Oleh :Johansyah
Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah bentuk bantuan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk uang atau jenis bantuan lainnya. Menurut situs Wikipedia, negara yang pertama membuat program ini adalah Brasil, lalu diikuti oleh negara lain, termasuk Indonesia.
Sebelum pemerintahan Jokowi, di era SBY juga program ini telah bergulir. Di mana pemerintah menyalurkan bantuan sebesar Rp 300.000 hingga 400.000. Sementara di era Jokowi di buat proram serupa, namanya Program Keluarga Harapan (PKH), di mana bukan saja BLT yang diperoleh sebuah keluarga, tapi juga bantuan nutrisi dan gizi.
Selama Covid, istilah BLT menggema kembali, sebuah program tanggap darurat pemerintah atas pandemi Covid-19. BLT diambil dari berbagai sumber, di antaranya dari dana desa, dan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), sehingga untuk tahun ini, sebagian instansi tidak dapat menjalankan programnya karena anggaran yang disediakan sudah dipangkas untuk penanganan Covid. Kecuali itu, anggaran yang bersifat rutin masih tetap dipertahankan.
Sesuai ketentuan, pemerintah akan memberikan BLT sebesar Rp 600.000 bagi setiapa kepala keluarga selama tiga bulan atau bisa lebih, tergantung kondisi ke depannya nanti. Dalam proses penyalurannya memang menemukan berbagai kendala. Berbagai persoalan pun muncul, di antaranya kriteria yang mendapat bantuan, penyelewengan bantuan, bantuk bantuan, dan lain-lainnya.
Tentu saja, BLT kemudian menjadi salah satu konten berita yang menarik untuk diikuti. Di media sosial, terkadang dibuat menjadi lelucon. Ada pula yang menyindir, karena banyak yang mendapatkan BLT sebenarnya tidak layak, pasalnya mereka bukan keluarga miskin.
Sementara yang benar-benar membutuhkan luput dari pendataan dan tidak memperoleh bantuan.
Kalau mau mengetahui sebenarnya, tidak ada BLT dari pemerintah. Itu hanya istilah yang dibuat. Uang itu sebenarnya uang masyarakat juga. Hanya saja pemerintah yang mengelola dan membuat mekanisme penyalurannya.
Masyarakatlah yang sebenarnya banyak menyumbang ke negara, terutama melalui pajak; pajak usaha di berbagai sektornya, pajak bumi dan bangunan, kendaraan, dan lain-lainnya. Termasuk listrik subsidi, itu semua berasal dari masyarakat. Belum lagi sumbangan melalui pemanfaatan jaringan internet dan bahan bakar minyak. Jadi, tidak ada yang gratis di negeri ini.
Tapi sudahlah, itu juga pantas disukuri, pemerintah sudah berusaha meringankan beban masyarakat.
Dengan tidak terlalu mempersoalkan dari mana sumbernya, yang penting ada niat baik untuk membantu masyarakat. Tentu ini sangat bermanfaat walau pun sebagaimana disentil pada penjelasan sebelumnya, berbagai persoalan ditemukan dalam proses penyalurannya. Ada yang tidak memberikan sesuai instruksi, melakukan penyunatan, dan ada juga yang tidak tepat sasaran. Banyak kasus ‘dunia terbalik’ dalam penyelenggaraannya. Ini juga kita maklumi.
BLT seumur hidup
Jika kita sangat perhatian dengan program BLT, saya ingin tunjukkan sebuah BLT yang ternyata kita terima seumur hidup. Sayangnya banyak manusia yang tidak menyadari dan mensyukurinya. Bahkan amat disayangkan, banyak manusia yang tetap mengeluh, meski diberikan bantuan setiap detik. Kalau meributkan BLT dana desa karena tidak tepat sasaran, wajar saja. Tapi kalau BLT yang satu ini kita keluhkan, itu sudah keterlaluan.
BLT yang dimaksud adalah pemberian Allah kepada semua makhluk ciptaan-Nya, terutama kepada manusia. BLT dari Allah itu tidak perlu dihitung, apa saja yang telah Dia salurkan kepada manusia karena memang mereka tidak akan mampu menghitungnya. Bukankan sudah ditegaskan, walaupun manusia berusaha mengkalkulasi pemberian Allah, mereka tidak akan mampu menghitungnya.
Salah satu contohnya adalah bernafas. Coba saja BLT ini dihentikan selama 15 atau 30 detik saja. Bisa jadi kehidupan kita akan berakhir. Itu belum lagi berbicara proses milyaran sel yang terjadi di setiap hari dalam tubuh kita. Belum lagi bicara soal nikmat materi dengan beragamnya. Intinya tidak ada satu kenikmatan hidup yang didapatkan oleh manusia, kecuali itu BLT seumur hidup yang disalurkan oleh Allah pada semua manusia.
Untuk mendapatkan BLT, Allah bahkan tidak membutuhkan syarat dan kriteria. Dia memberikan nikmat materi kepada siapa pun, baik muslim, kafir, munafik, fasik, penjahat, pejabat, orang lemah, kuat, dan seterunya. Allah tidak memilih dan memilah untuk siapa nikmat itu diberikan. Apalagi menyunat bantuan, justru Allah memberikannya tanpa batas.
Tentu sebagai orang yang berislam dan beriman, kita dianjurkan untuk mensyukuri nikmat-Nya. Itu pun kalau mau bersyukur, kalau tidak ya sudah. Tapi ingat kata Allah, jika kamu bersyukur akan Aku tambah nikmatku. Tapi jika kamu kufur, azab-Ku amatlah pedih (lihat QS. Ibrahim: 7).
Penyakit langganan manusia adalah ketika miskin mengeluh, tapi lupa diri ketika diberi nikmat materi. Ketika hidup susah, sakit, ditimpa bencana dan musibah, mereka menganggap itu takdir Allah. Tapi ketika kaya, sehat, dan mendapat keuntungan materi banyak, mereka lupa bahwa itu juga takdir. Seolah-olah Allah membebani hidup mereka, padahal semua yang berlaku bagi setiap situasi dan kondisi manusia adalah takdir.
Satu lagi penyakit manusia, mereka lebih memikirkan nikmat materi; harta, uang, rumah mewah, mobil, dan fasilitas duniawi lainnya. Kita sering menghela nafas ketika melihat rumah besar yang di pekarangannya terparkir empat hingga sepuluh mobil mewah dengan berbagai merknya. Kita pun berpikir; ‘enaknya hidup di dalam rumah itu, semua serba ada’. Namun ternyata orang yang di rumah itu juga tidak bahagia, tidak ada kerukunan dan keharmonisan di sana, dan jauh dari kedamaian.
Maka nikmat non materilah yang sebenarnya paling bernilai. Inilah bentuk BLT yang senantiasa kita mohon kepada Allah agar disalurkan kepada kita. Yakni BLT iman dan hidayah, agar kita senantiasa dibimbing pada kebenaran dan kedamaian di bawah naungan hidayah dan iman. Tapi sayang, banyak manusia yang tidak suka memburu BLT ini. Semoga menjadi bahan renungan untuk kita semua.