Oleh : Johansyah*
Tahun 2020 adalah tahun yang aneh
sekaligus menakutkan bagi kita. Dikatakan aneh karena situasinya memang sangat
berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di mana kita menghadapi sebuah ancaman
besar dari sekelompok makhluk yang bernama virus korona. Virus ini bukan
sembarang virus kalau dilihat dari cara penyebaran dan ancamannya.
Penyebarannya dan penularannya sangat mudah dan yang paling mengerikan, dalam
kurun waktu yang singkat akan merenggut ribuan nyawa.
Kondisi
inilah yang kemudian membuat banyak orang takut dan panik. Masyarakat bumi
dihadapkan pada penjajahan psikologis secara merata dan bersamaan. Tidak peduli
apakah itu negara maju, negara adikuasa, negara berkembang, negara kecil,
negara tertinggal dan seterusnya, semua mengalami ancaman yang sama.
Pada
bulan april lalu, menurut catatan Kompas. com masih ada 15 negara yang
dinyatakan bebas dari penularan virus korona. Negara tersebut adalah Komoro,
Lasotho, Korea Utara, Tajikistan, Turkmenistan, Kiribathi, Kepulauan Marshall,
Mikronesia, Nauru, Palao, Samoa, Kepulauan Salomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu.
Artinya hanya sebagian kecil dari wilayah bumi yang bebas dari penjajahan virus
ini. Bahkan pada bulan berikutnya atau beberapa waktu ke depan, satu per satu
dari negara ini akan dijajah juga oleh virus korona. Semoga saja tidak.
Sejak
menjalarnya virus ini, pola hidup yang kita terapkan pun jauh berubah dari
sebelumnya. Jaga jarak, menghindari keramaian, menghidari kontak fisik,
mengenakan masker, mencuci tangan, dan berbagai anjuran lainnya adalah sesuatu
yang berlawanan dengan kebiasaan kita sebelumnya.
Mau
tidak mau, pola interaksi sosial kita tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Akibat dari berbagai pembatasan ruang gerak di ranah sosial, perekonoian
benar-benar terganggu dan lumpuh karena kebebasan berusaha dan bekerja sudah
dibatasi dengan berbagai aturan. Semua mengeluh dengan kondisi ini; pedagang,
pengusaha, petani, nelayan dan sebagainya.
Meski
saat ini sudah diterapkan new normal atau tatanan hidup baru, kita dihadapkan
pada kondisi dilematis. Kembali menjalankan berbagai aktivitas untuk
mengantisipasi keterpurukan ekonomi, tapi di sisi lain berhadapan dengan
ancaman serius virus korona yang sangat serius. Bahkan patut diwaspadai, justru
di saat new normal, angka statik kasus korona justru mengalami kenaikan.
Tekanan
psikologis
Nah,
krisis serius terbesar yang kita hadapi pada situasi pandemi ini adalah tekanan
psikologis. Muncul rasa takut berlebihan atau panik. Rasa takut ini sebenarnya
sifat bawaan manusia. Apalagi sesuatu yang dianggap mengancam keselamatan
nyawa, siapa pun takut. Jadi begitulah, manusia sangat takut dengan kematian.
Apalagi
ketika kita membaca beragam analisis dan prediksi penyebaran virus ini, di mana
pada bulan maret lalu, Kompas. com mengulas salah satu pendapat Economist
Intelligence Unit (EIU) yang berasumsi bahwa 50 persen penduduk bumi akan
terinveksi. 20 persen dari kasus akan parah, dan 1-3 mengakibatkan kematian.
Dulu
ketika baru terjangkin di China, kita masih santai dan banyak yang memerediksi
virus ini tidak sampai ke tempat kita. Namun perlahan tapi pasti, akhirnya
sampai juga ke Indonesia. Di sini kita mulai digelayuti rasa takut dan panik.
Apalagi saat ini orang yang positif korona di Aceh terus mengalami penambahan.
Kita semakin takut.
