Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KEANEHAN MANUSIA : ANTARA TAKUT DAN NEKAT

Jumat, 26 Juni 2020 | Juni 26, 2020 WIB Last Updated 2020-06-26T04:09:25Z



Oleh : Johansyah*

            Tahun 2020 adalah tahun yang aneh sekaligus menakutkan bagi kita. Dikatakan aneh karena situasinya memang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di mana kita menghadapi sebuah ancaman besar dari sekelompok makhluk yang bernama virus korona. Virus ini bukan sembarang virus kalau dilihat dari cara penyebaran dan ancamannya. Penyebarannya dan penularannya sangat mudah dan yang paling mengerikan, dalam kurun waktu yang singkat akan merenggut ribuan nyawa.
Kondisi inilah yang kemudian membuat banyak orang takut dan panik. Masyarakat bumi dihadapkan pada penjajahan psikologis secara merata dan bersamaan. Tidak peduli apakah itu negara maju, negara adikuasa, negara berkembang, negara kecil, negara tertinggal dan seterusnya, semua mengalami ancaman yang sama.
Pada bulan april lalu, menurut catatan Kompas. com masih ada 15 negara yang dinyatakan bebas dari penularan virus korona. Negara tersebut adalah Komoro, Lasotho, Korea Utara, Tajikistan, Turkmenistan, Kiribathi, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palao, Samoa, Kepulauan Salomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu. Artinya hanya sebagian kecil dari wilayah bumi yang bebas dari penjajahan virus ini. Bahkan pada bulan berikutnya atau beberapa waktu ke depan, satu per satu dari negara ini akan dijajah juga oleh virus korona. Semoga saja tidak.
Sejak menjalarnya virus ini, pola hidup yang kita terapkan pun jauh berubah dari sebelumnya. Jaga jarak, menghindari keramaian, menghidari kontak fisik, mengenakan masker, mencuci tangan, dan berbagai anjuran lainnya adalah sesuatu yang berlawanan dengan kebiasaan kita sebelumnya.
Mau tidak mau, pola interaksi sosial kita tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Akibat dari berbagai pembatasan ruang gerak di ranah sosial, perekonoian benar-benar terganggu dan lumpuh karena kebebasan berusaha dan bekerja sudah dibatasi dengan berbagai aturan. Semua mengeluh dengan kondisi ini; pedagang, pengusaha, petani, nelayan dan sebagainya.
Meski saat ini sudah diterapkan new normal atau tatanan hidup baru, kita dihadapkan pada kondisi dilematis. Kembali menjalankan berbagai aktivitas untuk mengantisipasi keterpurukan ekonomi, tapi di sisi lain berhadapan dengan ancaman serius virus korona yang sangat serius. Bahkan patut diwaspadai, justru di saat new normal, angka statik kasus korona justru mengalami kenaikan.
Tekanan psikologis
Nah, krisis serius terbesar yang kita hadapi pada situasi pandemi ini adalah tekanan psikologis. Muncul rasa takut berlebihan atau panik. Rasa takut ini sebenarnya sifat bawaan manusia. Apalagi sesuatu yang dianggap mengancam keselamatan nyawa, siapa pun takut. Jadi begitulah, manusia sangat takut dengan kematian.
Apalagi ketika kita membaca beragam analisis dan prediksi penyebaran virus ini, di mana pada bulan maret lalu, Kompas. com mengulas salah satu pendapat Economist Intelligence Unit (EIU) yang berasumsi bahwa 50 persen penduduk bumi akan terinveksi. 20 persen dari kasus akan parah, dan 1-3 mengakibatkan kematian.
Dulu ketika baru terjangkin di China, kita masih santai dan banyak yang memerediksi virus ini tidak sampai ke tempat kita. Namun perlahan tapi pasti, akhirnya sampai juga ke Indonesia. Di sini kita mulai digelayuti rasa takut dan panik. Apalagi saat ini orang yang positif korona di Aceh terus mengalami penambahan. Kita semakin takut.
