Oleh : Fauzan Azima
“Bang Fauzan, apa kabar?” tegurnya dengan suara lembut pada satu siang di sebuah Coffee Shop di Kota Takengon.
“Baik” jawabku singkat. Aku sedikit grogi, namun berusaha tenang dan tersenyum.
Belum sempat aku bertanya, siapakah dirinya, dia sudah menyebut namanya yang terdengar unik. Sepertinya dia bisa membaca hati dan fikiranku.
Dalam benakku cepat melintas sebuah kalimat, “Inikah yang disebut, kalau mau beruntung, tidak perlu menebang pohon besar, sudah pasti dapat tanah datar.”
Pertemuan singkat itu begitu membekas dalam hati dan fikiranku. Walaupun seluruh dialognya tidak sampai sepuluh kata, tetapi aku bisa mendiskrifsikan dirinya.
Nuansa warna jilbab warna krem susu yang dikenakan sepadan dengan baju kurung warna cerah dengan motif bunga-bunga warna coklat. Setelan pakaian yang pas dikenakan gadis berwajah diaspora dan berkulit putih.
Dia cantik dan nyaris tanpa cela. Apalagi ketika dia menebar senyum, aku seperti melayang. Rasanya aku tidak akan mencari perempuan lain karena seluruh perempuan di alam semesta ini terwakili oleh dirinya.
Kehadirannya, mematahkan falsafah hidup saya dalam berumah tangga ibarat handphone dan charger. Perempuan itu seperti handphone iPhone, khusus, tidak sembarangan charger bisa masuk, sedangkan lelaki itu seperti charger handphone Samsung, bisa masuk ke banyak merek handphone.
“Kami duluan, ya Bang” dia pamit dan hilang di antara mobil-mobil parkir di depan Coffee Shop itu. Mendengar suaranya membangunkan satu harapan dengan berjuta rasa. Saat itu, aku seolah manusia yang paling beruntung di planet ini.
Saya melihat jam pada handphone. Menurut “ketike” apakah saat perjumpaan itu masuk ke dalam “langkah bunge kemang?” Memang soal langkah, rizki, pertemuan dan maut adalah rahasia Allah, tetapi sedikit dibagikan kepada hamba-Nya yang mau belajar, termasuk soal langkah.
(Mendale, Jum’at, 26 Juni 2020)
