk hingga duduk di ruang tamu. Rumah ini begitu besar sangat jauh berbeda dengan rumah kami. Aku melihat foto ayah dan wanita ini terpampang di dinding dengan baju yang serasi. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah wanita ini istri baru ayah. Wanita itu terlihat mengerti dengan apa yang sedang aku pikirkan.

“Baslan, saya ibu kamu juga. Asma sering bercerita tentang kamu dan Raja”. Saat nama Raja disebutkan hatiku bagai tersambar petir. Raja adalah adik keduaku. Dia meninggal setahun lalu.. Raja meninggal di usiah 18 tahun. Dia mungkin frustasi dengan folemik keluarga yang tak henti-henti. Setahun sebelum kematiaannya ayah dan ibu sering berdebat dan tak jarang ayah main tangan pada ibu dan terkadang berimbas padaku dan Raja. 

Raja anak yang spontan atas segala hal dia tidak akan terima dimarahi atau dipukul begitu saja dia sering memberontak hingga membuat amarah ayah semakin meluncak. Waktu berlalu hari-hari kami terlewati dengan kebisuan, semua sibuk dengan urusannya sendiri. Saat itu ayah sedang mencalonkan diri jadi DPR hingga begitu sibuk mengurus segala hal. Ibu dan ayah juga memutuskan berpisah saat itu karena meraka bilang ingin merenungkan sesuatu. 

Awalnya aku mengerti dan bisa menerima semuanya. Namun, tiba-tibasetelah dua bulan ayah pergi dan kembali dengan  seorang wanita. Aku dan raja benar-benar tak menerima sosok wanita itu. Ayah membawanya ke rumah sebagai istri baru ayah dan anehnya ibu menerimanya dengan tangan terbuka. 

Saat ayah terpilih menjadi DPR dia mengajak kami untuk pindah, namu ibu tak mau meninggalkan rumah hingga mereka kembali berseteru, kali ini benar-benar sudah tak ada jalan untuk kembali lagi. Perceraain mereka membuyarkan segalanya menbuat Raja semakin mencari kesenaggan di luar. Ayah membawa Asma bersamanya aku dan Raja memutuskan untuk bersama ibu. 

Waktu berlalu cepat semua bagai angin lalu semenjak ayah pergi tak ada kabar apapun lagi. Raja semakin hari semakin terlihat aneh wajah pucat, lesu dan sering mengunci dirinya sendiri. Hingga saat itu tiba, saat dimana Tuhan tak mengijinkan kami untuk bersamanya lagi. 

Overdosis, itulah kata dokter dia terlalu banyak meminum obat-obatan hingga merenggut nyawanya dan saat itulah kami baru mengetahui bahwa Raja adalah seorang pencandu. seminggu berlalu aku dan Ibu menemukan sebuah surat dan potonggan koran. Koran itu tertulis tentang perceraiaan Renaldi, dia adalah ayahku. Ibu dan aku saling melirik dan membaca surat dari raja. Surat itu adalah pesan terakhirnya yang mengiginkan ibu dan ayah bisa bersatu. Sejak saat itu aku mencoba mencari ayah, namun aku sangat kesulitan menemukannya. 

Sebulan lalu aku mendapat kabar bahwa ayah sudah menikah lagi dan membuat aku merasa bersalah tak bisa mengabulkan keinginan raja. Ibu selalu berkata jangan berharap terlalu banyak, karena jika nanti semua yang kita harapkan tak sesuai kenyataan maka kita akan lebih sakit lagi. 

Ayah sama sekali tidak tahu tentang kematiaan Raja begitu juga dengan Asma. Kabar pernikahan ayah itulah yang membuat pikiranku kacau, aku ingin marah, kecewa, benci dan benar-benar merasa bersalah. Kekhawatiranku ternyata terjadi, memang sudah tak ada jalan yang bisa membawa ibu dan ayah kembali. Ayah sudah punya kehidupan yang baru, sedangkan ibu masih menunggu ayah kembali. 

Aku menceritakan semua tentang Raja pada istri ayah itu dan memintanya menceritakan pada ayah. Asma terlihat sedih dan keget dia tak percaya bahwa Raja sudah tiada. Aku juga meminta izin membawa Asma untuk tinggal atau sekedar berkunjung menemui ibu yang sangat merindukannya. Saat kami sedang mengobrol terlihat ayah turun dari tangga. Sejak tadi aku memang tak menanyakan keberadaan ayah. Dia terlihat kaget melihat keberadaanku. Dia mendekat dan merangkulku.

“Baslan, anak ayah. Keberaniaan itulah arti namamu nak. Saat ayah memberi nama itu ayah berharap kamu menjadi laki-laki yang berani”. Seru ayah dengan senyum yang masih sama.


“Iya yah, keberanian itu yang membuat aku datang mencari ayah yang mungkin telah melupakan kami semua. Dan sekarang izikan aku membawa Asma karena ibu sangat merindukannya”. Ucapku menatapnya.
“Iya, bawalah adikmu, maafkan ayah yang tidak bisa menjadi ayah yang baik. Bukan ayah tak ingin mengabari kamu. Tapi banyak sekali halanggan saat ayah ingin menemuimu. Bagaimana dengan Raja?”. Tanya ayah yang terlihat mengharapkan Raja datang bersamaku.
Aku menceritakan kembali hingga membuat ayah menetekan air mata dan meminta saat ini juga aku mengantarnya menuju kuburan Raja. 

Semua memang sudah tak bisa lagi disatukan aku harus bisa menerima semua. Aku tak bisa terus jatuh dalam luka masa lalu ini. Aku harus membawa kebahagiaan untuk ibu dan Asma serta harus bisa memaafkan ayah. Aku yakin ada alasan yang kuat mengapa ayah meninggalakan kami.