Dari
perspektif agama, perasaan takut akan mati ini justru positif, asal jangan
berlebihan. ketakutan terhadap mati dapat membangun kesadaran diri seseorang.
Biasanya dari banyak berbuat tercela, mulai berpikir untuk memperbaiki diri.
Biasanya mengambil hak orang lain, kini mulai tersadar bahwa perbuatan itu
tidak baik. Biasanya tidak rajin beribadah, kini sudah mulai berubah. Dengan
ungkapan lain, ketika seseorang banyak mengingat kematian, sejatinya dapat
memperbaiki dan meningkatkan kualitas ketaatannya kepada Tuhan.
Merasa aneh
Faktanya dalam ranah sosial, perubahan sikap ke arah yang lebih
baik secara kolektif itu kurang kelihatan. Di sini kita benar-benar merasa
aneh. Seharusnya ketika seseorang tersadar akan ancaman kematian, itu semua
akan mengubah sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Sebagian besar kita mengikuti
protokol kesehatan dan itu semua dilakukan untuk menghindari virus, tantu
intinya menghidari mati. Tapi di saat yang sama geliat penyimpangan sosial
masih saja makin ramai. Bahkan banyak yang memanfaatkan situasi ini untuk
memperkaya diri, mengais keuntungan materi yang berlipat ganda, mengambil hak
orang lain, tidak menyalurkan bantuan pada orang yang benar-benar berhak
menerimanya, dan perilaku penyimpangan sosial lainnya.
Artinya di satu sisi manusia takut
dengan ancaman kematian, tapi di sisi lain dia terus saja melakukan
perbuatan-perbuatan yang seakan tidak menyadarkan dirinya bahwa suatu saat dia
akan mati. Lagi-lagi, inilah kehebatan nafsu yang dapat menggiring dan mengubah
manusia menjadi makhluk yang nekat. Nekat melakukan apapun agar terpenuhi
keinginannya. Tidak peduli itu merugikan orang lain, mengancam keselamatan,
bahkan sangat membahayakan nyawanya, yang penting dia untung dan dapat
menikmati.
Salah satu penyebabnya adalah ancaman
kematian itu dianggapnya bukan hal serius. Banyak manusia yang terlalu yakin
dan percaya dengan kondisi kebugaran tubuhnya dan selama ini jarang sakit.
Mungkin saja dia juga percaya bahwa dia tidak akan tertular virus korona karena
selalu menjaga diri dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.
Sayang,
banyak yang tidak menyadari bahwa ternyata kematian orang-orang di sekitarnya
bukan disebabkan oleh korona, melainkan penyakit lain. Bahkan ada yang
meninggal tiba-tiba, tanpa keluhan apapun. Ini artinya peluang kematian antara
yang sehat dengan yang sakit, besar dengan kecil, tua atau muda, dan seterusnya
sebenarnya adalah sama. Jadi tidak usah sombong dengan kesehatan diri. Itu
bahkan dapat menipu kita dan melupakan bahwa hidup tidak lama lagi.
Jadi,
rasa nekat kita untuk melakukan pelanggaran demi pelanggaran hidup ternyata
masih lebih besar dari pada rasa takut terhadap kematian yang seharusnya
menggiring kita pada perilaku-perilaku yang lebih baik. Itu semua kembali pada
kapasitas keimanan. Jika memang kenekatan itu masih mendominasi, berarti
keimanan kita sangatlah rapuh sehingga ketakutan terhadap kematian sekedarnya
saja.
Akhirnya, kehidupan dunia hanya sekejap, permainan dan sementara.
Untuk itu, mengapa kita harus menghabiskan energi untuk permainan yang
sementara ini dan mengorbankan kehidupan yang abadi, yaitu akhirat?
Musibah-musibah yang menimpa kita akhir-akhir ini sejatinya menjadikan diri
untuk lebih dekat kepada Allah, bukan malah semakin menjauh darinya. Semoga
menjadi bahan renungan kita bersama.
*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh
Tengah