Dari perspektif agama, perasaan takut akan mati ini justru positif, asal jangan berlebihan. ketakutan terhadap mati dapat membangun kesadaran diri seseorang. Biasanya dari banyak berbuat tercela, mulai berpikir untuk memperbaiki diri. Biasanya mengambil hak orang lain, kini mulai tersadar bahwa perbuatan itu tidak baik. Biasanya tidak rajin beribadah, kini sudah mulai berubah. Dengan ungkapan lain, ketika seseorang banyak mengingat kematian, sejatinya dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas ketaatannya kepada Tuhan.
Merasa aneh
            Faktanya dalam ranah sosial, perubahan sikap ke arah yang lebih baik secara kolektif itu kurang kelihatan. Di sini kita benar-benar merasa aneh. Seharusnya ketika seseorang tersadar akan ancaman kematian, itu semua akan mengubah sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik.
            Sebagian besar kita mengikuti protokol kesehatan dan itu semua dilakukan untuk menghindari virus, tantu intinya menghidari mati. Tapi di saat yang sama geliat penyimpangan sosial masih saja makin ramai. Bahkan banyak yang memanfaatkan situasi ini untuk memperkaya diri, mengais keuntungan materi yang berlipat ganda, mengambil hak orang lain, tidak menyalurkan bantuan pada orang yang benar-benar berhak menerimanya, dan perilaku penyimpangan sosial lainnya.
            Artinya di satu sisi manusia takut dengan ancaman kematian, tapi di sisi lain dia terus saja melakukan perbuatan-perbuatan yang seakan tidak menyadarkan dirinya bahwa suatu saat dia akan mati. Lagi-lagi, inilah kehebatan nafsu yang dapat menggiring dan mengubah manusia menjadi makhluk yang nekat. Nekat melakukan apapun agar terpenuhi keinginannya. Tidak peduli itu merugikan orang lain, mengancam keselamatan, bahkan sangat membahayakan nyawanya, yang penting dia untung dan dapat menikmati.
            Salah satu penyebabnya adalah ancaman kematian itu dianggapnya bukan hal serius. Banyak manusia yang terlalu yakin dan percaya dengan kondisi kebugaran tubuhnya dan selama ini jarang sakit. Mungkin saja dia juga percaya bahwa dia tidak akan tertular virus korona karena selalu menjaga diri dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.
Sayang, banyak yang tidak menyadari bahwa ternyata kematian orang-orang di sekitarnya bukan disebabkan oleh korona, melainkan penyakit lain. Bahkan ada yang meninggal tiba-tiba, tanpa keluhan apapun. Ini artinya peluang kematian antara yang sehat dengan yang sakit, besar dengan kecil, tua atau muda, dan seterusnya sebenarnya adalah sama. Jadi tidak usah sombong dengan kesehatan diri. Itu bahkan dapat menipu kita dan melupakan bahwa hidup tidak lama lagi.
Jadi, rasa nekat kita untuk melakukan pelanggaran demi pelanggaran hidup ternyata masih lebih besar dari pada rasa takut terhadap kematian yang seharusnya menggiring kita pada perilaku-perilaku yang lebih baik. Itu semua kembali pada kapasitas keimanan. Jika memang kenekatan itu masih mendominasi, berarti keimanan kita sangatlah rapuh sehingga ketakutan terhadap kematian sekedarnya saja.
Akhirnya, kehidupan dunia hanya sekejap, permainan dan sementara. Untuk itu, mengapa kita harus menghabiskan energi untuk permainan yang sementara ini dan mengorbankan kehidupan yang abadi, yaitu akhirat? Musibah-musibah yang menimpa kita akhir-akhir ini sejatinya menjadikan diri untuk lebih dekat kepada Allah, bukan malah semakin menjauh darinya. Semoga menjadi bahan renungan kita bersama.
*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah