Oleh :Johansyah
Tiga kata di atas bukanlah sinonim bahasa, tapi memiliki kausalitas dari aspek sikap dan perilaku antara pemberi nasehat, informasi, peringatan, dan lain-lainnya kepada orang yang menerima nasehat maupun himbauan dan lain-lainnya.
Mungkin kita semua mengalami, saat bertanya pada anak; ‘nak, kamu sudah shalat?’. Dia malah balik bertanya; ‘ama sudah shalat?’. Pertanyaan itu adalah pukulan telak yang menghantam kita orangtua. Pertanyaan anak kita memang polos, tapi sesungguhnya memuat pesan tidak langsung; jangan coba-coba memerintahkan sesuatu yang tidak kita kerjakan. Apalagi berlawanan dengan apa yang kita katakan.
Suatu ketika, saat masih aktif mengajar di SMP tahun 2008, seorang teman menghukum siswa kami yang ketahuan merokok di belakang kelas. Ada sekitar lima orang. Mereka diberi sanksi dan dinasehati oleh teman saya tadi; ‘kalian ini masih anak-anak, tidak boleh merokok, kalian belum bisa cari uang. Lagi pula merokok itu membahayakan kesehatan kalian’. Pokoknya banyak nasehatnya.
Kelimanya pun tunduk mendengarkan nasehat tersebut. Tapi setelah itu ada satu siswa yang diberi sanksi itu kemudian mengajukan pertanyaan polos; ‘berarti kalau sudah jadi guru boleh merokok pak?’. Saya paham maksud anak ini, dia sebenarnya mau protes terhadap guru yang memberinya nasehat tentang bahaya merokok yang setiap hari merokok. Nah itu dia, si guru tadi menjawab; ‘kalau sudah besar tidak apa-apa’.
Jawaban tersebut sebenarnya pembelaan terhadap perilakunya yang kontradiktif dengan pernyataan nasehat yang disampaikannya.
Secara psikologis, nasehatnya sulit melekat dan menyentuh perasaan siswa-siswa tadi, karena antara yang dinyatakan berlawanan dengan perilaku kesehariannya. Sudah bisa diprediksi, siswa-siswa ini di depan gurunya terlihat patuh, tapi di belakang dia nyinyir.
Kita mengakui bahwa menumbuhkan perilaku itu dapat dilakukan dengan beragam pendekatan dan metode; nasehat, cerita, perintah, ceramah, sanksi, hukuman dan metode-metode lainnya. Tapi metode yang paling efektif dan tepat untuk diterapkan dalam menumbuhkan perilaku baik adalah keteladanan.
Kalau kita memvonis bahwa sikap anak tidak beradab, tunjukkan bagaimana caranya yang beradab. Kalau kita menganggap bicara anak tidak sopan, contohkan bagaimana bertutur kata yang baik dan santun. Kalau kita ingin menjadikan anak peduli, contohkan bagaimana sebenarnya peduli itu. Intinya semua harus dicontohkan, bukan sekedar dihimbau atau diintruksikan, sementara orangtua tidak melakukan apa yang diperintahkannya pada anak.
Dalam keteladanan itu ada nasehat tidak langsung yang menyentuh, dan ada efek kepercayaan. Konsekuensi positifnya adalah adanya rasa kepatuhan untuk mengikuti dan melaksanakan atau tidak melaksanakan jika itu berbentuk larangan. Keteladanan ini adalah metode profetik-qur’ani yang menjadi modal utama Rasulullah Saw dalam membumikan Islam di tanah Arab.
Pada keteladanan itu ada sebuah sifat yang melekat, yakni istiqamah dalam kebaikan dan kebenaran. Orang yang plin-plan dalam mencontohkan itu akan diprotes oleh orang yang diberinya nasehat, himbauan, dan sebagainya. Dalam keteladanan itu ada kesepadanan antara yang dilakukan dengan apa yang dikatakan. Ketimpangan antara keduanya akan menimbulkan rasa jengkel, dan mungkin benci. Akhirnya, apa yang seseorang katakan untuk dilakukan atau tidak dilakukan itu sama sekali tidak dihiraukan.
Memang betul ada yang mengatakan; ‘jangan lihat siapa yang mengatakan, tapi lihat dengan apa yang dikatakannya. Walau dari mulut anjing, kalau memang baik, dengarkan’. Tapi yang namanya orang awam, kebanyakan akan melihat sosok orang yang mengatakan itu. Apakah sesuatu yang dia katakan sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Fakta menarik selama covid
Ada fakta menarik selama pandemi covid, di mana kesannya masyarakat tidak begitu peduli dengan beragam himbauan, baik pusat maupun daerah. Masyarakat bahkan terlihat melawan dan tidak mau mematuhi himbauan yang dikeluarkan pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah.
Setelah ditelisik, kelihatannya tingkat kepercaaan terhadap pemerintah pusat maupun daerah bermasalah sehingga kebanyakan tidak mematuhi berbagai himbauan terkait penanganan covid. Saya menilai, ini ada kaitannya dengan konsistensi pemerintah dalam memberikan himbauan dan pola menerapkannya.
Dengan tidak didasarkan pada prasangka buruk, dan merujuk pada beberapa pemberitaan media massa yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan, serta berusaha memberikan penilaian secara objektif, saya melihat memang ada masalah serius dalam konsistensi ini. Ada beberapa aturan terkait penanganan pandemi yang kelihatan berlawanan antara yang dihimbau dan yang dilakukan.
Sebagai contoh saja dan mari kita lihat kebenarannya dari media-media terpercaya (fakta atau hoaks). Ketika ada himbauan agar warga tetap di rumah saja, tiba-tiba ramai pemberitaan bahwa ratusan TKA China masuk ke Indonesia. Di sela itu pula, menteri Luhut melakukan terobosan untuk mengembangkan wisata di masa pandemi. Bagi masyarakat, hal ini kontradiktif. Terlihat adanya sikap yang tidak konsisten dari pemerintah dalam menerapkan aturan pencegahan pandemi covid-19. Ada kesan bahwa aturan itu tebang pilih.
Hal ini kemudian memunculkan rasa tidak puas yang berujung pada sikap tidak percaya dan tidak mau mematuhi aturan. Apalagi dalam waktu yang relatif lama membuat masyarakat semakin berada dalam kondisi ekonomi yang sulit. Mereka di rumah saja, tapi mereka tidak memiliki bekal yang cukup, harus mencari nafkah keluar rumah dengan resiko tinggi tentunya.
Kalau sudah tidak percaya, kondisinya akan bertambah rumit terus. Coba perhatikan, himbauan-himbauan selanjutnya kemudian ditafsir lain oleh masyarakat. Ketika adanya upaya tes massal korona, itu diasumsikan sebagai program komunis. Begitu juga dengan penetapan zona merah, hijau, kuning, dan lain-lain yang diasumsikan sebagai program keterpaksaan untuk menggunakan dana covid-19 yang sudah terlanjur dianggarkan. Mau tidak mau harus ada program yang dibuat untuk menghabiskan anggaran tersebut.
Hingga saat ini, tingkat kepercayaan inilah yang tampaknya menjadi masalah serius, terutama dalam penanganan pandemi covid-19. Semua ini persis seperti ulasan saya di awal, bahwa ini terkait dengan keteladanan. Artinya ketika adanya ketidakpercayaan yang berujung pada ketidakpatuhan terhadap aturan, itu artinya ada yang bermasalah dengan keteladanan di berbagai jenjang dan sektornya. Semoga uraian ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua. Amin.